Lanjut ke konten

Bahasa Revolusi: Haluan Media dan Gaya Bahasa

Desember 11, 2020

Oleh Wajidi

Djongos, besok pagi saja minta tjoklat susu!” Kata2 tsb diutjapkan dengan senjum oleh Sultan Hamid II kepada pelayan Hotel de Indes (Lihat “Saja tidak kedjar pangkat” Kata Hamid II, dalam Kalimantan Berdjuang, Sabtu 3 Desember 1949 No. 865 Tahun ke IV, hlm. 1.).

Bahasa revolusi dalam berbagai medium komunikasi dapat dilihat dalam perspektif  majas. Majas adalah salah satu unsur dalam gaya bahasa. Secara teoritis, majas sebuah surat kabar sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi saat surat kabar diterbitkan serta kepentingan dari pemilik media massa itu sendiri.  Surat kabar yang diterbitkan dalam suasana aman dan tenteram tentu sangat berbeda gaya bahasanya dengan surat kabar yang diterbitkan pada masa  konflik atau perang. Begitupula majas dipengaruhi oleh kepemilikan atau kepentingan media. Surat kabar milik kolonial tentu berbeda dengan gaya bahasa surat kabar nasionalis yang republikan.  Surat kabar milik kolonial tentu menampilkan “gaya bahasa kolonial”, sebaliknya surat kabar nasional yang pro republik akan memunculkan “gaya bahasa perjuangan” atau “gaya bahasa revolusi”. Tidak hanya dalam surat kabar, bahasa revolusi juga  terdapat dalam berbagai medium komunikasi lainnya. Berikut ini penulis ulas tentang haluan media dan gaya bahasa khususnya surat kabar yang terbit pada masa perjuangan kemerdekaan di Kalimantan bagian Selatan.

Haluan dan kuasa individu atau kelompok terhadap surat kabar akan memperlihatkan isi dan gaya bahasa surat kabar. Sebagaimana dikatakan Sartono Kartodirdjo (1982) bahwa fungsi surat kabar tidak hanya berfungsi sebagai penyebar informasi melainkan juga sebagai medium untuk meletakkan pengaruh pada publik, telah memberikan ‘warna’ tertentu kepada surat kabar yang dalam studi objektif perlu diidentifikasi untuk mengungkapkan subjektivitas yang melekat pada surat kabar.

Bagi surat kabar yang menjadi corong pemerintah, golongan sosial, dan politik, subjektivitasnya mudah diketahui. Sebagai contoh majalah Malam Djoema’at adalah suara dari perkumpulan  Srie di Banjarmasin, Soeara Rakyat Kalimantan (SORAK) sebagai surat kabar Partai Ekonomi Kalimantan (PEK), surat kabar yakni “Suara M.Th atau Suara Musyawarah” sebagai corong  organisasi Musyawaratutthalibin, Soeara Parindra sebagai corong  Partai Indonesia Raya, dan Borneo Simboen sebagai  corong pemerintah pendudukan Jepang di Kalimantan Selatan, Suara SKI adalah suara Serikat Kerakyatan Indonesia, serta Terompet Rakyat dan Kalimantan Berdjuang adalah corong para wartawan Republikan di Kalimantan Selatan.

Jika pers dikendalikan oleh pemerintah, maka objektivitasnya tentu diragukan. Misalnya yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin, pers diarahkan untuk mendukung revolusi.  Presiden Soekarno, saat berpidato di Istana Negara 18 Desember 1962 dalam rangka pelantikan Badan Pengawas Kantor Berita Antara: mengatakan:

Setiap revolusi berpihak…Revolusi Indonesia juga berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia. Pemberitaan yang obyektif dalam dalam suatu revolusi sama juga dengan kemustahilan. Saya ingin agar berita yang disiarkan itu tidak obyektif, melainkan jelas-jelas berpihak kepada revolusi kita dan menghantam musuh-musuh revolusi (Togi Simanjuntak, 1988).

Sebagai corong pemerintah, partai atau kelompok tertentu dengan sendirinya dapat diketahui dengan jelas simpati dan antipatinya, sikap pro dan kontranya terhadap perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, haluan atau   latar ideologi,   latar belakang wartawan, atau penulis, keyakinan, kepentingan,  dan kuasa individu atau kelompok yang menguasai media, akan memperlihatkan  apakah media itu berhaluan keagamaan, berhaluan nasional atau kebangsaan, berhaluan kepartaian atau menyuarakan partai, netral atau atau moderat, atau tidak jelas haluannya.

Sementara dalam perjuangan kemerdekaan itu sendiri terdapat konsep dan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme yang memunculkan  kerelaan berkorban dan pantang menyerah. Sementara di pihak penjajah dengan berbagai kebijakannya sebagai  penguasa  seringkali melakukan diskriminasi, penindasan, kekejaman terhadap pribumi Indonesia. Bentuk komunikasi antara penjajah dan dijajah, antara pro dan  kontra Republik, antara pejuang bersenjata dan pejuang politik, antara ambtenaar dan inlander, antara sesama sejawat di masa perang, dan lain sebagainya terdapat berbagai gaya bahasa.

  Penjajah menyebut bangsa jajahan sebagai inlander, inheemse, budak, monyet,  anjing, jongos. Belanda menempatkan plang tulisan: Verboden toegang voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk orang pribumi dan anjing). Penjaga penjara Nusa Kambangan menyebut tahanan: monyet anjing. Terhadap pembantu atau pekerja mereka menyebut jongos, sebagaimana contoh kalimat candaan Sultan Hamid II kepada pelayan Hotel de Indes  di awal tulisan ini.

Terhadap pejuang kemerdekaan seperti ALRI Divisi IV mereka menyebut gerombolan ekstremis pengganggu ketenteraman umum atau pengacau keamanan, misalnya surat kabar Belanda, Bataviaasche Nieuwsblad  di dalam laporannya menulis Voor zover onze  berichten strekken  blijkt dat hier een bepaalde groep ageert door middel van pressie en terreur met het uitsluitend doel  den normalen gang van het  leven onderstboven te keren.  (Sebegitu jauh  berita-berita yang kita terima  ternyata  bahwa di sini bertindak  suatu gerombolan  yang tertentu  dengan melakukan tekanan  dan teror  dengan hanya bertujuan menghumbalangkan [Maksud “menghumbalangkan” di sini adalah membalikkan kondisi normal ke dalam kondisi kekacauan] jalannya penghidupan yang normal) (Lihat “TINDJAUAN KITA, Selama berpaham reaksioner” ,dalam Suara Kalimantan, Bandjarmasin, Rabu 7 September 1949, Tahun Kelima No. 231).

  Untuk mengembalikan ketenteraman umum, maka tak mengherankan mereka menamakan agresi militer Belanda I dan II dengan sebutan “Aksi Polisional I dan II” karena aksi tersebut bertujuan untuk membasmi ekstremis sehingga keamanan dan ketertiban terwujud kembali. 

Pada masa revolusi kemerdekaan sangat populer panggilan “Bung” untuk memanggil seseorang, sebagai sapaan akrab kepada seorang laki-laki. Misalnya, Bung Karno (Sukarno), Bung Hatta (Mohammad Hatta), Bung Sjahrir. Di dalam Soeara Kalimantan terdapat rubrik “Ketel Umum” yang diasuh oleh Mr. Galiur dan terkadang Bung Tjendol. Pemakaian panggilan Bung, yang juga bisa berarti abang, merupakan ungkapan hubungan personal yang bersifat egaliter atau  manifestasi kesetaraan atau kesamaaan kesetaraan derajat di alam kemerdekaan.

Majas juga berkaitan erat dengan fungsi dari media itu sendiri. Fungsi media pada masa perjuangan kemerdekaan dapat dilihat dari beragam fungsi antara lain fungsi menggerakkan, menginformasikan, meyakinkan (persuasi), mengubah, pendidikan, sosialisasi,  kontrol sosial, dan propaganda perang.

Fungsi menggerakkan terlihat misalnya saat surat kabar digunakan untuk menghimbau agar pegawai-pegawai pemerintah dan swasta melakukan pemogokan umum, agar penduduk kota mengungsi ke daerah yang dikuasai ALRI, dan agar rakyat jangan berangkat haji di tahun 1949,  dan lain sebagainya. 

Fungsi proganda perang sangat terlihat saat tentara pendudukan Jepang menggunakan Borneo Simboen sebagai medium propaganda perang. Dari berbagai fungsi itu, jelas terdapat perbedaan pemilihan kata (diksi), penekanan, kekerapan kemunculan kata. Misalnya Jepang menyanjung Kinrohosi dan romusha  dengan sebutan prajurit pekerja, padahal keduanya sama saja dengan pekerja paksa, hanya saja sebutan yang berbeda.

 Pendek kata perbedaan situasi dan kondisi politik yang dihadapi, perbedaan kepentingan dan haluan media, serta  fungsi media, akan memunculkan perbedaan gaya bahasa. Meski umpama dua atau tiga surat kabar sama-sama pro Republik, boleh jadi gaya bahasa yang dimunculkan masing-masing berbeda, karena keberadaan latar belakang wartawan dan kepemilikan media. Ada yang berkarakter idealis, kritis,  radikal, frontal dalam perjuangan sehingga wartawannya sering berurusan dengan pihak Belanda atau surat kabarnya dibreidel sebagaimana terlihat pada sosok Yusni Antemas, Hamran Ambrie,  dan Zafry Zamzam, dan ada pula yang lebih moderat, mengkritik penjajah dengan sindiran sehingga wartawan atau pemiliknya hanya mendapat peringatan.

Gaya bahasa surat kabar yang memposisikan dirinya sebagai surat kabar netral atau moderat, tentu berbeda dengan surat kabar republikan atau nasionalis yang berpihak kepada perjuangan sehingga dalam isi pemberitaan muncul bahasa-bahasa propaganda, gaya bahasa yang membakar semangat untuk berjuang, sebagaimana  terlihat dalam surat kabar-surat kabar republikan seperti Sinar Hoeloe Soengai, majalah Republik, dan Kalimantan Berdjuang. Untuk Sinar Hoeloe Soengai dan Republik dapat kita katakan gaya bahasa kedua media ini  cenderung berseberangan dengan pihak Belanda, seperti bernuansa agitasi, kritik, kontrol sosial, dan propaganda perjuangan. Buktinya kedua media ini dibreidel dan wartawannya ditangkap oleh pemerintah Belanda! Bagi surat kabar yang moderat, perkembangan kondisi politik akan mempengaruhi gaya bahasa yang dipakai dalam pemberitaan, sebagaimana terlihat dalam surat kabar Soeara Kalimantan. Pada tahun-tahun dimana pemerintah Belanda sangat berkuasa dari tahun 1946-1948 surat kabar ini menempatkan diri sebagai surat kabar yang moderat sehingga mau menerima advertensi (periklanan) dari pemerintah. Bagi pemiliknya strategi moderat adalah pilihan bijak agar tetap bertahan hidup. Dalam posisi moderat, selain menerima iklan  dari pemerintah, maka wajar gaya bahasanya cenderung lunak dan terkesan sebagai surat kabar yang pro paham federalis.Namun ketika kondisi perjuangan  politik dan militer beralih kepada pihak-pihak pro Republik, ditambah dengan adanya kritikan khususnya dari A.A. Hamidhan sebagai “pemilik pertama” nama Soeara Kalimantan, maka tampak sekali surat kabar ini mengubah haluan dari surat kabar yang sebelumnya netral dan moderat menjadi surat kabar yang cenderung  berpihak kepada Republik. Keberpihakan itu nampak dari pemberitaan, ulasan, dan gaya bahasa  yang berpihak kepada Republik. Bagaimana pendapat sampeyan?


No comments yet

Tinggalkan komentar