Lanjut ke konten

LEBIH SEPERTI SALAD BOWL (Lagi, Urang Banjar dalam Sejarah)

Mei 6, 2011

Oleh WAJIDI

Banjarmasin Post edisi Sabtu 30 April 2011 memuat tulisan Sainul Hermawan: Urang Banjar dalam Sejarah. Menurutnya definisi orang Banjar dalam buku Sejarah Banjar tidak memuaskan dan perlu diperbaiki. Sebenarnya, Sainul Hermawan tidak sendiri. Banyak pihak yang menyatakan hal yang sama. Sama halnya dengan ketidakpuasan dengan judul yang dipakai, karena lebih didasarkan kepada hal yang bersifat praksis dibanding tataran akademis. Meski demikian, keberadaan buku tersebut layak kita hargai sebagai pembuka jalan atau bahkan tantangan bagi yang mempersoalkannya untuk menghasilkan tulisan atau buku pembanding yang lebih baik.
Dalam pengantarnya, tim editor buku ini memang menyadari hal itu. Bahkan para pakar sejarah hingga saat ini masih belum menemukan kata sepakat tentang asal-usul dan identitas orang Banjar itu. Kendalanya antara lain karena sangat tidak memadainya catatan atau berita yang bernilai sejarah. Deskripsi latar belakang kesejarahan etnis Banjar lebih banyak berupa asumsi-asumsi yang didasarkan kepada data-data yang masih terbatas yang seringkali merujuk kepada Hikayat Banjar. Meski demikian, di tengah keterbatasan data, maka teks sastra sejarah itu merupakan sumber yang dapat diperhitungkan.
Ada tiga model atau pendekatan yang biasa digunakan untuk memahami etnisitas, yaitu primordialisme, instrumentalisme, dan konstruktivisme. Dalam kajian etnisitas, masing-masing pendekatan yang digunakan berimplikasi pada konstruksi identitasnya.
Menurut Max Weber, pendekatan primordialisme melihat etnisitas sebagai identitas primordial suatu kelompok dan menjadi kategori apriori yang menentukan batasan kelompok guna menjamin stabilitas dan tatanannya. Primordialisme melihat fenomena etnisitas dari kategori-kategori sosio-biologis seperti agama, budaya, dan sebagainya. Pendekatan instrumentalis lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilitas politik. Jika kondisi dan kepentingan berubah, maka berubah pula identitas etnis. Sedangkan pendekatan konstruktivisme muncul dengan cara mengombinasikan kedua model sebelumnya.
Primordialisme merupakan pendekatan yang banyak dipakai oleh banyak penulis termasuk yang terdapat dalam buku “Sejarah Banjar” dan buku “Urang Banjar dalam Sejarah”. Pendekatan primordialisme umumnya didasarkan pada argumen yang dibangun dalam Hikayat Bandjar sebagaimana ditulis oleh J.J. Ras menjadi sebuah disertasi (1968) yang kemudian diikuti oleh para sejarawan dan budayawan lokal seperti M. Idwar Saleh, H.A. Gazali Usman, dan Alfani Daud.
Menurut pendekatan primordialisme, istilah Banjar berasal dari sebuah nama kerajaan Islam yang pada awalnya terletak di Banjarmasin. Dalam proses pembentukan Kerajaan Banjar maka Banjar Masih dengan pelabuhan perdagangannya yang disebut orang Ngaju sebagai Bandar Masih (Bandarnya orang Melayu) dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Banjar yang kemudian menjadi kota Banjarmasin. Kata “Banjar” pada umumnya mengacu kepada pengertian wilayah kesultanan, yaitu wilayah kerajaan dimana penduduknya disebut orang Banjar, bangsa Banjar, dan rajanya disebut Raja (Sultan) Banjar.
Ketika kesultanan jatuh ke dalam kekuasaan kolonial Belanda, mereka tidak lagi disebut sebagai suatu bangsa (nation) akan tetapi hanya sebagai Urang Banjar. Definisi H. A. Gazali Usman (1989) tentang urang Banjar tidaklah salah jika dikaitkan dengan buku beliau yang hanya membatasi kajian pada orang Banjar yang tinggal di Kalimantan Selatan.
Ada yang mengatakan orang Banjar bukan semata etnis melainkan terdiri dari berbagai unsur etnis (grup). Marko Mahin (2004) mengatakan orang Banjar itu adalah bagaikan mangkok berisi sayur (salad bowl). Menurutnya, pada proses pembentukan orang Banjar tidak terjadi melting pot atau kuali pedodolan yang menyeragamkan semua pengalaman agama dan budaya seseorang, melainkan lebih tepat menjadi salad bowl atau piring gado-gado. Dikatakan salad bowl, karena secara sosiologis orang Banjar itu merupakan percampuran berbagai etnik dan kebudayaan, seperti kebudayaan Melayu, Bukit, Ngaju, dan Maanyan. Akan tetapi, memang diakui bahwa unsur Melayu terlihat lebih dominan, sebagaimana tercermin antara lain dari faktor kebahasaan.
Atas dasar pola genealogis masyarakat Banjar, maka istilah Banjar bukan sekedar konsep etnis semata, namun juga konsep politis, sosiologis, dan agamis. Artinya, masyarakat Banjar adalah masyarakat Islam karena memang mayoritas mereka memeluk agama Islam. Identitas sebagai penganut agama Islam antara lain dilekatkan oleh Alfani Daud (1997) yang menyatakan bahwa Islam sejak lama sudah menjadi ciri masyarakat Banjar, sehingga kasus-kasus orang-orang Dayak yang memeluk agama Islam akan dikatakan sebagai “menjadi Banjar”. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Noerid Haloei Radam (1996) bahwa tampak luar, Islam menjadi identitas sosial orang Banjar.
Meski Islam menjadi identitas sosial orang Banjar, dalam penampakannya corak keislaman orang Banjar mencakup pula konsepsi-konsepsi yang berasal dari imigran dan tradisi Melayu, dari sisa-sisa kepercayaan Hindu, dan sisa kepercayaan Dayak yang ikut membentuk suku dan kebudayaan Banjar. Sehubungan dengan itu, Marko Mahin (2004) pun berpendapat adanya adagium atau jargon “Banjar itu Islam, Islam itu Banjar” sulit dimengerti secara historis, melainkan sukar dipahami secara sosiologis. Padahal, bagaimanapun hingga kini Banjar itu tidak satu warna, melainkan bianglala. Dan tiap-tiap warna ke-Banjaran tentu memiliki hak hidupnya sendiri.
Lebih lanjut Marko Mahin (2004) menyatakan pendekatan primordialisme pada kasus “menjadi Banjar setelah memeluk agama Islam” mengandung sejumlah persoalan . Menurut pendekatan itu, seseorang menjadi Banjar adalah sudah dari sana (given) karena disetting oleh satu, beberapa, atau akumulasi faktor-faktor: (1) kewilayahan, (2) agama, (3) kebudayaan, (4) bahasa, dan (5) organisasi sosial. Dalam setting keagaamaan, maka yang muncul kemudian adalah jargon: “Karena Islam maka menjadi Banjar, dan karena Banjar maka Islam”. Barangkali sesorang menjadi Banjar, karena perkawinan atau memeluk agama Islam hanya bersifat cultur group semata, bukan menjadi etnik Banjar. Atau jika meminjam pendapat Irfan Noor Laily Mansyur (2004) Islam merupakan “universum simbolik” dari orang Banjar.
Terlepas dari berbagai pendapat dan pendekatan yang digunakan dalam merekonstruksi asal-usul etnis Banjar, maka betapa seseorang Dayak dapat “menjadi Banjar” karena kawin dengan orang Banjar, atau memeluk agama Islam, ataupun etnis lain yang datang dan tinggal lama di Kalimantan Selatan dan fasih berbahasa Banjar sehingga menyatakan diri sebagai orang Banjar, maka hal itu menunjukkan bahwa kebudayaan dalam hal ini agama, pranata sosial, dan bahasa tidak hanya dapat digunakan sebagai alat untuk memahami dan merekonstruksi asal-usul etnis, melainkan juga dapat dimanfaatkan untuk beradaptasi bahkan memanipulasi lingkungan sosial dan budaya masyarakat. (Terbit di Banjarmasin Post, Sabtu 7 Mei 2011, dengan beberapa penyuntingan oleh redaksi B.Post). Baca pula: https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2010/12/01/asal-usul-etnis-banjar/

7 Komentar leave one →
  1. elkisab permalink
    Mei 6, 2011 10:40 pm

    Tulisan yang sangat menarik.
    Bagi saya, orang Banjar adalah orang yang secara ‘geneologis’ (boleh dilihat dari: keyakinan, budaya, bahasa, adat-istiadat) berdarah Banjar. Oleh itu, etnik luar yang berdiam di Banjar, kawin dengan orang Banjar, fasih berbahasa Banjar, tidak bisa dikatakan sebagai orang Banjar. Berbeda halnya dengan orang Dayak; orang Dayak (yang masuk Islam) akan dikatakan/diaku sebagai orang Banjar. Untuk kasus ini, etnik Dayak adalah satu pengecualian, sebab secara geneologis orang Dayak adalah saudara/dingsanak orang Banjar; memiliki satu rumah yang sama, tetapi berbeda baju. Tapi teori ini sudah tidak relevan lagi. Karena pada kenyataannya, orang Dayak yang masuk Islam tetap dikatakan sebagai orang Dayak; tidak dikatakan orang Banjar lagi. Bahkan, sejak dulu orang-orang Islam Bakumpai (sebagai sub Dayak Ngaju) tetap mengaku diri mereka sebagai etnik Dayak.
    Bagi saya, semula istilah Banjar atau pun Dayak hanyalah konsep yang dipakai untuk menyatukan penyebutan orang-orang yang mendiami Kalimantan (Indonesia); sekaligus untuk membedakan keyakinan yang dianut oleh penduduknya (dulu). Sebab, untuk mengenalkan identitas, orang-orang Kalimantan lebih suka menyebut nama asal daerahnya; urang Amuntai, urang Kalua, urang Alabio, urang Martapura, urang Kuin dst; urang Halong, urang Loksado, urang Meratus, urang Tanah Siang, urang Murung, urang Pamukan, Pasir, Kutai, Berau, Karasikan, Sabangau, Mandawai, Sampit, Kuala Pambuang, Kota Waringin, Muara Teweh, Puruk Cahu, Kapuas, Sukadana, Lawai, dan Sambas, dst.
    Demikian.
    salam dari Kedah

    Konon, saat Mahathir Muhammad masih muda, dan ketika itu Malaysia masih dalam jajahan Inggris, ia mencantumkan identitas kesukuannya Tamil atau Keling (?) karena ia memang punya darah campuran Keling dan Melayu. Malaysia merdeka, ia pilihan untuk menyatakan dirinya sebagai orang Melayu, sama halnya dengan orang Jawa, Minang, Aceh, Bugis, Banjar, dsb yang dikategorikan sebagai Melayu. Sehingga kemudian identitas Melayu lebih bernuansa politis ketimbang genealogis. Saya sependapat bahwa orang luar, seperti Jawa, Minang, Bugis, dsb yang tinggal di Banjar dan kawin dengan orang Banjar dan fasih berbahasa Banjar tidak bisa dikatakan sebagai orang Banjar. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai ORANG KALSEL. Kecuali anaknya yang lahir, tinggal, berbahasa dan berbudaya Banjar tentu dapat dikatakan sebagai orang Banjar. Beda halnya dengan orang Bukit (Dayak Meratus), secara genealogis mereka adalah dangsanak orang Banjar (Hulu). Bahkan, pada masa Kesultanan Banjar yang wilayah teritorial meliputi kawasan pegunungan meratus maka, logikanya, orang Meratus dahulu disebut bagian dari bangsa Banjar. Salam

    • arifin ahmad permalink
      Oktober 11, 2022 9:04 am

      Setelah membaca semua ini pada perkiraan saya, kita semua adalah etnik Melayu. Adat istiadat kita umumnya sama. Cumanya di Malaysia, menurut perlembagaan negara berkenaan, iaitu tafsiran undang-undang, seseorang itu harus beragama Islam baru dikira sebagai Melayu. Apapun agama anutan, kita harus bersama demi keamanan dan kesejahteraan di rantau ini.

  2. sejarah yg kabur permalink
    Mei 9, 2011 1:32 am

    ikut meramaikan menurut Mudjahidin. S “Pemerhati Budaya & Kebudayaan”

    Raden Samudra, masuk Islam dan berganti nama Sultan Suriansyah kurang lebih 1526 kurang lebih dua tahun dinegara Dipa, konon sultan Suriansyah bertahta serta berpitua dengan rakyatnya (konon pada suatu hari Raya didepan Rakyat dan Tamunya). Bangaran 5 pitua Sultan

    1. Rakyatku dibanua nangini baik badiam dahulu, digunung atawa nang dihilir Agar masuk Agama Islam seperti agamaku;

    2. Bagi rakyatku nangkada atawa balum masuk agamaku, tapi inya taat lawan aturan-aturan Pemerintahku inya termasuk kelompok masyarakatku (Banjarku).

    3. Rakyatku badiam baik digunung maupun dihilir atawa nang dikampung supaya maulah kadiaman baparak lawan sungai.

    4. Bakumpul Saparinduan, dan batutulungn, lawan bahuma-bakabun dicangkali (Dongeng lama)

    5. Rakyatku nang bahuma-bakabun, rancaki dibarasihi lawan galangan bajalan, sungai dimandii dibarasihi jangan dirigati(Dikotori) (konon dulunya bahasa dayak ngaju).

    Sayang pitua ini tidak tercatat hanya dari dongeng-dongeng dari mulut kemulut dan bahkan bagi peneliti-peneliti orang asing jaman dulu, tetapi walaupun begitu pitua ini mengandung pendidikan serta etika Budaya Paragon.

    Dari pitua-pitua tersebut pengertian “Urang Banjar” Raden Suriansyah tidak pernah membedakan tempat, suku, dan kepercayaan/ Agama, berbeda dengan pengertian/Definisi J.J.Ras dan Dr.J.Mally ngkrodt tentang “Urang Banjar”.

    Memang kita generasi sekarang harus mewaspadal Definisi­ definisl tersebut, karena mereka (Belanda) dulunya bukan saja datang berdagang tetapi ingin menjajah dan menguasai banua dengan politik-­politik pecan belahnya.

    Pada tahun 1528 M. pusat Pemerintahan Kerajaan oleh Sultan Suriansyah dipindahkan kebanjar dikuin, banyak orang‑orang Dayak dari Tanjung Puri (Tabalong sekarang ikut dengan Sultan ke Baniarmasin mereka berbaur membuka kampung adapula menjadl Pengawal Kerajaan dan lama kelamaan menjadi penduduk Alalak= Basirih dan sekitarnya.serta pesisir mantuil.

    Contoh lain dizaman perjuangan pangeran Antasarl banyak Satria-satria Dayak Iban (Keturunan Ma Aban) ikut berjuang bersama Pangeran Antasarl dan bahkan sampai Perjuangan Dt. M. Seman.

    Kerajaan ini bukan karena motto : haram Manyarah waja sampai Keputing sja, tetapi ini menyangkut aspek kekerabatan yang dalam yaitu orang Dayak Iban dan Ngaju Manyan merasa lawan Urang Banjar (dayak) diKalsel. Dulunya adalah satu saudara, satu titisan Dewa (lihat dongeng asal mula Dayak Borneo)

    Dayak Borneo/ Suku di Kalimantan punya pepatah lama Pantang Babantah Satamangungan (pantang bamusuh seketurunan/sepupu sedarah ).

  3. sejarah yg kabur permalink
    Mei 9, 2011 2:58 am

    DARI ZAMAN MEGALITIK – TANJUNG PURI – CANDI LARAS SAMPAI PANGLIMA BATUR

    Oleh : Mudjahidin. S
    Pemerhati Budaya & Kebudayaan

    http://mudjahidinlasqikalsel.blogspot.com/2010/02/dari-zaman-megalitik-tanjung-puri-candi_26.html

  4. aliansyah jumbawuya permalink
    Mei 10, 2011 10:26 am

    Kekaburan sejarah krn budaya menulis masyarakat banjar tempo dulu masih minim. Agar hal serupa tidak terulang, generasi sekarang mesti rajin menulis, mengabadikan momen-momen penting. Kayak apa pendapat dangsanak, akur juakah?

    Akur banar. Urang Banjar mesti rajin menulis. Seperti yang dipelopori Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari) dahulu…

  5. sejarah yg kabur permalink
    Mei 19, 2011 1:55 am

    Bpk wajidi tolong dituliskan jua sejarah “IBNU HAJAR” yg sebenarnya bahwa beliau jua seorang pejuang yang “TERZHOLIMI” apalgi ada pernyataan beliau setelah menyerahkan diri “Menarik untuk dicermati, ketika ia berbicara kepada pers, “ apabila Negara membutuhkannya ia bersedeia mengabdi kepada republik dan ia berserta pengikutnya bersedia dilibatkan dalam konfrontasi dengan Malaysia”. Perkataan tersebut mengisyaratkan bahwa beliau bukan separatis tetapi malah diadili dan dihukum mati” hiks hiks hiks

  6. Februari 15, 2016 7:37 pm

    Salam sejahtera. saya dari Malaysia. saya sedang menjalankan kajian mengenai Masyarakat Banjar. Bisa saya tahu dari mana saya boleh mendapatkan koleksi penulisan tentang Banajar untuk rujukan?

Tinggalkan komentar