Lanjut ke konten

Pergerakan Kaum Perempuan di Borneo bagian Selatan

Juli 6, 2020

Oleh Wajidi

PERAN PEREMPUAN DI LUAR PERAN TRADISIONALNYA misalnya sebagai aktivis pergerakan, guru, tuan guru, penulis, pejuang gerilya —–bukan seputaran dapur, sumur, dan kasur—–belum banyak muncul dalam panggung sejarah Borneo  bagian Selatan. Kenapa? Ada  beberapa hal yang melatarbelakanginya, yaitu: (1) Karena memang aktor sejarah lebih banyak diperankan oleh kaum pria, (2) Dalam realitas sejarah memang hanya segelintir tokoh perempuan aktif dalam pergerakan karena faktor kungkungan tradisi, penddikan dan kebebasan dibatasi, dan mispersepsi ajaran keagamaan (suara wanita dianggap aurat) dll, (3) Dari beberapa nama tokoh perempuan hanya hanya segelintir yang menjadi  subjek penulisan, misal: Aluh Idut pernah jadi skripsi, Ratu Zaleha dan Fatmah Sakerani dalam karya Anggraini antemas, selebihnya lebih berupa bagian dari tema yang lebih besar misal dl perang banjar, pergerakan, dan revolusi kemerdekaan.

Dalam hikayat kita memang mengenal nama Puteri Junjung Buih. Namanya melekat sebagai tokoh perempuan, isteri Pangeran Suryanata, putera Majapahit, Raja Kerajaan Negara Dipa. Ketokohannya berbalut mitos. Keberadaanya dirasakan ada, namun terbuktikan tidak.

Pada masa perkembangan Islam kita mengenal nama Fatimah binti Syekh Muhammad ArsyadAl Banjari yang memberikan pengajaran (guru) bagi murid perempuan yang ingin belajar agama, dan Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis yang mencatat hasil pengajian kakeknya sehingga menjadi kitab parukunan.Masa Perang Banjar kita mengenal nama Kiai Cakrawati, Saranti, Bulan Jihad, Ratu/Gusti Zaleha,  namun hanya ditulis sekilas itupun dalam cerita Perang Banjar.

Ratu Zaleha

Masa pergerakan kebangsaan: 

Ny. Masiah  Pemimpin Perserikatan Dunia Isteri dibawah SI (isteri Mohamad Horman  Presiden SI) yang telah bersurat dengan R. Ajoe Tjokroaminoto (Presiden SI Wanodya Oetomo)  antara lain surat dari R. Ajoe 23 April 1923.  SI Dunia Isteri dapat dipandang sebagai organisasi kewanitaan yang tertua di Kalimantan Selatan. Meski bukan sebagai sebuah organisasi yang berdiri sendiri. SI Dunia Isteri turut menyokong pergerakan kaum perempuan, khususnya bagi para isteri yang suaminya menjadi tokoh  dan anggota organisasi  SI.

Gusti Noorsehan bin Gusti Muhammad Said
  • Ny. Noorsehan Djohansjah (isteri Merah Djohansjah bin Merah Nadalsjah) pernah menjadi ketua Rukun Isteri Barabai di Barabai (Hulu Sungai Tengah), di dalam Parindra bersama ibu-ibu lainnya seperti Fatimah (isteri Hadhariyah M) yang tergabung dalam Roekoen Kepoetrian Parindra. Di Roekoen Keputrian Parindra menjadikan RA Kartini sebagai tokoh panutan emansipasi wanita, foto RA Kartini mereka pajang dan hari kelahiran Kartini mereka peringati. Masa Jepang aktif di Fujin-Kai, Wanita PRI ibu Fatmah Sakerani. Pada masa revolusi kemerdekaan, Ibu Noorsehan aktif sebagai Ketua kelompok wanita bernama PERTIWI (Persatuan Tindakan Wanita Indonesia).
  • Ny. Siti Syahrijat, dari Kandangan memberanikan diri berpidato di rapat terbuka (openbare) di los Getah, pasar Barabai. Menurut informasi seorang perintis kemerdekaan (Abdul Manap Uhuk). Siti Syahrijat menjadi salah seorang wanita yang tidak kenal takut berpidato dengan lantang di muka umum pada masa penjajahan. Isi pidatonya bertujuan membangun semangat kaum perempuan, membangkitkan kegairahan dan menyadarkan kaum ibu serta mengajak mereka agar tidak hanya bekerja di dapur  yang semata-mata memasak dan memelihara anak di rumah, akan tetapi perempuan  juga harus   bangkit dan mengikuti jejak langkah kaum pria  di dalam menentukan langkah nasib bangsa di kemudian hari, sesuai dengan kemampuannya sebagai seorang perempuan.
  • Ny. Rahmah Bahran dan Aluh Kaderi (kelak dikenal sebagai Aluh Idut) yang pada tahun 1935 mendirikan Jam’iyyatun Nisa sebuah organisasi kewanitaan di bawah Musyawaratutthalibin.
  • Ny. Aisyah (isteri A.A. Hamidhan) pengasuh rubrik hari sabtu bernama ”Soeara Iboe Kalimantan” (disingkat S.I.K). Siti Aisyah adalah juga seorang  guru HIS Partikelir. Dalam rubrik beliau punya nama samaran Sri. Rubrik Suara Ibu Kalimantan berisi informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengankewanitaan, seperti pengetahuan masak-memasak, pengetahuan kerumahtanggaan dan sebagainya.  Pada  salah satu terbitan  surat kabar Soeara Kalimantan edisi Sabtu, 7 Februari 1942 halaman 3 ada memuat rubrik “Soeara Iboe Kalimantan” di bawah pimpinan SRI. Rubrik S.I.K edisi tersebut memuat informasi dengan judul: “Kewadjiban Kaoem Iboe Diwaktoe Sekarang”. Isinya berisi anjuran kepada para ibu agar bagaimana di saat suasana genting akibat Perang Pasifik dapat mempergunakan pikiran dan segenap tenaganya untuk keselamatan rumah tangganya serta keluarganya. 
  • Hj. Fatmah Sakerani seorang aktifis pergerakan, guru berbagai sekolah seperti guru Kweekling, guru Volkschool-Putri  dan menjadi kepala sekolahnya di Kandangan, mendirikan Bustanul Atfal di Amuntai, aktif di Fujin-Kai, Wanita PRI bersama Noorsehan Johansyah, Seksi kewanitaan di SKI, dll.
  • Ibu Guru Amas (siti masari) salah seorang keturunan Danuraja guru sekolah rakyat tahun 1929, anggota organisasi Kaum Ibu, sesudah merdeka sebagai anggota perwari
  • Siti Warkiah atau Aluh Idut (Aluh Kaderi) aktif sebagai anggota PBI, Parindra, dan Jam’iyyatun Nisa sebuah organisasi kewanitaan di bawah Musyawaratutthalibin, Fujin-Kai, anggota BPPKI (Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia), anggota SKI, anggota Gappika, dan dijebloskan ke penjara serta disiksa Belanda sampai cacat.
  • Mastora, tentara wanita anggota ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.Para ibu yang berperan di dapur umum, Ibu Sa’diah yang mahambin Hassan Basry dalam lanjung dari Mandapai ke Tabihi.
  •  Rochanah, pemimpin 20 orang laskar wanita binaan Norman di Pancur Mangumbi Pagat Barabai. Norman adalah salah satu tokoh dalam peristiwa “Pemberontakan Trikesuma di Barabai” pimpinan tiga bersaudara Nawawi, Norman dan Alhamdie.
Hj. Bulkis, Ketua Aisyiah Muhammadiyah cabang Banjarmasin
Rukun Keputrian Parindra di Banjarmasin. Duduk di tengah-tengah Gusti Noorsehan Johansyah didampingi pengurus Keputrian, dengan latar belakang foto ibu Kartini; pelopor pergerakan emansipasi kaum perempuan
Huishoudschool, sekolah khusus perempuan untuk mengasah keterampilan mengurus rumah tangga, dikelola oleh Roekoen Poetri Parindra

Gagasan kemajuan kaum perempuan keluar dari peran tradisionalnya di Kalimantan bagian Selatan tidak terlepas dari masuknya pemikiran gerakan perempuan yang dipelopori terutama RA Kartini yang mana pada penjajahan foto tokoh emansipasi ini telah dipampang di dalam beberapa organisasi kewanitaan seperti Roekoen Kepoetrian Parindra, bahwa di Barabai pada foto lama di depan markas Parindra Cabang Barabai terdapat   papan hitam bertulisan  “Hari Peringatan Almarhoem R.A. Kartini, Barabai 23-4-‘39”.

Sekolah Puteri tahun 1932 di Banua Kupang, Barabai

Peran perempuan di luar peran tradisioanlnya seperti sebagai anggota pergerakan, guru sekolah, dan pelajar sangat dipengaruhi oleh politik etis berupa munculnya sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah partikelir berbasis nasionalis  dan keagamaan  yang dikelola oleh berbagai organisasi pergerakan seperti SI, Parindra, Muhammadiyah, NU, Musyawaratutthalibin, dan lain. Banyak tokoh pergerakan yang dalam aktovitasnya dibantu isteri atau setidaknya memberikan peluang para isteri tokoh saling berkorespondensi seperti halnya R. Ajoe Tjokroamianoto yang berkirim surat bertanggal Kedoengdjati; 23 April 1923 dengan Ny. Masiah (isteri Mohammad Horman, Presiden SI di Banjarmasin), Ny. Noorsehan Djohansyah, Ny. Sosodoro Djatikusomo, Ny. Fatimah (isteri Hadhariyah M), Ny. Hj. Fatmah Sakerani (isteri Sakerani) dll.

Gusti Noorsehan bin Gusti Muhammad Said dalam memoarnya mengatakan bahwa seperti gadis pada umumnya waktu itu ia dipingit, kebebasan dibatasi, ia hanya sekolah sampai selesai HIS. Keterlibatannya dalam pergerakan karena ia dinikahkan ayahnya dengan Merah Johansyah bin Merah Nadalsyah gelar gelar Soetan Indradjati, yang kebetulan adalah pemuda terdidik lulusan Osvia, seorang pamongpraja namun kerapkali berseberangan dengan pemerintah. Dari suaminya itulah Noorsehan belajar politik dan akhirnya total sebagai aktivis pergerakan seperti sebagai Ketua Roekoen Parindra, dll.

Salah satu dampak politik etis adalah edukasi atau pendidikan yang mana sekolah partikelir yang dikelola oleh organisasi yang berawatak kebangsaan, sosial maupun keagamaan bermunculan termasuk sekolah-sekolah putri. Dalam catatan sejarah, Belanda mendirikan bukan hanya Vervolgschool (dua tahun) dengan murid campuran, tapi ada pula yang melulu untuk puteri disebut Meisjes Vervolgschool, didirikan pada tahun 1935 di Banjarmasin dan Barabai, diantaranya di desa Banua Kupang pada tahun 1932. Di Barabai, juga terdapat sekolah Muallimat Sekolah Guru Puteri.

Mastora

Berdasarkan catatan Hamlan Arpan sebagaimana termaktub dalam buku Sejarah Banjar (2003 dan 2007), Pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada  perempuan untuk menempuh pendidikan untuk  menjadi guru bantu. Untuk guru-guru wanita pada Meisjes Cursus (Sekolah Puteri), mereka diberikan  kesempatan melanjutkan pendidikan pada Normaalschool  Blitar dengan lama pendidikan 4 tahun. Pada tahun 1930 sebanyak 15 orang  puteri Banjar  berumur rata-rata 14-15 tahun diberi kesempatan berangkat menuju Blitar untuk bersekolah di Meisjes Noormaalschool. Dari Kandangan delapan orang yaitu: Malati, Atung, Nursehan, Itai, Jawiah, Aluh, Nursiah, dan Maserah. Dari Rantau,  Barlian dan Masriah. Dari Barabai Siti Aisyah. Dari Amuntai Syamsyiah. Dari Alabio, Johar Manikam. Dari Kotabaru, Nursaniah dan dari Muarateweh Aisyiah. Mereka inilah yang setelah menyelesaikan pendidikan kembali ke Kalimantan Selatan mendarmabaktikan diri menjadi guru atau ladang pengabdian lainya, namun aktivitas mereka tidak tercatat dalam sejarah.

One Comment leave one →
  1. Mentari permalink
    Juli 14, 2020 4:26 pm

    Para tokoh perempuan yang terlupakan

Tinggalkan komentar