Lanjut ke konten

Kartini Banjar Minim Publikasi

Juni 12, 2021

Oleh Wajidi

Raden Ajeng Kartini seorang priyayi Jawa adalah simbol kekuatan intelektual. Pemikiran dan luahan cita-citanya melalui korespondensi dengan teman-temannya di Eropa, yang dirangkum Jacques Abendanon  menjadi buku berjudul: Door Duisternis tot Licht  (Dari Kegelapan Menuju Cahaya), teramat melampaui zaman.

Keluasan wawasan dan ketajaman pemikiran R.A. Kartini didukung oleh kecerdasan dan pendidikan yang ia tempuh di ELS (Europese Lagere School), sehingga ia mampu berbahasa Belanda dengan baik. Kemampuan mengakses produk print capitalism (kapitalisme cetak) seperti surat kabar dan majalah menjadikan ia berwawasan luas,   mengenal dunia lain di luar tanah Hindia, dan memiliki pola pikir yang lebih maju dibanding dengan kebanyakan perempuan waktu itu.

Meski ia kemudian dipingit, ia masih bisa surat menyurat dengan teman-teman Belanda-nya di Eropa. Melalui suratnya itu, nalar dan gagasannya menembus kungkungan sekat tradisi. Raga memang terkurung, namun jiwanya tidak. Batinnya  memberontak melihat nasib kaum perempuan.  Tak mengherankan, sudah sejak masa Hindia Belanda, sosok RA Kartini sudah  dihormati sebagai pahlawan emansipasi wanita, tak terkecuali di Borneo bagian Selatan.

Rukun Keputrian Parindra di Banjarmasin. Duduk di tengah-tengah Gusti Noorsehan Johansyah didampingi pengurus Keputrian, dengan latar belakang foto ibu Kartini; pelopor pergerakan emansipasi kaum perempuan.

Kartini Banjar

Tanah Jawa merupakan kiblat pergerakan kebangsaan Indonesia. Tak mengherankan cabang Parindra hadir di Borneo Selatan.  Salah satu onderbouw Parindra adalah Rukun Keputrian Parindra di Banjarmasin yang dipimpin oleh Ny. Gusti Noorsehan Johansyah (isteri Merah Johansyah bin Merah Nadalsyah). Beliau  bersama ibu-ibu pengurus Keputrian, menjadikan R.A. Kartini sebagai tokoh panutan, foto Kartini dipajang di markas organisasi.  Abdul Muis, fotografer didikan Hashimoto si intel Jepang, sempat mengabadikan anggota Parindra yang berpose pada peringatan Hari Lahir Kartini di depan Markas Parindra Cabang Barabai dengan papan hitam bertulisan  “Hari Peringatan Almarhoem R.A. Kartini, Barabai 23-4-‘39”.

Selain Gusti Noorsehan, ada beberapa  tokoh wanita pergerakan lainnya seperti  Ny. Masiah, Ny. Sosodoro Jatikusomo, Ny. Fatimah (isteri Hadhariyah M), Ny. Hj. Fatmah Sakerani, Ny. Siti Syahrijat, Ny. Aisyah, Ny. Aluh Idut, Mastora, dan lainnya. Mereka adalah “Kartini Banjar” yang tak kalah hebat  dengan kaum pria  dalam pergerakan, namun sangat disayangkan peran mereka sangan minim publikasi. Kecuali Aluh Idut, hampir tidak ada nama Kartini Banjar yang terpatri dalam monumen. Kondisi ini berkelindan dengan pengetahuan masyarakat di Kalimantan Selatan yang memang sangat minim terhadap tokoh sejarah dari kalangan perempuan.  Di beberapa pusat studi gender kering kajian tentang pergerakan perempuan Banjar.

Peran perempuan di luar peran tradisionalnya misalnya sebagai aktivis pergerakan, guru, tuan guru, penulis, atau pejuang gerilya, bukan seputaran dapur, sumur, dan kasur, belum banyak muncul dalam panggung sejarah Borneo  bagian Selatan. Apa pasal? Ada  beberapa hal yang melatarbelakanginya, yaitu: (1) Karena memang aktor sejarah lebih banyak diperankan oleh kaum pria, (2) Dalam realitas sejarah memang hanya segelintir tokoh perempuan aktif dalam pergerakan karena faktor kungkungan tradisi, penddikan dan kebebasan dibatasi, dan mispersepsi ajaran keagamaan (suara wanita dianggap aurat) dll, (3) Dari beberapa nama tokoh perempuan hanya hanya segelintir yang menjadi  subjek penulisan, misal: Aluh Idut pernah jadi skripsi, Ratu Zaleha dan Fatmah Sakerani dalam karya Anggraini Antemas, selebihnya lebih berupa bagian dari tema yang lebih besar misal dalam Perang Banjar, pergerakan, dan revolusi kemerdekaan.

Minim Publikasi

Dalam Hikayat Banjar kita memang mengenal nama Putri Junjung Buih. Namanya melekat sebagai tokoh perempuan, isteri Pangeran Suryanata, putera Majapahit, Raja Kerajaan Negara Dipa. Ketokohan putri ini  berbalut mitos. Keberadaanya dirasakan ada, namun terbuktikan tidak.

Pada masa perkembangan Islam kita mengenal nama Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad al Banjari yang memberikan pengajaran (guru) bagi murid perempuan yang ingin belajar agama, dan Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis yang mencatat hasil pengajian kakeknya sehingga menjadi Kitab Parukunan. Pada masa Perang Banjar kita mengenal nama Kiai Cakrawati, Saranti, Bulan Jihad, Ratu/Gusti Zaleha,  namun hanya ditulis sekilas sebagai bagian cerita Perang Banjar.

Pada masa pergerakan kebangsaan kita mengenal pula nama Ny. Masiah  Pemimpin Perserikatan Dunia Isteri dibawah Sarekat Islam (isteri Mohamad Horman  Presiden SI) yang telah bersurat dengan R. Ajoe Tjokroaminoto (Presiden SI Wanodya Oetomo)  antara lain surat dari R. Ajoe bertanggal  23 April 1923.  SI Dunia Isteri dapat dipandang sebagai organisasi kewanitaan yang tertua di Kalimantan Selatan. Meski bukan sebagai sebuah organisasi yang berdiri sendiri. SI Dunia Isteri turut menyokong pergerakan kaum perempuan, khususnya bagi para isteri yang suaminya menjadi tokoh  dan anggota organisasi  SI.

Kembali dengan nama Ny. Gusti Noorsehan Johansyah. Tokoh wanita yang oleh Majalah Femina disebut “Kartini” dari Kalimantan Selatan,   pernah menjadi ketua Rukun Isteri di Barabai. Bersama ibu-ibu lainnya seperti Fatimah (isteri Hadhariyah M) yang tergabung dalam Rukun Keputrian Parindra ikut aktif mendirikan Huishoudschool yaitu sekolah khusus perempuan untuk mengasah keterampilan mengurus rumah tangga. Pada masa Jepang aktif di Fujin-Kai, dan pada masa revolusi kemerdekaan, Ibu Noorsehan aktif sebagai Ketua kelompok wanita bernama PERTIWI (Persatuan Tindakan Wanita Indonesia).

Ada pula perempuan bernama Ny. Siti Syahrijat dari Kandangan yang memberanikan diri berpidato di rapat terbuka (openbare) di los Getah, pasar Barabai. Menurut informasi seorang perintis kemerdekaan (Abdul Manap Uhuk). Siti Syahrijat menjadi salah seorang wanita yang tidak kenal takut berpidato dengan lantang di muka umum pada masa penjajahan. Isi pidatonya bertujuan membangun semangat kaum perempuan, membangkitkan kegairahan dan menyadarkan kaum ibu serta mengajak mereka agar tidak hanya bekerja di dapur  yang semata-mata memasak dan memelihara anak di rumah, akan tetapi perempuan  juga harus   bangkit dan mengikuti jejak langkah kaum pria  di dalam menentukan langkah nasib bangsa di kemudian hari, sesuai dengan kemampuannya sebagai seorang perempuan.

Nama lainnya adalah Ny. Aisyah (isteri A.A. Hamidhan) pengasuh rubrik hari Sabtu bernama ”Soeara Iboe Kalimantan” (disingkat S.I.K). Siti Aisyah adalah juga seorang  guru HIS Partikelir. Dalam rubrik beliau punya nama samaran Sri. Rubrik Suara Ibu Kalimantan berisi informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengankewanitaan, seperti pengetahuan masak-memasak, pengetahuan kerumahtanggaan dan sebagainya.  Pada  salah satu terbitan  surat kabar Soeara Kalimantan edisi Sabtu, 7 Februari 1942 halaman 3 ada memuat rubrik “Soeara Iboe Kalimantan” di bawah pimpinan SRI. Rubrik S.I.K edisi tersebut memuat informasi dengan judul: “Kewadjiban Kaoem Iboe Diwaktoe Sekarang”. Isinya berisi anjuran kepada para ibu agar bagaimana di saat suasana genting akibat Perang Pasifik dapat mempergunakan pikiran dan segenap tenaganya untuk keselamatan rumah tangganya serta keluarganya. 

Di  Amuntai dikenal seorang aktivis pergerakan bernama Hj. Fatmah Sakerani yang juga guru berbagai sekolah seperti Kweekling, kepala sekolah di Volkschool-Putri  Kandangan, mendirikan Bustanul Athfal di Amuntai, aktif di Fujin-Kai, Wanita PRI, Seksi kewanitaan di SKI, dll.  Nama lainnya adalah Ibu Guru Amas (Siti Masari) salah seorang keturunan Danuraja guru sekolah rakyat tahun 1929, anggota organisasi Kaum Ibu, sesudah merdeka sebagai anggota Perwari

Di Kandangan, ada sebuah jalan bernama Aluh Idut (Aluh Kaderi). Nama asli beliau Siti Warkiah. Semasa hidup aktif sebagai anggota PBI, Parindra, dan pada tahun 1935 bersama Ny. Rahmah Bahran mendirikan Jam’iyyatun Nisa sebuah organisasi kewanitaan di bawah Musyawaratutthalibin, aktif  pula dalam Fujin-Kai, anggota BPPKI (Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia), anggota SKI, anggota Gappika, dan pernah dijebloskan ke penjara serta disiksa Belanda sampai cacat.

Kartini Banjar memang lebih banyak bergerak di bidang politik, namun ada pula yang bergerak di perjuangan bersenjata, seperti Mastora, tentara wanita anggota ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang bertempur di garis depan. Namun banyak pula yang berperan di garis belakang seperti di dapur umum, termasuk  Ibu Sa’diah yang mahambin Hassan Basry, tokoh gerilya ALRI Divisi IV,  dalam lanjung dari Mandapai ke Tabihi. Atau  bisa pula disebut nama Rochanah, janda Bahtiar Komandan Sektor Z-61 Pagat Barabai yang gugur. Beliau tampil  memimpin 20 orang laskar wanita binaan Norman “Trikesuma” di Pancur Mangumbi Pagat Barabai.

Peran perempuan di luar peran tradisionalnya seperti sebagai anggota pergerakan, guru sekolah, dan pelajar sangat dipengaruhi oleh politik etis berupa munculnya sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah partikelir berbasis nasionalis  dan keagamaan  yang dikelola oleh berbagai organisasi pergerakan seperti SI, Parindra, Muhammadiyah, NU, Musyawaratutthalibin, dan lain. Banyak tokoh pergerakan yang dalam aktivitasnya dibantu oleh para  isteri.

Gusti Noorsehan bin Gusti Muhammad Said dalam memoarnya mengatakan bahwa seperti gadis pada umumnya waktu itu ia dipingit, kebebasan dibatasi, ia hanya sekolah sampai selesai HIS. Keterlibatannya dalam pergerakan karena ia dinikahkan ayahnya dengan Merah Johansyah bin Merah Nadalsyah gelar gelar Sutan Indrajati, yang kebetulan adalah pemuda terdidik lulusan OSVIA, seorang pamongpraja namun kerapkali berseberangan dengan pemerintah. Dari suaminya itulah Gusti Noorsehan belajar politik dan akhirnya total sebagai aktivis pergerakan sejak masa Hindia Belanda sampai era sesudah kemerdekaan, namun seperti halnya tokoh wanita lainnya, aktivitas beliau minim publikasi, dan dikuatirkan kelak akan terhapus dari catatan sejarah. *Tulisan ini terbit di Opini Banjarmasin Post, Rabu 21 April 2001.

No comments yet

Tinggalkan komentar