Lanjut ke konten

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 5)

Januari 22, 2024

Pembelajaran Al-Qur’an di Madrasah

Oleh Wajidi

Sekolah Islam atau Madrasah merupakan institusi penyelenggara pembelajaran Al-Qur’an setelah di rumah dan masjid, dan pesantren. Namun keberadaan madrasah tidak meniadakan pembelajaran Al-Qur’an di rumah dan masjid, dan pesantren. Pendidikan di dalam madrasah itu diatur sesuai metode pengajaran modern dengan menggunakan sistem klassikal. Pada mulanya sistem klasikal merupakan peningkatan dari sistem pengajian dasar dengan pola belajar sorogan  (individual)  dengan jumlah santri 3 atau 4 orang yang diberikan kepada santri yang telah mengusai pembacaan Al-Qur’an. Selanjutnya dikenal pula sistem bandongan  (kelompok) atau dalam istilah Jawa disebut sistem  weton,   dan “santri kelana”. Mereka memiliki kelompok kelas yang disebut halaqah (lingkaran murid) dibawah bimbingan seorang guru.  Selain itu dikenal juga Kelas Musyawarah, yang berbeda dengan Sorogan dan Bandongan, karena santri mesti mempelajari sendiri kitab yang ditunjuk dan dirujuk (Dhofier, 2015:53-58).

Pada umumnya madrasah dikelola secara swadaya oleh masyarakat, ada yang berkembang pesat, namun tidak sedikit yang berjalan di tempat. Terlebih di masa pergerakan kebangsaan dahulu.  Berbagai madrasah didirikan oleh elite agama sebagai ujung tombak untuk melawan islam-phobia,  kristening politiek ataupun sekolah pemerintah yang mengancam kehidupan agama Islam (Deliar Noer, 1982: 28). Banyak guru-guru dihadapkan kepada kondisi sulit. Di satu sisi  mereka harus melawan pemerintah kolonial melalui jalur pendidikan, namun di sisi lain  kehidupan mereka sangat memprihatinkan seolah pepatah: hidup segan mati tak mau. Motivasi kesalehan dan semangat perlawanan-lah yang  menjadi spirit mereka dalam bertahan.  

M. Zafry Zamzam —kelak Rektor IAIN/UIN Antasari pertama—  dalam tulisannya: “Memperbaiki Nasib Pergoeroean Islam” di surat kabar Kalimantan Raya No. 216 Selasa 24 Nopember 2602 [1942] Tahoen  Ke-I melukiskan betapa beratnya tantangan yang dihadapi para guru sekolah Islam.

“Saja tahoe berapa banjak goeroe2 Islam jang hanja berpenghasilan f3, f4, f5 seboelan dari pekerdjaan itoe.  Dapat difikirkan sendiri, betapa soelitnja kehidoepan mereka. Apapoela bagi mereka jang telah mempoenjai tanggoengan anak dan istri. Tidak tjoekoep…! dan tidak heran kalau goeroe2  itoe tak dapat memboelatkan hatinja dalam memadjoekan sekolah. Lihat, berapa banjak poela sekolah2 Islam jang merana atau terpaksa dimatikan. Sebab dan karenanja tidak lain adalah ….nafkah goeroe! Sedang kehidoepan persekolahannja, besar sekali pergantoengannja kepada tetapnja goeroe2 djangan dikata lagi tentang serba kekoerangan di dalam segala matjam alat”.

No comments yet

Tinggalkan komentar