Lanjut ke konten

RIVALITAS NASIONALIS-KOLONIALIS Dalam Nama Kalimantan-Borneo

Februari 25, 2023

Oleh Wajidi

Sejak masa kolonial Belanda, penggunaan nama Kalimantan atau Borneo tidak terlepas dari nuansa politik. Orang-orang nasionalis atau pergerakan, kalangan unitarisme atau kaum Republikan lebih suka memakai nama Kalimantan, sedangkan pemerintah kolonial atau yang pro kolonial memakai nama Borneo. Berikut ulasan yang saya ambil dari buku terbaru saya: Nasionalisme 3 Zaman: Jalan Panjang Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan 1900-1950.

Penggunaan nama Kalimantan (bagian) Selatan, sebagai sebuah nama yang secara formal muncul pada tahun 1950-an melalui pembentukan Provinsi Kalimantan Selatan sehingga terkesan anakronistis, bukanlah tanpa alasan. Alasan utama adalah sudut pandang penulisan “Indonesia-sentris”. Secara legal formal nama “Borneo” merupakan nama resmi dalam hukum internasional, dan Kalimantan merupakan bagian dari Pulau Borneo. Akan tetapi, nama Borneo yang dalam sumber-sumber Eropa misalnya dalam buku Algemeen aardrijkskundig woordenboek  tahun 1821 ditulis Borneo of Boreo atau dari kata  Brunai (Baruni; Barnui; Brauni lebih bernuansa  kolonialis  dan asing (foreign) karena dipakai sebagai nama da­lam berbagai pranata sosial oleh orang Inggris dan Belanda atau para penjelajah bangsa Eropa  yang lama menetap di  Kalimantan.

Di dalam pranata pemerintahan itu terdapat berbagaikepala Binnenlands Bestuur berstatus pegawai Belanda kulit putih seperti gubernur, residen, asisten residen, kontrolir dan aspiran kontrolir. Mereka didampingi pemerintahan setempat (Hoofd van Plaatselijke Bestuur) sebagai aparat Inlands Bestuur atau  pangreh praja bumi putera  seperti kiai besar, kiai kepala, dan kiai. Mereka adalah para pejabat pemerintahan yang dengan dukungan militer, polisi, dan PID (Politieke Inlichtingen Dienst) seringkali mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif dan menindas kaum pribumi, sehingga secara psikologis dalam memori kolektif kaum pribumi, istilah Borneo cenderung lebih bernuansa kolonial.

Dalam pranata pemerintahan misalnya Pemerintahan Dalam Negeri (Binnenlands Bestuur), pemerintah Hindia Belanda menamakan Kalimantan bagian Selatan dengan sebutan  Borneo Zuid-Oostkust, Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo. Pada tahun  1938 untuk menyebut Kalimantan sebagai provinsi dipakai nama Gewest Borneo beribukota di Banjarmasin. Wilayah Gewest Borneo mempunyai dua keresidenan yaitu Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo ibukotanya Banjarmasin, dan Residentie Westerafdeling van Borneo  ibukotanya Pontianak. Sebelumnya kedua keresidenan ini bernama Borneo Westkust dan Borneo Zuid-Oostkust.

Istilah Borneo juga dipakai dalam dunia pers milik pemerintah maupun pribumi. Beberapa surat kabar memakai nama Borneo sebagai identitas tempat media itu berasal, misalnya Borneo Bergerak, Borneo Courant,  Bintang Borneo, Sinar Borneo, Borneo Post, Soeara Borneo, dan Bendahara Borneo. Dalam dunia kepanduan juga memakai nama Borneo, seperti Borneo Padvinder Organisatie (Organisasi Kepanduan Borneo).

Berbeda dengan Borneo, istilah Kalimantan tidak memiliki konotasi kolonial dan lebih melambangkan kepribumian. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan nama Kalimantan berasal dari nama buah kalamantan atau mantan yang banyak tumbuh di pesisir selatan pulau ini.

Menurut Tjilik Riwut nama Kalimantan berasal dari kata kali  yang artinya sungai; dan mantan, besar. Kalimantan berarti pulau yang mempunyai sungai-sungai besar. Versi lain ada nama pohon Kelimantan yang terdiri dari dua suku kata yakni Keli dan Mantan. Keli berarti amat, sedangkan mantan berarti besar, dan lama kelamaan orang menyebutnya Kalimantan. Istilah Kalimantan yang berarti sungai besar sangat tepat jika dikaitkan dengan kondisi geografis pulau Kalimantan yang dibelah oleh ratusan sungai besar dan kecil.

Beberapa sumber Eropa berupa peta dan catatan perjalanan abad ke-19 sudah menyebut  nama Kalimantan dengan ditulis:  K’lemantan, KalamantanKlemantan atau Klematan. Dalam buku Geillustreerde 1884, tertulis: Borneo, elgenlijk Braunie en door de inboorlingen Kalamantan,  Klemantan of  Klematan. Dalam karya tulis A.F. Von De Wall yang terbit tahun 1888, termuat kisah perjalanan seorang wanita bernama Ida yang berangkat dari Benua Eropa pada tanggal 10 April 1851 untuk berlayar menjelajah dunia hingga sampai ke “Pulau Kelemantan”.

Menurut Helius Sjamsuddin,  istilah Kalimantan sudah lama dipakai setidaknya sejak akhir abad ke-19. Ketika itu pada tahun 1812 J. Hunt  menyebut nama Kalimantan lebih indigenous (pribumi) dibanding  nama Borneo yang dianggap foreign (asing)—terlebih lagi berbagai riset dan citra Kalimantan direkonstruksi dalam sudut pandang Barat. Bahkan disebutkan pula istilah Kalimantan telah secara umum dipakai para pangeran dan pembesar Banjar untuk  menunjuk pulau tempat Keresidenan Selatan dan Timur Borneo.

Kaum pergerakan lebih suka memakai istilah Kalimantan untuk me­nyebut Borneo, karena selain melambangkan kepribumian, istilah Kalimantan juga  lebih melambangkan kebebasan dari penjajahan. Terlebih lagi dalam pergerakan yang bermuatan politis dan membawa faham nasionalis, istilah Kalimantan lebih sering dipakai sebagai simbol nasionalisme sekaligus lebih pribumi (indigenoes)  sebagaimana banyak dipakai sebagai nama organisasi dan pers oleh para aktivis pergerakan.  Misalnya Housman Baboe mengganti nama kantor berita Borpena (Borneosche Pers en Nieuw Agentschap) menjadi Kalpena  (Kalimantansche Pers en Nieuw Agentschap) tahun 1928, dan terbitnya surat kabar  Soeara Kalimantan, Kesadaran Kalimantan,  dan Utusan Kalimantan. Di Banjarmasin terdapat percetakan “Oesaha Kalimantan” yang mana Dagblad Expresse dan lainnya dicetak di percetakan ini. Pada masa Hindia Belanda, surat kabar berbahasa Melayu lebih suka menyebut Kalimantan dalam pemberitaan, dan memiliki rubrik berita “Kalimantan”.

Pada saat hampir bersamaan, aktivis pergerakan juga mulai meng­adopsi istilah Kalimantan dalam organisasi mereka, misalnya Pemuda OSVIA Kalimantan di Makassar, Sarekat Kalimantan di Marabahan,  Partai Ekonomi Kalimantan (PEK), dan adapula Kalimantan Voetbal Bond (Perserikatan Sepakbola Kalimantan) sebagai tandingan Bandjarmasin Voetbal Bond yang dikelola Belanda. Untuk menyuarakan perjuangannya, PEK menerbitkan SORAK: Soemangat Rajat Kalimantan dipimpin oleh Anang Acil bin Kiai Kusuma Wiranagara (Anang Acil Kusuma Wiranagara), sampai kemudian terbit Soeara Kalimantan dipimpin puteranya yakni A.A. Hamidhan.

Nama Kalimantan menjadi semakin populer dengan terbitnya surat kabar Soeara Kalimantan pada tahun 1930. Sebagai surat kabar terbesar di Pulau Kalimantan, surat kabar ini sering kali berseberangan dengan dagblad Borneo Post. Dari kedua nama koran, Borneo Post (milik Belanda) dan Soeara Kalimantan (milik A.A. Hamidhan, seorang pribumi) sudah terlihat adanya rivalitas. Satunya memakai nama Borneo, satunya lagi memakai nama Kalimantan. Kehadiran Soeara Kalimantan menjadikan istilah Kalimantan lebih dikenal publik dan ber­kembang menjadi simbol nasionalisme. Pada foto Peringatan Kongres Bond Indonesische Chauffeur (BIC) ketiga tanggal 1 Agustus 1936 di Barabai terdapat latar (backdrop) dengan tulisan: “Selatan dan Timoer Poelau Kalimantan”. Begitupula pada sebuah foto di Pelajau terdapat spanduk bertulisan: “Tentoonstelling Ke­radjinan Tangan Boemi Poetera –Kalimantan-“

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa keberadaan media cetak dengan membawa nama Kalimantan dengan sendirinya menjadikan nama Kalimantan menjadi populer sebagai nama lain dari  Borneo.  Keberadaan Soeara Kalimantan  setidaknya telah mempopulerkan nama Kalimantan, tidak hanya di pulau Kalimantan itu sendiri melainkan juga sampai ke Jawa, karena surat kabar ini mempunyai agen di Surabaya dan Jakarta. Inilah peran dari surat kabar Soeara Kalimantan sebagai aktor perubahan (agent of change) sehingga  dengan menjadikan Kalimantan sebagai nama surat kabar, atau dengan menyebut Kalimantan sebagai pengganti Borneo di dalam pemberitaan maka dengan sendirinya masyarakat luas lebih sering memakai nama Kalimantan dalam berbagai kesempatan.

 Menjelang akhir pemerintahan Hindia Belanda, kaum penjajah mulai menerima nama Kalimantan dan mempergunakan kata-kata Indonesia. Bahkan ketika Soeara Kalimantan dibumihanguskan Belanda maka oleh Hamidhan dibentuklah  surat kabar Kalimantan Raya.

Penambahan istilah “Raya” setelah Kalimantan yakni Kalimantan Raya (Dai Kalimantan) meru­pakan usaha Hamidhan untuk lebih mengenalkan nama Kalimantan selain Borneo.  Menurut A.A. Hamidhan, Kalimantan Raya sengaja dipilih menjadi nama harian karena tujuan harian ini adalah  meliputi seluruh Kalimantan, yaitu Timur ke Barat, dan dari Selatan ke Utara. Dinamakan Kalimantan Raya karena seluruh Kalimantan sudah diduduki tentara Jepang. Meski kemudian tentara pendudukan Jepang sebagai penjajah lebih banyak menggunakan nama Borneo untuk menyebut Kalimantan.

Ketika Belanda  membentuk pemerintahan NICA pada tahun 1945, Belanda kembali memakai nama Borneo dalam keresidenan yang dibentuk di Kalimantan Selatan yakni Residentie Zuider Afdeling van Borneo atau Residentie Zuid-Borneo dengan berbagai perangkatnya. Bahkan pada awal-awal pemerintahan Republik Indonesia sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945 provinsi di Kalimantan bernama  Provinsi Borneo. Saat itu, istilah “Borneo” dan “Kalimantan” masih sering dipertukarkan.  Pada kepala atau kop surat Gubernur dan stempel resmi yang diterbitkan di Yogyakarta sam­pai dengan akhir tahun 1946 masih menggunakan: “Pemerintah Republik Indonesia, Goebernoer Borneo. Begitupula dalam Pasal 4 Persetujuan Linggajati juga ditulis Borneo.

Di sini terlihat kembali rivalitas penggunaan Kalimantan  yang sering dipakai oleh kalangan unitarisme dibanding Borneo yang dipakai oleh pro federalis. Karena dalam periode yang sama, istilah Kalimantan dipakai sebagai nama surat kabar Kalimantan Berdjuang yang berhaluan republikan pro unitarisme, Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia (BPPKI), Barisan Pemberontak Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK), Gabungan Pemuda Pemudi Kalimantan (GPPK), Gabungan Persatuan Pemuda Indonesia Kalimantan (GPPIK), Gerakan Rahasia Kalimantan (GERAK), Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK), Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, Pemerintah Gubernur Tentara ALRI Pertahanan Kalimantan, dan MN1001/MTKI (Mandau Telabang Kalimantan Indonesia) versus Borneo yang dipakai pihak kolonial dalam berbagai nama seperti Residentie van Zuid-Borneo,  Negara Borneo, Borneo Tenggara, Dewan Borneo Tenggara, dan Borneo Timoer, Kantoor Bandjarmasin Zuid-Borneo, dagbladBorneo Post, dan lain-lainnya. Rivalitas pemakaian nama itu  semakin menegaskan kecenderungan nama Kalimantan sebagai identitas kaum Republikan, atau sebagai antitesa dari Borneo yang cenderung dipakai sebagai penamaan oleh pemerintah Belanda atau “berbau” asing dan  kolonial.

Bagaimana pendapat sampeyan?

No comments yet

Tinggalkan komentar