Lanjut ke konten

Sultan Hamid II dan Kampanye Negara Borneo

Juni 15, 2020

Oleh Wajidi

Siapa Sultan Hamid II? Dalam Wikipedia disebutkan bahwa Sultan Hamid II, lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak ke-6 (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Sultan Hamid II adalah salah satu aktor dalam  panggung sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia periode 1945-1950, tak terkecuali dalam sejarah perjuangan rakyat di Kalimantan Selatan. Berikut catatan tentang Sultan Hamid II diambil dari berbagai sumber.

Sebagaimana diketahui Perjuangan rakyat di Kalimantan Selatan, bukan semata bertujuan menegakkan kemerdekaan yang telah diproklamasikan melainkan juga untuk menggagalkan usaha-usaha federalisme  Belanda yang hendak menguasai dan memisahkan Kalimantan Selatan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui pembentukan Negara Borneo  (Kalimantan) sebagaimana dikehendaki dalam Persetujuan Linggajati.

Persetujuan Linggajati tidak terlepas dari peran Dr. H.J. van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Maksud utama Van Mook mengenai gagasan negara federal adalah menjadikan Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian dalam sebuah negara federal, dan apabila berhasil maka penguasaan wilayah seluruh kepulauan Nusantara dianggap selesai (Lihat Wajidi, Revolusi Kemerdekaan di Kalimantan Selatan 1945-1949, Yogyakarta: Ombak, 2015, hlm. 27; lihat juga Wajidi, Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik, Banjarmasin: Pustaka Banua, 2007, hlm. 39).

Gagasan negara federal diajukan Belanda dalam setiap perundingan dengan pihak Republik sebagai salah satu cara untuk mengembalikan kedaulatannya, termasuk dalam perundingan yang dilakukan di sebuah desa bernama Linggarjati yang menghasilkan Persetujuan Linggajati. Persetujuan ini ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947 di Jakarta.

Dengan Persetujuan Linggajati, Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Sedangkan pulau-pulau lainnya dikuasai Belanda.

Persetujuan Linggajati tersebut telah dijadikan dasar untuk membicarakan pembentukan Negara Indonesia Serikat yang merupakan Uni Indonesia – Belanda di kemudian hari yang susunannya akan terdiri dari Republik Indonesia serta negara-negara di daerah otonomi buatan Belanda.

Untuk menggolkan konsep Negara Kalimantan (Borneo) sebagai salah satu unsur dalam Negara Indonesia Serikat, Belanda mengirim tiga orang utusan yakni  Sultan Hamid II dari Pontianak untuk menghubungi tokoh-tokoh partai politik di Kalimantan Selatan; Dr. Eisenberger untuk menghadapi pejabat-pejabat pemerintah, Ch. O. van Der Plas seorang orientalis untuk menghadapi umat Islam, organisasi SKI-SERMI (Lihat Ramli Nawawi,  et al. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1991, hlm.180).

Sultan Hamid II dikirim ke Banjarmasin dan Hulu Sungai pada tanggal 26 Desember 1946. Ia menemui tokoh-tokoh pergerakan di Kandangan yang diwakili antara lain H.M. Arsyad, Merah Danil Bangsawan, Zafry Zamzam, H. Rusli, Jabar, H. Umar dan tokoh lainnya. Ketegangan muncul ketika Sultan Hamid II menyodorkan konsep Negara Kalimantan tokoh-tokoh pergerakan. Sultan Hamid II berkeinginan bahwa dialah nantinya yang menjadi Wali Negara Kalimantan yang akan meliputi beberapa bagian Kalimantan (Lihat Mugnie Junaidi, “Sejarah Singkat Bangkit dan Berkembangnya Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) di Kalimantan Selatan”, Skripsi Jurusan Sejarah FKG Unlam,  Banjarmasin, 1972, hlm. 83).

Van Der Plas berangkat ke Hulu Sungai. Akhir 1948 ia tiba di Negara dan dengan didampingi empat pejabat Belanda termasuk Tuan Guru A. Gani ke rumah Tuan Guru  H.M. Jakfar, ulama berpengaruh di Pakan Dalam, Negara. Ulama ini cukup dikenal di daerah Hulu Sungai dan banyak mempunyai murid yang tersebar di mana-mana. Mereka bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang sangat fasih. Van der Plas yang keturunan Indo-Belanda  itu membujuk Tuan Guru  agar mau menjadi qadhi besar dan sekaligus memimpin Jamiyah buatan Belanda berkedudukan di Banjarmasin dengan fasilitas lengkap, mobil dan gaji besar. Tapi semua itu ditolak Tuan Guru dengan cara halus, dengan alasan dirinya sudah tua dan sudah dekat dengan ajal (Lihat Lambran Ladjim, “Yang Terlupakan: Palagan Negara 2 Januari 1949”, dalam Banjarmasin Post, 28 Februari 2000; lihat rubrik “Hulu Sungai: Ulama berpulang”, dalam Kalimantan Berdjuang, Kamis 1 Desember 1949).

Kedatangan Sultan Hamid II dan kawan-kawan dengan konsep negara Kalimantan-nya rupanya tidak disenangi oleh para pejuang gerilya. Berdasarkan informasi dari salah seorang anak pejuang, sekembalinya Sultan Hamid II dari Kandangan, di perbatasan antara Binuang dan Martapura iringan mobil beliau ditembak dan dilempari granat.

Usaha Sultan Hamid II itu gagal dalam kampanyenya untuk pembentukan Negara Kalimantan karena kuatnya penolakan dari tokoh pejuang dan ulama di Hulu Sungai. Kegagalan ini disebabkan karena para tokoh pergerakan di Kalimantan Selatan telah sadar dan mengetahui betul siasat Belanda (Lihat  Sjarifuddin, “Sikap Pergerakan Rakyat Menghadapi Pendudukan Belanda di Kalimantan Selatan Periode 1945 sampai dengan 17 Agustus 1950”, (Banjarmasin: Skripsi Sarjana Pendidikan Jurusan Sejarah FKg Unlam, 1974), hlm. 33).

Sejarawan R.Z. Leirissa dalam tesisnya: “Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya merebak di Jawa melainkan juga di hampir seluruh Nusantara dan dimenangkan bukan saja oleh kekuatan militer tetapi terutama oleh keahlian diplomasi. Menurut Leirissa, dalam perjuangan itu timbul kekuatan ketiga selain RI dan Belanda, yaitu BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg) atau Perhimpunan Musyawarah Federal.

 BFO dibentuk atas inisiatif Pemerintah Negara Indonesia Timur dengan bantuan Pemerintah Pasundan. Keanggotaannya sebanyak 15 orang berasal dari 15 daerah federal bentukan Belanda. BFO memegang peranan penting dalam perkembangan struktur ketatanegaraan dan federasi di Indonesia. Dalam konferensi inter Indonesia yang dilakukan BFO, maupun pada saat Konferensi Meja Bundar di Negeri Belanda, para utusan dari BFO berhasil menyatukan sikap untuk mengembalikan bentuk negara RIS yang digagas Belanda  menjadi NKRI.

Perjuangan BFO untuk  turut aktif mencari jalan keluar untuk menyelesaikan  konflik antara Belanda dengan RI ternyata tidak selalu berjalan mulus karena sejak awal terdapat dualisme dalam tubuhnya. Pada satu pihak terdapat kelompok pro-RI yang dipimpin Ide Anak Agung Gde Agung dan Adil Puradireja, dan pada pihak lain ada kelompok pro-Belanda yang dipimpin Sultan Hamid II dan dr. T. Mansur (Lihat R.Z. Leirissa, Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Pustaka Sejarah, Jakarta, 2006, hlm. 1-3).

Bagi kelompok pro-Belanda adanya NIT merupakan pembuka jalan dalam rangka pembentukan negara federal yang tetap berada dalam lingkungan kerajaan Belanda (Lihat R. Nalenan, Arnold Mononuto: Seorang Patriot, Gunung Agung, Jakarta, 1981, hlm.. 178 dan Bagi Belanda, pembentukan BFO dengan Sultan Hamid II sebagai Ketua Delegasi BFO di KMB, merupakan harapan bagi Belanda, untuk membawakan kepentingan mereka tentunya, namun dalam persidangan KMB harapan itu tidak sepenuhnya sesuai kenyataan karena kuatnya arus pro-RI (Lihat, sebagaimana diceritakan oleh Aidan Sinaga, salah seorang utusan Dewan Banjar dalam BFO  di KMB di Den Haag, dalam rapat umum Badan Koordinasi  tanggal 17 November 1949 di  Gedung Permufakatan Indonesia (GPI) di belakang Boom,  dalam “Mendengarkan kesan KMB”,  dalam Kalimantan Berdjuang, Sabtu 19 Nopember 1949 No. 853 Tahun ke IV, hlm. 1).

Bertolak belakang dengan Sultan Hamid II, Perdana Menteri NIT,  Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, yang juga pemrakarsa dan ketua BFO  lebih  menerapkan “synthesa nasional”, atau perpaduan antara kelompok federal dan kelompok pro-RI demi stabilitas politik dan kemakmuran di Indonesia Timur. Surat kabar Soeara Kalimantan memberitakan bahwa Mr. Ide Anak Agung Gde Agung dalam konferensi pers di Makassar mengatakan bahwa politik NIT  selalu ditujukan pada suatu sentesis dari semua golongan penduduk dan pemerintahan-pemerintahan di Indonesia Timur supaya tercapai persatuan nasional yang teguh untuk perjuangan nasional. Ia juga mengatakan tidak ada antitesa diantara Federalis dan Republikan, sebagaimana disarankan golongan-golongan yang menghendaki berpecah-belahnya persatuan rakyat Indonesia (Lihat “Front bersama untuk mentjapai tjita-tjita.  ‘Tak ada pertentangan Federalis dengan Republikein’ Kata Anak Agung Gde Agung”, dalam Suara Kalimantan No.  152-Tahun Kelima Rabu  6 Djuli 1949, hlm.1.)

 Untuk mewujudkan Negara Kalimantan, maka putera-putera Kalimantan yang pro federalisme yang berada di Jawa, telah mempersiapkan calon-calon Presiden Negara Kalimantan yang akan dibentuk. Calon presiden itu ada empat orang, yaitu: Sultan Hamid II, Sultan Parikesit dari Kutai, Ir. Pangeran Mohamad Noor, dan Mr. Tajuddin Noor (Lihat      “Tjalon2 Presiden Negara Kalimantan”, dalam Suara Kalimantan , Selasa 23 Augustus 1949 Tahun Kelima No. 207, hlm. 1.)

Gusti Jihan selaku anggota Badan Pekerja KNIP, wakil Kalimantan dan termasuk sebagai salah satu orang terkemuka di lingkungan masyarakat putra-putra Kalimantan di kota Yogyakarta saat dimintai pendapatnya oleh wartawan Suara Kalimantan mengenai keempat calon itu mengatakan, bahwa  diantara ke-4 calon itu maka Mr. Tajuddin Noor telah mengundurkan diri, karena tidak mau dicalonkan. Tentang Sultan Kutai menurut pemandangan Gusti Jihan, sesudah diadakannya  Konferensi Inter Indonesia (Inter Indonesia Conferentie) dan sesudah Sultan Hamid II memperlihatkan politiknya yang tegas dan suka kompromi dengan pihak Republik, maka popularitasnya naik tinggi di seluruh Kalimantan, dan sekarang ini hanya ada 2 calon terkemuka yaitu Sultan Hamid II dan Ir. Pangeran Mohamad Noor.  Kedua orang inilah yang harus dipilih satu antara dua dan pengaruh Sultan Hamid II ialah karena politiknya yang sudah tegas, apalagi pidatonya di Konferensi Inter Indonesia di Yogya amat menarik kalangan politik Kalimantan, ia populer sekali waktu itu. Begitupula dengan pengaruh Ir. Pangeran Mohamad Noor  yang juga besar di pulau Kalimantan (Lihat “Tjalon2 Presiden Negara Kalimantan”, dalam Suara Kalimantan , Selasa 23 Augustus 1949 Tahun Kelima No. 207, hlm. 1.)

Di Negeri Belanda berlangsung Konferensi Meja Bundar. Berdasarkan pemberitaan Soeara Kalimantan dan Kalimantan Berdjuang  tentang KMB yang tentunya diikuti oleh masyarakat Kalimantan Selatan saat itu, tergambar bahwa pelaksanaan KMB menghadapi keruwetan. Akan tetapi Sultan Hamid II selaku ketua delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar,  dalam keterangan persnya di Den Haag mengatakan: tidak ada perbedaan-perbedaan paham yang penting dalam politik antara utusan-utusan Republik dan utusan-utusan daerah federal”, (Lihat “TIDAK ADA PERBEDAAN2  FAHAM JANG PENTING, Antara Utusan2 Indonesia Di K.M.B, Keterangan Pers Slt.Hamid II”, dalam Suara Kalimantan, Bandjarmasin, Minggu  11  September 1949, Tahun Kelima No. 239, hlm. 1).

  Sementara itu, kekuatan gerilya ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan pimpinan Hassan Basry semakin memuncak. Tanggal 17 Mei 1949 Hassan Basry mengeluarkan proklamasi pembentukan Pemerintah Gubernur Tentara ALRI yang melingkungi Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia.  Selain bermakna sebagai pernyataan kesetiaan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang sebelumnya secara resmi telah meninggalkan Kalimantan melalui Persetujuan Linggajati, maka proklamasi itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan  kepada Pemerintah Republik dan Belanda bahwa “Daerah Otonom Kalimantan Tenggara dan Banjar” yang telah diciptakan Belanda sebagai upaya awal untuk mendirikan “Negara Kalimantan”, tidak lebih hanyalah fiksi di atas kertas dan sama sekali tidak berwujud nyata.

Pihak Belanda semakin terdesak memohon kepada pihak Republik untuk menengahi perundingan dengan ALRI Divisi IV. Utusan pemerintah Republik, Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo bersama perwakilan UNCI tiba di Kalimantan Selatan untuk menengahi dan saksi perundingan. Sebagai seorang yang sangat berjiwa Republikan, Jenderal Mayor Suhardjo sangat mendukung  ALRI  Divisi IV dengan menjadikannya secara resmi  sebagai bagian dari TNI, terlebih lagi ia mengetahui sepak terjang ALRI  yang dalam perjuangannya menentang pembentukan negara Kalimantan. Berita tentang  penolakan Jenderal Mayor Suhardjo terhadap pembentukan negara Kalimantan rupanya didengar oleh Sultan Hamid II.  Kepada  kantor berita Aneta,  Sultan Hamid II menyatakan keheranannya tentang pernyataan dari Jenderal Major Suhardjo yang menurut berita-berita pers, seakan-akan telah mengatakan bahwa tiap-tiap percobaan untuk mendirikan negara Kalimantan di luar Republik tidak berhasil. Berhubung dengan hal ini, Sultan Hamid II diantaranya mengatakan: “Baik pada persetujuan Linggajati maupun pada persetujuan Renville, pihak Republik telah menyebutkan Kalimantan sebagai negara yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat”. Sultan Hamid juga menegaskan kerjasama yang baik antara BFO dengan Republik, dan mengenai berita-berita pers ini ia telah mengadakan pembicaraan dengan wakil-wakil dari Republik, dan menyangkal bahwa bahwa sama sekali tidak ada maksud semacam itu (Lihat “Sultan Hamid tentang Keterangan Djenderal Major Suhardjo”, dalam Suara Kalimantan, Bandjarmasin, Sabtu 10  September 1949, Tahun Kelima No. 237, hlm. 1).

Terkait dengan hambatan psikologis pembentukan tentara RIS berupa penggabungan  TNI dan KNIL, wartawan kantor berita Antara yang menemui Sultan Hamid II, Ketua Delegasi BFO di KMB, yang baru saja tiba di Jakarta dengan pesawat Constellation KLM dari Negeri Belanda, mengatakan bahwa salah satu kesulitan dalam pembentukan tentara RIS adalah persoalan psikologis pada anggota-anggota TNI dan KNIL yang akan bergabung. Ketika ditanya apa usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan itu, dijawabnya bahwa yang penting adalah  Menteri Pertahanan dan Panglima Tentara RIS harus dipilih orang yang bisa diterima (acceptable) oleh kedua belah pihak yang akan bergabung (TNI dan KNIL) (Lihat “Hamid tiba di Djakarta. ‘Tentera RIS’, sulit kata beliau”, dalam Kalimantan Berdjuang, Sabtu 19 Nopember 1949 No. 853 Tahun ke IV, hlm. 1).

 Di dalam pojok Kopi Pahit, surat kabar Kalimantan Berdjuang juga pernah menyindir adanya usulan agar Sultan Hamid II dijadikan Menteri Pertahanan. Sebagaimana diketahui, Sultan Hamid II, merupakan seorang yang dalam beberapa kesempatan memakai uniform KNIL, karena ia memang seorang KNIL berpangkat Jenderal Mayor KNIL. Ia  disukai dan  di samping Kolonel Surio Santoso, Sugondo, Tahya, Rumimper yang merupakan orang KNIL, ia merupakan sosok yang  diusulkan tentara KNIL sebagai menteri pertahanan dalam pemerintahan RIS kelak (Lihat kembali “Usul dari Knil HAMID II MENTERI PERTAHANAN”, dalam Kalimantan Berdjuang, Rabu 30 Nopember 1949).

Usulan agar Sultan Hamid II dijadikan Menteri Pertahanan ini disindir oleh Abang Sikat Jr dalam pojok Kopi Pahit surat kabar  Kalimantan Berdjuang edisi Kamis 1 Desember 1949, dengan mengatakan  mengapa tokoh mliter Republik seperti Hamengku Buwono, Suhardjo, Simatupang, Sungkono, dan Gatot Subroto dan tokoh lainnya tidak tidak diusulkan sebagai Menteri Pertahanan. 

 Kalimantan Berjuang mempunyai rubrik opini dengan nama “Fikiran Merdeka”,  misalnya dalam Kalimantan Berdjuang,  Sabtu 3 Desember 1949 No. 865 Tahun ke IV, hlm. 2,  rubrik  “Fikiran Merdeka” memuat opini dengan judul “Hubbur Riasah” yang ditulis oleh H. Muhammad M, yang  isinya menyoroti perilaku pemimpin rakyat yang berebut kedudukan dan pangkat. Misalnya Mr. Tolol dan Kyahi Bahlul  menonjol-nonjolkan diri untuk diangkat dalam jabatan tertentu, yang ia sebut :Hubbur Riasah” hanya cinta kepada jabatan, baik dengan cara yang jujur atau pun curang, legal atau illegal. Opini Muhammad itu lahir dari kegelisahan dia dalam melihat suasana saat peralihan dalam rangka pembentukan pemerintah RIS yang mana banyak tokoh-tokoh bermunculan yang merasa dirinya paling berhak menempati jabatan tertentu dalam lapangan sipil maupun militer (Lihat “Fikiran Merdeka: Hubbur Riasah”, dalam Kalimantan Berdjuang,  Sabtu 3 Desember 1949 No. 865 Tahun ke IV, hlm. 2).

Apakah Sultan Hamid II mengejar pangkat Menteri Pertahanan? Surat kabar Kalimantan Berdjuang menerangkan sosok Sultan Hamid II sebagai  seorang yang dalam beberapa kesempatan memakai uniform KNIL dengan tanda pangkat  Jenderal Mayor KNIL. Ia  disukai dan  merupakan sosok yang diusulkan KNIL sebagai menteri pertahanan dan/atau Panglima Tentara RIS dalam pemerintahan RIS kelak, lihat “Usul dari Knil HAMID II MENTERI PERTAHANAN”, dalam Kalimantan Berdjuang, Rabu 30 Nopember 1949. Ketika ditanya terkait berita-berita bahwa ia akan menjadi Panglima Tentara RIS ia mengatakan sudah senang melihat Indonesia bersatu. Ia mengatakan tidak mengejar pangkat. Ia akan mengaso (istirahat) dan tinggal di Kalimantan Barat. Tidak ingin mengajukan diri sebagai calon, lihat “Saja tidak kedjar pangkat” Kata Hamid II, dalam Kalimantan Berdjuang,  Sabtu 3 Desember 1949 No. 865 Tahun ke IV, hlm. 1.

Bagaimana menurut sampeyan?

No comments yet

Tinggalkan komentar