Lanjut ke konten

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 2)

Oktober 21, 2023

Pembelajaran Al-Qur’an di Rumah

Oleh Wajidi

Ada ungkapan: tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat. Dalam tradisi masyarakat Banjar, pada fase kehamilan dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an, di samping amaliyah dan doa-doa ibu bapaknya  untuk anaknya kelak agar menjadi generasi Qur’ani. Sang anak lahir, pada telinga anak dilaungkan azan sebagai suatu kebermaknaan bahwa yang pertama kali di dengar adalah asma Allah. Ritus itu bermakna pentingnya ayah bunda memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an dengan bertajwid, untuk kemudian mengajari  anak-anaknya membaca Al-Qur’an.

Pembelajaran Al-Qur’an yang berlangsung dahulu di masyarakat adalah bersifat informal, yakni berlangsung di keluarga inti yang mana kedua orang tuanya yang mengajari langsung. Terkadang anak-remaja di kampung juga mendatangi rumah guru mengaji atau sebaliknya guru mengaji yang datang ke masjid atau langgar. Biasa berlangsung setelah shalat magrib di rumah guru mengaji, atau ada juga sesudah shalat Isya sehingga waktu belajar mengaji lebih lama.

Ketika aliran listrik belum masuk desa, anak-anak mendatangi guru dengan beragama alat penerangan. Alat penerangan yang sangat sederhana adalah dengan ikatan hundayang yang dinyalakan dengan api, ketika mau padam tinggal dikibas-kibaskan maka kembali menyala, ada juga pakai  suluh bambu yaitu kain yang dinyalakan berbakar minyak tanah pada sepotong bambu, seterusnya dengan lampu colok berbahan bakar minyak tanah dalam botol atau kaleng susu, kemudian lampu semprong.

Di rumah guru mengaji, lampu penerangan beragam bentuk pula: ada dengan menggunakan lampu colok atau lampu semprong, sehingga ruang belajar terlihat remang-remang. Namun di balik keremangan kelap-kelip lampu itu terdengar sayup-sayup anak melafalkan huruf-huruf hijaiyah, atau melantunkan bacaan Al-Qur’an. Barangkali suasana ini sulit ditemukan kembali bagi orang-orang tua yang merindu suasana kecilnya dulu itu.

Dahulu itu, metode belajar Al-Qur’an  dilakukan dengan memakai kitab “alifalifan atau alifan” atau yang disebut orang Qiadah Bagdadiyah (Metode Bagdad/Baghdad) sebuah metode membaca Al-Qur’an peninggalan Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang dinisbadkan kepada kota Bagdad, Irak. Pada mushaf  Quran terbitan Menara Kudus, metode ini ada di bagian lembaran-lembaran akhir. Sampai kemudian metode itu dicetak dalam dalam kitab tersendiri. Di Jawa, kitab alif-alifan barangkali disebut dengan nama kitab turutan.

Dengan kitab alifalifan, setiap murid wajib memiliki penguasaan dasar yaitu hafal huruf hijaiyah. Berbeda misal dengan Metode Iqra yang populer sekarang, pada Metde  Bagdad huruf-huruf hijaiyah dieja dengan lafal: alif (أ), ba (ب), ta (ت), tsa (ث), dan seterusnya. Setelah dikenalkan huruf hijaiyah, murid dibimbing mengenal harakat huruf, dan seterusnya tajwid. Jika sekarang dikenal dengan istilah Fattah, Kasrah, dan Dhommah, maka pada Metode Bagdad dieja dengan sebutan “baris dua”, contoh: ba baris dua di atas ban, baris dua di bawah bin, ba baris dua di depan bun, bunyi: ban, bin, bun. Di era tahun 1970-1980-an, menjelang magrib  Radio Brunei Darussalam kerapkali menyiarkan senandung baris dua tersebut.

Sistem pembelajaran Al-Qur’an waktu itu digambarkan sebagai berikut:  pada tahapan pengenalan huruf hijaiyah, murid-murid duduk berhadapan dengan guru mengaji, di antara keduanya ada kitab alifan dengan Tutunjuk di atas dadampar atau rehal.  Guru mengaji dengan menggunakan Tutunjuk melafalkan huruf hijaiyah yang kemudian diikuti oleh anak didik. Jika terdapat anak dengan pelajaran yang sama maka pola yang dipakai adalah halaqah (lingkaran belajar) namun masih lebih privat, karena dikuti 2-5 orang saja.

Tutunjuk dari bahan rautan bilahan bambu (biasa dibeli di pasar) bertuliskan:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي

Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.” Doa inilah yang dulunya dibaca oleh Nabi Musa AS, dan diabadikan Allah dalam Al’Quran surat At-Thaha ayat 25-28.

Doa itu adalah  “doa wajib”  yang dibaca badarau setiapkali akan memulai pelajaran Al-Qur’an. Tutunjuk selain sebagai alat penunjuk huruf juga diletakkan di sela lembaran kertas sebagai tanda pembatas lembar yang sudah dibaca/dikuasai maupun yang belum. Tutunjuk yang lebih tua terbuat dari ranting kayu Sapat (Balangan), atau kayu bangkal (Barabai), yaitu sejenis pohon yang biasa ditumbuhkan di “galangan” atau pahalatan borongan tanah sawah atau perwatasan di sawah.

Saat itu, guru-guru mengaji tidak digaji, bukan karena mereka mampu secara ekonomi. Banyak diantara mereka dalam kategori tidak sejahtera.  Mereka ikhlas sebagai guru mengaji karena besarnya pahala memberikan pengajaran Al-Qur’an. Motivasi kesalehan menjadi pendorong utama. Ada hadits:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

  

 “Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya ( HR. Bukhari)”,  dan banyak lagi hadits yang berbicara keutamaan belajar dan mengajarkan Al-Qur’an. Terkadang guru mengaji dibawakan gula pasir, beras, atau dibelikan minyak tanah oleh murid-muridnya. Menjelang  hari Raya Fitrah (Idul Fitri), guru-guru mengaji diberikan zakat fitrah. Barangkali, motivasi kesalehan dan ikatan batin guru dan murid sedemikian kuat menjadikan belajar dan mengajarkan Al-Qur’an penuh berkah.

Ketika anak-anak berhasil menyelesaikan bacaan Al-Qur’an sebanyak 30 Juz, maka untuk menanamkan kegembiraan kepada mereka dilaksanakanlah tradisi Batamat Qur’an [khataman Al-Qur’an]. Upacara batamat Qur’an merupakan lambang dari kegiatan ritual yang berhubungan dengan identitas anak dari seorang yang buta huruf Arab menjadi seorang yang melek huruf Arab. Dari seorang anak yang tidak pandai membaca Al-Qur’an menjadi anak yang mampu membaca Al-Qur’an. Batamat Qur’an juga menjadi tradisi  ketika seseorang akan kawin.  Dengan demikian ada upacara batamat  Qur’an yang merupakan salah satu sisipan dalam upacara perkawinan sebagai bagian dari upacara daur hidup.

Tradisi batamat Qur’an

Zaman berkembang, lampu stromking masuk desa, seterusnya listrik dan TV masuk desa. Acara Teve berupa filem Kimus (asal dari kata mickey-mouse) atau filem kartun  yang tayang sesudah azan magrib mulai mempengaruhi anak-anak. Sebagian anak ada yang istiqomah mendatangi guru mengaji, namun ada pula yang sesekali memilih menonton bareng di salah satu warga desa ketimbang mendatangi guru mengaji. Maklum saat itu, TV Hitam Putih termasuk barang mewah, hanya dimiliki oleh warga berpunya. (Bersambung).

No comments yet

Tinggalkan komentar