Lanjut ke konten

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 1):

Oktober 13, 2023

URGENSI PEMBELAJARAN AL-QUR’AN

Oleh Wajidi

Harian Republika online (Senin 12 Apr 2021) memberitakan bahwa pada tahun 2020 sebanyak 65 persen dari  jumlah penduduk Indonesia beragama Islam  tidak bisa membaca Al-Qur’an. Data itu diungkapkan oleh Ketua Yayasan Indonesia Mengaji Komjen Pol Syafruddin berdasarkan hasil penelitian organisasi pemuda Islam dan tokoh-tokoh pemuda Islam. Jikalau data itu benar, maka sungguh memprihatinkan. Para ulama menyatakan kemampuan membaca Al-Qur’an dengan bertajwid (mengamalkan tajwid ketika membaca Al-Qur’an) adalah fardu ain atau wajib bagi lelaki dan perempuan yang mukalaf, sedangkan mempelajari ilmu tajwid itu sendiri adalah fardu kifayah.

Agar pandai membaca Al-Qur’an dengan bertajwid, maka hukum-hukum dalam tajwid itu harus dipelajari. Setiap muslim mesti menuntut ilmu membaca Al-Qur’an. Dr. Arief Subhan (2012: 35) mengatakan Talab al-ilm atau menuntut ilmu merupakan  bagian integral dari doktrin dan tradisi Islam. Dalam doktrin Islam disebut kewajiban menuntut ilmu. Banyak dalil tentang pentingnya menuntut ilmu, diantaranya: Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘alaa kulli muslimin wal muslimat (HR. Bukhari-Muslim). Tradisi pembelajaran dalam Islam dimulai dari pembelajaran Al-Qur’an. Karena dalam Islam kemampuan membaca  Al-Qur’an dengan bertajwid  sangat berkaitan erat  dengan shalat, dimana di dalamnya ada surah Al fatihah yang wajib dibaca. Kalau tertinggal, maka shalat tidak sah. Jika keliru membacanya, maka tidak sempurna shalatnya. Belum lagi bacaan-bacaan shalat lainnya.

Pembelajaran Al-Qur’an adalah satu bentuk Pendidikan Islam.  Bayard Dodge (Subhan, 2012: 35) mengatakan bahwa   dalam periode awal Pendidikan Islam menyebut Al-Qur’an sebagai “foundation stone”, dan bahkan ia menyamakan Pendidikan Islam dengan Pendidikan Al-Qur’an. Pernyataan Dodge itu tidak hanya  diartikan bahwa dalam pendidikan Islam yang paling awal diajarkan adalah membaca Al-Qur’an, namun juga dapat dimaknai bahwa sejak dini anak-remaja mesti yang pertama dan utama adalah belajar membaca Al-Qur’an.

Islam menganjurkan para pemeluknya untuk mempelajari Al-Qur’an terutama dalam membacanya. Tujuan pembelajaran Al-Qur’an menurut Mardiyo (Nurchalis dan Hendra S.H., 2018) antara lain adalah agar pelajar dapat membaca kitab Allah dengan mantap, baik dari segi ketepatan harakat, saktat (tempat-tempat berhenti), membunyikan huruf-huruf dengan makhraj-nya dan persepsi maknanya, pelajar mengerti makna Al-Qur’an dan terkesan dalam jiwanya, mampu menimbulkan rasa haru, khusyuk dan tenang jiwanya serta takut kepada Allah, serta membiasakan pelajar membaca pada mushaf dan memperkenalkan istilah-istilah yang tertulis baik untuk waqaf, mad dan idgham.

Belajar membaca Al-Qur’an bagi anak-remaja sangatlah penting, terlebih di era digital sekarang. Anak-remaja sekarang disebut generasi gadget, karena hampir tidak ada anak-remaja yang tidak mengenal gadget atau smartphone, yang dengan itu anak-remaja dapat mengakses beragam informasi, kemudahan dalam berbelanja online  dan berinteraksi melalui media sosial, seperti Whatshaap, IG, Youtube, dan lain sebagainya.

 Mereka dikenal sebagai generasi milineal yang melibatkan teknologi informasi dalam berkegiatan. Mereka antara lain bercirikan: kreatif, informatif, punya passion dan produktif. Akan tetapi kemudahan itu sendiri menjadikan sebagian mereka cenderung berprilaku instan atau mengabaikan proses. Menjamurnya tempat nongkrong  seperti di café, hiburan malam, belum lagi konten internet yang seolah tanpa filter yang diakses oleh warganet dari beragam usia. Tak pelak fenomena itu kerapkali mengkuatirkan bagi orang tua, karena akan memunculkan dekadensi moral atau hedonisme pada anak-remaja.

Di era milineal, pengaruh sekularisme tarik menarik dengan religiusitas, dan itu kenyataan yang terbantahkan namun tak  perlu dikuatirkan berlebihan. Gellner (Azra, 2012: 45) mengatakan Islam adalah agama yang paling “secular resistant”. Ketika  nilai-nilai sekular merambah berbagai sendi kehidupan, sikap antusiasisme muncul sebagai bentuk perlawanan. Di masa lampau pendidikan agama lahir sebagai bentuk resistensi sekaligus adaptasi dari pendidikan sekuler yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda. Begitupula di masa sekarang, kajian-kajian keislaman tetap eksis terlebih di masjid-masjid kampus.  Apalagi dengan anak-anak milineal, mereka dapat dengan mudah belajar agama, termasuk pelajaran tajwid melalui Youtube.  Tak salah memang, akan tetapi belajar membaca Al-Qur’an mesti dengan dibimbing guru mengaji.

 Semestinya, anak-anak milineal sebagai generasi penerus bangsa, pemegang estafet pembangunan perlu dibekali dengan adab dan ilmu melalui pendidikan Al-Qur’an, sehingga mereka dapat menjadi generasi Qur’ani di tengah serbuan pengaruh negatif globalisasi.   Persoalannya kemudian adalah bagaimana  gambaran dinamika,  problematika dan paradigma pembelajaran Al-Qur’an pada anak-remaja di Kalimantan Selatan?

No comments yet

Tinggalkan komentar