Lanjut ke konten

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 6)

Januari 22, 2024

Pembelajaran Al-Qur’an di Masa Sekarang

Oleh Wajidi

Di masa sekarang, terdapat beragam bentuk lembaga [khusus] pembelajaran Al-Qur’an di Kalimantan Selatan seperti TPA-TKA (Taman Pendidikan Al-Qur’an- Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an),  TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an), RTQ (Rumah Tahfidz Al-Qur’an), Pondok Tahfidz dengan berbagai varian atau  pondok pesantren,  dan Rumah Tilawah, meski Al-Qur’an itu sendiri juga dipelajari  dengan belajar privat, atau menjadikan Pendidikan  Al-Qur’an sebagai bagian kurikulum Pendidikan atau kegiatan ekstrakulikuler di sekolah-sekolah formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA), Masjid Kampus, dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga-lembaga itu sangat sangat bervariasi baik dalam penggunaan kurikulum, metode dan bahan ajar maupun pengelolaan dan pembiayaannya.

Dilihat dari aspek pembinaan, sebagian TPA-TKA dan TPQ  ada yang bernaung di bawah binaan LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an),  BKPRMI (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia), atau pun  di bawah binaan BKPAKSI (Badan Koordinasi Pendidikan Al-Qur’an dan Keluarga Sakinah Indonesia),  dan adapula dalam bentuk TPQ dan RTQ yang dikelola oleh berbagai yayasan, atau cabang dari induknya di Pusat.

Di bawah binaan LPTQ-BKPRMI terdapat FSU (Forum Silaturahmi Ustaz/Ustazah) dan KBU (Keluarga Besar Ustaz/Ustazah). Kedua forum inilah dijadikan para ustaz/ustazah untuk berkoordinasi sekaligus agar pemerintah daerah dapat melakukan pembinaan sekaligus bantuan—biasanya uang transport kegiatan.

Begitupula halnya dengan pembelajaran Al-Qur’an sudah tersedia dengan beragam metode seperti metode bagdadi, metode  Al banjari, metode Qiroati, Metode Ummi, metode Tilawati, dan lain sebagainya. sehingga belajar membaca Al-Qur’an dapat dilakukan dengan lebih mudah atau lancar. Bahkan banyak lembaga Pendidikan Al-Qur’an yang menyertakan program pembelajaran dalam bentuk paket lengkap seperti: belajar pra Tahsin, tahsin, tajwid, tilawah,  belajar adab, belajar tata shalat, mengenal nabi dan rasul, berlatih membaca surah al-fatihah, menghapal doa-doa, dan lain-lain.

Munculnya beragam bentuk lembaga Pendidikan Al-Qur’an tidaklah untuk meniadakan, malah saling melengkapi. Sebagai contoh, keberadaan pembelajaran Al-Qur’an di rumah, di masjid, atau di  TPA sebagai wadah pertama bagi anak-anak mengenal huruf hijaiyah, dan kemudian bisa membaca Al-Qur’an sangatlah penting bagi intitusi pendidikan lainnya, karena pondok baik Pesantren Salafiyah, Pesantren Modern, atau pun RTQ atau Pondok Tahfidz  mensyaratkan calon santri harus bisa membaca Al-Qur’an terlebih dahulu.

Menghapal Quran atau Tahfidz, menjadi tren sekarang ini. Televisi Nasional (RCTI) menggelar  Acara “Hafizh Indonesia” yang menelorkan anak-anak dengan  kemampuan luar biasa dalam hapalan Quran. Para ahli yang melakukan kajian bersepakat bahwa kemampuan hapalan ayat Al-Qur’an berkorelasi dengan peningkatan kecerdasan. Menukil tulisan Syarifah Nur Aini (2020) banyak  Lembaga pendidikan yang menjadikan kegiatan menghapal Al-Qur’an menjadi program unggulan.  SDIT Ukhuwah Banjarmasin dan SDIT Rabbani ‘Amma menjadikannya sebagai ciri khas Lembaga. Adapula program Karantina Tahfidz Al-Qur’an yang merupakan Kerjasama Yayasan Amanah Umat Banua bekerjasama dengan Yayasan Karantina Tahfidz Al-Qur’an Nasional.

Dalam tataran regulasi ada beberapa aturan seperti   Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan  Nomor 3 Tahun 2009  Tentang  Pendidikan Al-Qur’an Di Kalimantan Selatan. Di Kota Banjarmasin ada  Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 tahun 2010 tentang wajib baca Al-Qur`an bagi siswa SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK, serta calon pengantin yang beragama Islam. Walau oleh sebagian pihak dinyatakan perda itu “mandul”.

Di Kota Banjarmasin, Walikota meluncurkan program “Magrib Mengaji” yang berlangsung sejak 2016 di beberapa masjid. Tujuannya adalah agar anak-remaja milenial jangan hanya asik dengan gadget atau berkeliaran di jalan. Ketiba waktu magrib tiba  mereka diarahkan agar pergi shalat ke  masjid ke mushola dan kemudian mengaji.

Pemerintah Kota Banjarmasin juga mengeluarkan Perwali yang mengatur pemberian uang transport pertemuan silaturahmi kepada ustaz/ustazah yang tergabung dalam FSU dan KBU  dilaksanakan 3 kali dalam sebulan, kecuali di bulan Ramadhan dan Desember. Syarat untuk mendapat bantuan tersebut adalah minimal sudah 1 tahun mengajar di TPA-TPQ dengan rasio 1 guru 7 santri.

Begitupula halnya di sebagian sekolah-sekolah di Kota Banjarmasin terutama untuk kelulusan siswa kelas VI Sekolah Dasar juga didawamkan kegiatan khataman Al-Qur’an secara massal, sehingga dengan tradisi yang baik itu semakin banyak peserta didik yang mengaji baik sebagai keharusan yang ia lakukan ketika  “membaca Al-Qur’an” sebagai muatan lokal di sekolah maupun atas kesadaran ia sendiri, dan kemudian bersama-sama teman sekolah melakukan tradisi “Batamat Qur’an”.

Pondok Tahfidz adalah salah satu bentuk pesantren. Sesuai namanya “Pondok Tahfidz” maka pembelajaran Al-Qur’an difokuskan untuk menjadikan anak-remaja hafal qur’an. Berbeda dengan Pondok Pesantren Salafiyah yang memfokuskan kepada pembelajaran kitab-kitab kuning. Pondok Tahfidz sebenarnya  adalah pesantren yang takhassus  yaitu memfokuskan mencetak penghapal Al-Qur’an di samping mendapat pendidikan muallimin. Karena berupa pondok, maka jumlah santrinya ratusan, asrama tempat santri menginap terpisah dengan gedung belajar. Di Pondok Tahfidz sekitar 80 persen pembelajaran di Pondok Tahfidz diarahkan untuk menghapal Al-Qur’an. Mereka belajar dari dasar, menghapal Al-Qur’an dari Juz 1 sampai Juz 30. Contoh pondok Tahfidz ini adalah Pondok Tahfidz Al Ihsan di Kampung Seberang Seberang Masjid, Banjarmasin. Alumninya banyak yang menjadi imam masjid, dan/atau ada yang melanjutkan ke Pakistan, Madinah, Hadramaut.

Di samping Pondok Tahfidz, ada juga Pondok Pesantren Salafiyah yang secara umum fokus kepada pembelajaran kitab kuning, namun ada juga yang takhassus atau membuka kelas khusus Tahfidz atau mendirikan lembaga Tahfidz, namun tidak banyak. Di Banjarmasin, misalnya Pondok Pesantren Al Hikmah di Kelayan yang mana ustaz/ustazah alumni Mesir. Mereka mendapatPada umumnya, pondok pesantren Salafiyah di Kalsel cenderung kepada pembelajaran Kitab Kuning kepada para santrinya.

Rumah Tahfidz adalah nama lembaga pendidikan Al-Qur’an yang juga memfokuskan pembelajaran  untuk menjadikan anak-remaja hafal Al-Qur’an. Rumah Tahfidz biasanya berdiri sendiri, dan ada yang menjadi cabang dari induknya di Pusat. Perbedaan utama antara  Pondok Tahfidz dengan Rumah Tahfidz adalah skalanya. Pada Rumah Tahfidz santrinya barangkali puluhan (disesuaikan dengan skala rumah), di rumah ini mereka menginap dan belajar. Pola Rumah Tahfidz umumnya adalah hapalan juz 30, tidak takhassus seperti di Pondok Tahfidz karena santrinya belajar pagi di sekolah formal. Umumnya mereka tidak mendapat ijazah di sini.

Di berbagai lembaga pendidikan Al-Qur’an, barangkali yang jarang ditemukan dalam bentuk lembaga adalah “Rumah Tilawah”. Dahulu ada pendidikan tilawatil Al-Qur’an, namanya Lembaga Seni Baca Al-Qur’an, namun sekarang boleh dikatakan tidak ada lagi. Lalu bagaimana mencetak para Qori? Sekarang, guru-guru tilawah membuka pelajaran seni baca Al-Qur’an di rumah, dan dikelola secara pribadi. Ada juga beberapa masjid yang mengadakan kegiatan tilawah, misalnya setiap malam rabu malam di Masjid Jami Banjarmasin yang berlangsung sejak tahun 1970-an. Dari berbagai tilawah yang dikelola para Qori/Qoriah itulah kemudian santrinya dijaring untuk mengikuti seleksi pra tilawatil Qur’an.

Namun sebenarnya untuk mencetak qori atau qoriah bisa fleksibel, karena lembaga TPA pun bisa membuka kelas khusus “kelas tilawah”., di samping kelas pra tahsin, kelas tahsin, kelas tajwid, dan kelas Tahfidz. Hal yang sama dapat pula diselenggarakan di Rumah Tahfidz, Pondok Tahfidz, atau Pondok Pesantren.

   Di Madrasah misalnya di MDI, atau MTs, pembelajaran Al-Qur’an bersifat formal. Karena madrasah merupakan sekolah agama, sudah barang tentu pembelajaran Al-qur’an  lebih ditekankan dengan mengacu kepada kurikulum pemerintah (Kemenag), ketimbang sekolah formal di bawah Disdikbud.  Pembelajaran Al-Qur’an di madrasah bertujuan selain peserta didik bisa membaca Al-Qur’an juga menanamkan ahlak Qur’ani, di samping tentang pewahyuan, makna kandungan, atau kisah yang diambil dari Al-Qur’an. Tahfidz Qur’an di Madrasah barangkali sebuah program ekstrakurikuler. Kegiatan muraja’ah di Madrasah, tidak seketat muraja’ah yang ada di Pondok Tahfidz maupun Rumah Tahfidz, baik muraja’ah untuk menambah hapalan maupun muraja’ah untuk menjaga hapalan.

Kembali mengutip dari Syarifah Nur Aini (2020) bahwa dunia pendidikan sangat juga mengapresiasi para penghapal Al-Qur’an dengan memberikan beasiswa penuh. Syarifah  dengan mengutip Kasmirudin (2018) mengatakan ada 24 perguruan tinggi di Indonesia yang memberikan beasiswa penuh dengan diserta bimbingan agama Islam secara lebih mendalam. Di tahun 2019, UIN Antasari Banjarmasin memberikan beasiswa sebesar Rp 3.500.000 kepada mahasiswa yang memiliki hapalan minimal 10 juz Al-Qur’an.

Bahkan Kepolisian Republik Indonesia dalam rekrutmen proaktif Bintara Polri tahun anggaran 2023 akan memprioritaskan menerima calon bintara, diantaranya  adalah yang pernah mendapat Juara 1, 2, dan 3 MTQ dan MQK tingkat Provinsi, Nasional, dan Internasional yang diselenggarakan oleh Kemenag RI atau  hafizh Quran minimal 10 Juz serta kemampuan tafsir Quran yang dibuktikan dengan sertifikat dari Kemenag RI/Provinsi/Kabupaten/Kota.

Di  sekolah-sekolah formal seperti SD, SMP, SMA dan SMK, Negeri ataupun Swasta, tidak semua melaksanakan pembelajaran Al-Qur’an. Sebagian sekolah ada yang menyelenggarakan pembelajaran Al-Qur’an secara khusus sebelum jelang waktu belajar, dan ada juga sekolah terutama di jenjang  SMP dan SMA yang menjadikan “Pendidikan Al-Qur’an” sebagai pilihan muatan lokal. Bahkan ada sekolah yang  bukan sekolah agama, misalnya ada SMA  menjadikan “Tahfidz Quran” sebagai sebuah keunggulan dari sekolah tersebut.

 Pada salah satu sekolah yaitu SMA Sabilal Muhtadin dii Banjarmasin dan SMA 5 Barabai di Haruyan, para siswa diharuskan melakukan tadarus Al-Qur’an sebelum jam pelajaran sekolah dimulai, sebagai bentuk pelaksanaan “Program Literasi” ataupun “Program Baca Tulis” karena dipandang lebih memberikan manfaat bagi anak didik dalam pembentukan ahlak, di samping keinginan para orang tua dan guru-guru sendiri. Untuk memudahkan pembelajaran, guru melakukan pemilahan kepada para siswa sehingga dapat diketahui siswa yang tidak lancar, atau pun yang sudah lancar membaca Al-Qur’an. Bagi anak-anak yang sudah lancar mereka diminta untuk tadarus Al-Qur’an, biasanya dilaksanakan sesudah shalat dhuha dari pukul 07.30 s.d. 08.15.  Sedangkan bagi yang tidak lancar, mereka dibimbing private dengan metode Iqra maupun metode Tilawati.  Bagi siswa yang masuk dalam kategori belajar Iqra dan Tahfidz, mereka belajar sampai pukul 08.40. Di sekolah menengah atas seperti SMA, SMK, dan MA anak-anak yang berlatar belakang pendidikan Madrasah Tsanawiyah  umumnya sudah pandai membaca Al-Qur;an.

Anak-anak yang berprestasi, misalnya khatam Qur’an atau memiliki hapalan dalam beberapa juz, mereka diberikan reward misalnya diberi hadiah Al-Qur’an terjemah atau diminta tampil mengunjukkan kebolehan di acara-acara sekolah. Umumnya anak-anak dan juga berkat dorongan orang tuanya mempunyai kemauan untuk belajar. Begitu juga dengan guru-guru. Pembelajaran membaca Al-Qur’an umumnya ditangani oleh guru-guru agama. Sebagian kecil dari mereka, yang diberikan insentif oleh sekolah. Namun lebih banyak guru yang membimbing karena panggilan hati terlebih mengingat besarnya pahala mengajar membaca Al-Qur’an.

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 5)

Januari 22, 2024

Pembelajaran Al-Qur’an di Madrasah

Oleh Wajidi

Sekolah Islam atau Madrasah merupakan institusi penyelenggara pembelajaran Al-Qur’an setelah di rumah dan masjid, dan pesantren. Namun keberadaan madrasah tidak meniadakan pembelajaran Al-Qur’an di rumah dan masjid, dan pesantren. Pendidikan di dalam madrasah itu diatur sesuai metode pengajaran modern dengan menggunakan sistem klassikal. Pada mulanya sistem klasikal merupakan peningkatan dari sistem pengajian dasar dengan pola belajar sorogan  (individual)  dengan jumlah santri 3 atau 4 orang yang diberikan kepada santri yang telah mengusai pembacaan Al-Qur’an. Selanjutnya dikenal pula sistem bandongan  (kelompok) atau dalam istilah Jawa disebut sistem  weton,   dan “santri kelana”. Mereka memiliki kelompok kelas yang disebut halaqah (lingkaran murid) dibawah bimbingan seorang guru.  Selain itu dikenal juga Kelas Musyawarah, yang berbeda dengan Sorogan dan Bandongan, karena santri mesti mempelajari sendiri kitab yang ditunjuk dan dirujuk (Dhofier, 2015:53-58).

Pada umumnya madrasah dikelola secara swadaya oleh masyarakat, ada yang berkembang pesat, namun tidak sedikit yang berjalan di tempat. Terlebih di masa pergerakan kebangsaan dahulu.  Berbagai madrasah didirikan oleh elite agama sebagai ujung tombak untuk melawan islam-phobia,  kristening politiek ataupun sekolah pemerintah yang mengancam kehidupan agama Islam (Deliar Noer, 1982: 28). Banyak guru-guru dihadapkan kepada kondisi sulit. Di satu sisi  mereka harus melawan pemerintah kolonial melalui jalur pendidikan, namun di sisi lain  kehidupan mereka sangat memprihatinkan seolah pepatah: hidup segan mati tak mau. Motivasi kesalehan dan semangat perlawanan-lah yang  menjadi spirit mereka dalam bertahan.  

M. Zafry Zamzam —kelak Rektor IAIN/UIN Antasari pertama—  dalam tulisannya: “Memperbaiki Nasib Pergoeroean Islam” di surat kabar Kalimantan Raya No. 216 Selasa 24 Nopember 2602 [1942] Tahoen  Ke-I melukiskan betapa beratnya tantangan yang dihadapi para guru sekolah Islam.

“Saja tahoe berapa banjak goeroe2 Islam jang hanja berpenghasilan f3, f4, f5 seboelan dari pekerdjaan itoe.  Dapat difikirkan sendiri, betapa soelitnja kehidoepan mereka. Apapoela bagi mereka jang telah mempoenjai tanggoengan anak dan istri. Tidak tjoekoep…! dan tidak heran kalau goeroe2  itoe tak dapat memboelatkan hatinja dalam memadjoekan sekolah. Lihat, berapa banjak poela sekolah2 Islam jang merana atau terpaksa dimatikan. Sebab dan karenanja tidak lain adalah ….nafkah goeroe! Sedang kehidoepan persekolahannja, besar sekali pergantoengannja kepada tetapnja goeroe2 djangan dikata lagi tentang serba kekoerangan di dalam segala matjam alat”.

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 4)

Januari 22, 2024

Pembelajaran Al-Qur’an di Pesantren

Oleh Wajidi

Selain rumah dan masjid, pembelajaran Al-Qur’an di Kalimantan Selatan juga dilaksanakan melalui pengajian dan pesantren. Kedua lembaga itu  merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang dinilai indigenous, asli dan berakar kuat dalam masyarakat (Dhofier, 2015: 41). Sebelum tahun 1960-an, pesantren disebut Pondok, yang barangkali diambil dari bahasa Arab, funduq, yang artinya hotel atau asrama (Dhoefier, 2015: 377). Perkataan pesantren bersinonim dengan pondok, karena berasal dari kata santri yang dengan awalan pe dan akhiran an  menjadi pesantren. Baik pondok,  pesantren,  atau frase pondok pesantren mempunyai arti tempat tinggal para santri (Mas’ud, 2004: 1).

Martin Van Bruinessen (2015: 85) menyebut tradisi pengajaran Agama Islam di pesantren  di Indonesia sebagai tradisi agung (great tradition). Alasan pokok pendiriannya adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab klasik yang disebut kitab kuning.

Secara kelembagaan, pesantren di Kalimantan Selatan tumbuh di desa Dalam Pagar ketika Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari membuka hutan yang diberi batas rintisan semacam pagar sehingga kelak dikenal dengan nama Dalam Pagar. Kampung Dalam Pagar untuk pertama kali dikenal pusat pendidikan Islam yang mirip sebagai pesantren pada masa sekarang walaupun pada masa itu belum mengenal adanya istilah Pesantren. Dalam Pagar sangat dikenal sebagai tempat  belajar para santri  dari berbagai pelosok Kalimantan Selatan sehingga ini banyak menghasilkan ulama-ulama Islam yang berdakwah ke berbagai penjuru Kalimantan bahkan luar Kalimantan.

Melalui pesantren tuan guru mengajarkan ilmu-ilmu tauhid, fiqih dan tasawwuf, beserta amaliyah lainnya. Selain itu juga  mempelajari bahasa Arab, Al-Qur’an  dan Hadits. Kitab yang digunakan pada umumnya adalah kitab berbahasa Arab dan dibawakan oleh tuan guru yang pernah belajar di Mekkah. Kitab itu dikenal sebagai Kitab Kuning. Dalam perkembangannya digunakan pula kitab beraksara Arab berbahasa Banjar atau Melayu, sehingga disebut kitab berbahasa Arab Melayu, sebagaimana kitab-kitab yang ditulis Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. 

Pengajian yang umum berlangsung adalah dengan cara guru  membacakan dan menguraikan isi kitab, sedangkan murid-muridnya memegang kitab yang sama dan diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang belum dimengerti. Ada pula yang disebut “mengaji duduk” seperti yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari kepada anak cucunya, agar sampai kelak mewarisi kealiman bapaknya. Di samping itu, adapula pengajian maahad karena dilaksanakan pada hari ahad (minggu), atau manyanayan, manyalasa, maarba, mangamis, manjumahat, dan manyabtu sesuai dengan nama hari pelaksanaan pengajian,  yang mana murid hanya mendengarkan saja dan tidak menggunakan kitab, sedangkan guru menguraikan isi kitab yang dibacanya (Nawawi, 1992: 14).

Di Pesantren Salafiyah, kemampuan membaca Al-Qur’an sangatlah penting disamping bahasa Arab, karena di sini mereka diajarkan kitab-kitab Kuning. Kalaupun di awal para santri belum terlalu fasih makhrojal huruf atau tajwidnya, mereka diajari sampai mengusainya. Kitab yang dipakai untuk belajar tajwid umpamanya Kitab Hidayatus Shibyan yaitu salah satu kitab tajwid dasar yang diajarkan untuk para santri. Seterusnya mereka membaca kitab dengan aksara arab Melayu (huruf Jawi) dan kemudian kitab kuning yaitu kitab agama berbahasa Arab, tidak berharakat atau tanda baca. Pesantren Salafiyah boleh dikata lebih berorientasi kepada muthalaah kitab-kitab terutama kitab-kitab kuning, walau pada masa sekarang di sebagian Pondok Salafiyah maupun Pondok Pesantren Modern telah ada pembelajaran tahfidz Qur’an sebagai program ekstrakulikuler.

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 3)

Januari 22, 2024

Pembelajaran Al-Qur’an di Masjid atau Langgar

Oleh Wajidi

Selain di rumah yang diajarkan ayah ibu atau di rumah guru mengaji,  pembelajaran Al-Qur’an di masa lalu juga dilaksanakan di masjid atau langgar. Masjid merupakan institusi penting dalam proses pembelajaran Al-Qur’an. J. Pedersen dan George Makdisi dalam Ensyclopedia of Islam (Arief Subhan, 2012: 37) menyatakan bahwa masjid —yang di dalamnya ada majelis dengan pembelajaran Al-Qur’an sebagai materi utama— merupakan pusat pembelajaran yang paling awal. Ini terkait dengan salah satu fungsi masjid sebagai sarana pendidikan. Tradisi pembelajaran Al-Qur’an di masjid masih berlangsung hingga kini di masjid-masjid di Kalimantan Selatan.

Di masjid, tuan guru menyelenggarakan pengajian seperti dalam tahap awal berupa pelajaran membaca Al-Qur’andan llmu-ilmu agama lainnya,  juga melaksanakan amalan dzikir, wirid, dan tarekat dengan cara suluk. Pada mulanya memang pengajian dilangsungkan di rumah tuan guru, namun di  kemudian hari banyak yang berlangsung di langgar-langgar, surau, atau masjid. Biasa diberikan sekali atau dua kali seminggu. Ini adalah terutama bagi orang yang dewasa, atau buat orang-orang tua.

Berbagai bentuk pengajian paling awal dapat ditelusuri dari proses Islamisasi Banjarmasin, seperti sejak  abad ke-16. Masjid-masjid tua yang ada di beberapa daerah merupakan saksi bisu sebagai tempat pengajian di samping bertempat di rumah Syekh “Mursyid” (Yusliani Noor, 2016: 367).

Di masa lampau, pengajian dengan cara muzakarrah (diskusi) mengenai keagamaan bertempat di langgar (musala) yang di sampingnya dibikin kamar-kamar (Usman dan Syarifuddin, 2007: 62-63). Di kamar inilah para murid yang jauh menginap. Dengan demikian menuntut ilmu dapat dilakukan siang dan malam karena tempat mengaji dan tempat menginap menjadi satu.

Untuk kepentingan pendidikan,   langgar kadang dibangun dengan bentuk  bertingkat yang digunakan disamping sebagai tempat untuk salat melainkan juga sebagai  tempat pengajian (belajar) bagi murid beliau. Bentuk langgar dibangun bertingkat dimaksudkan agar  murid-murid  beliau yang datang dari jauh dapat menginap  di langgar (musala) dan tidak perlu  pulang ke rumah. Lantai atas digunakan untuk beristirahat  sedangkan lantai bawah digunakan untuk salat dan pengajian. Bentuk langgar seperti ini banyak di temukan di Negara yang dahulu adalah pusat Pendidikan Islam. 

Selain langgar sebagai tempat pengajian, pada saat bersamaan banyak guru-guru mengaji sampai sekarang ini  menggunakan rumah pribadi sebagai tempat pengajian. Pada zaman dahulu, rumah dibuat kamar-kamar untuk para santri  yang mengikuti pengajian. Biasanya diisi para santri  yang tempat tinggalnya jauh.

Kita  bisa melihat contoh bentuk pengajian Datu Qadhi Haji Abdussamad Bakumpai bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di Marabahan. Pada mulanya beliau memberikan pengajian di rumah, dan membangun balai untuk menampung masyarakat untuk belajar. Di kemudian hari,  beliau juga memberikan pengajian di langgar  Bani Arsyadi (kini Bani Arsyadi I), di samping membangun balai sebagai tempat masyarakat belajar ilmu agama  Sepeninggal Abdussamad, pengajian itu diteruskan anaknya Qadhi Muhammad Jafri yang membangun langgar Bani Arsyadi II (Hendraswati, Wajidi, Zulfa Jamalie, 2014: 79).

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 2)

Oktober 21, 2023

Pembelajaran Al-Qur’an di Rumah

Oleh Wajidi

Ada ungkapan: tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat. Dalam tradisi masyarakat Banjar, pada fase kehamilan dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an, di samping amaliyah dan doa-doa ibu bapaknya  untuk anaknya kelak agar menjadi generasi Qur’ani. Sang anak lahir, pada telinga anak dilaungkan azan sebagai suatu kebermaknaan bahwa yang pertama kali di dengar adalah asma Allah. Ritus itu bermakna pentingnya ayah bunda memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an dengan bertajwid, untuk kemudian mengajari  anak-anaknya membaca Al-Qur’an.

Pembelajaran Al-Qur’an yang berlangsung dahulu di masyarakat adalah bersifat informal, yakni berlangsung di keluarga inti yang mana kedua orang tuanya yang mengajari langsung. Terkadang anak-remaja di kampung juga mendatangi rumah guru mengaji atau sebaliknya guru mengaji yang datang ke masjid atau langgar. Biasa berlangsung setelah shalat magrib di rumah guru mengaji, atau ada juga sesudah shalat Isya sehingga waktu belajar mengaji lebih lama.

Ketika aliran listrik belum masuk desa, anak-anak mendatangi guru dengan beragama alat penerangan. Alat penerangan yang sangat sederhana adalah dengan ikatan hundayang yang dinyalakan dengan api, ketika mau padam tinggal dikibas-kibaskan maka kembali menyala, ada juga pakai  suluh bambu yaitu kain yang dinyalakan berbakar minyak tanah pada sepotong bambu, seterusnya dengan lampu colok berbahan bakar minyak tanah dalam botol atau kaleng susu, kemudian lampu semprong.

Di rumah guru mengaji, lampu penerangan beragam bentuk pula: ada dengan menggunakan lampu colok atau lampu semprong, sehingga ruang belajar terlihat remang-remang. Namun di balik keremangan kelap-kelip lampu itu terdengar sayup-sayup anak melafalkan huruf-huruf hijaiyah, atau melantunkan bacaan Al-Qur’an. Barangkali suasana ini sulit ditemukan kembali bagi orang-orang tua yang merindu suasana kecilnya dulu itu.

Dahulu itu, metode belajar Al-Qur’an  dilakukan dengan memakai kitab “alifalifan atau alifan” atau yang disebut orang Qiadah Bagdadiyah (Metode Bagdad/Baghdad) sebuah metode membaca Al-Qur’an peninggalan Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang dinisbadkan kepada kota Bagdad, Irak. Pada mushaf  Quran terbitan Menara Kudus, metode ini ada di bagian lembaran-lembaran akhir. Sampai kemudian metode itu dicetak dalam dalam kitab tersendiri. Di Jawa, kitab alif-alifan barangkali disebut dengan nama kitab turutan.

Dengan kitab alifalifan, setiap murid wajib memiliki penguasaan dasar yaitu hafal huruf hijaiyah. Berbeda misal dengan Metode Iqra yang populer sekarang, pada Metde  Bagdad huruf-huruf hijaiyah dieja dengan lafal: alif (أ), ba (ب), ta (ت), tsa (ث), dan seterusnya. Setelah dikenalkan huruf hijaiyah, murid dibimbing mengenal harakat huruf, dan seterusnya tajwid. Jika sekarang dikenal dengan istilah Fattah, Kasrah, dan Dhommah, maka pada Metode Bagdad dieja dengan sebutan “baris dua”, contoh: ba baris dua di atas ban, baris dua di bawah bin, ba baris dua di depan bun, bunyi: ban, bin, bun. Di era tahun 1970-1980-an, menjelang magrib  Radio Brunei Darussalam kerapkali menyiarkan senandung baris dua tersebut.

Sistem pembelajaran Al-Qur’an waktu itu digambarkan sebagai berikut:  pada tahapan pengenalan huruf hijaiyah, murid-murid duduk berhadapan dengan guru mengaji, di antara keduanya ada kitab alifan dengan Tutunjuk di atas dadampar atau rehal.  Guru mengaji dengan menggunakan Tutunjuk melafalkan huruf hijaiyah yang kemudian diikuti oleh anak didik. Jika terdapat anak dengan pelajaran yang sama maka pola yang dipakai adalah halaqah (lingkaran belajar) namun masih lebih privat, karena dikuti 2-5 orang saja.

Tutunjuk dari bahan rautan bilahan bambu (biasa dibeli di pasar) bertuliskan:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي

Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.” Doa inilah yang dulunya dibaca oleh Nabi Musa AS, dan diabadikan Allah dalam Al’Quran surat At-Thaha ayat 25-28.

Doa itu adalah  “doa wajib”  yang dibaca badarau setiapkali akan memulai pelajaran Al-Qur’an. Tutunjuk selain sebagai alat penunjuk huruf juga diletakkan di sela lembaran kertas sebagai tanda pembatas lembar yang sudah dibaca/dikuasai maupun yang belum. Tutunjuk yang lebih tua terbuat dari ranting kayu Sapat (Balangan), atau kayu bangkal (Barabai), yaitu sejenis pohon yang biasa ditumbuhkan di “galangan” atau pahalatan borongan tanah sawah atau perwatasan di sawah.

Saat itu, guru-guru mengaji tidak digaji, bukan karena mereka mampu secara ekonomi. Banyak diantara mereka dalam kategori tidak sejahtera.  Mereka ikhlas sebagai guru mengaji karena besarnya pahala memberikan pengajaran Al-Qur’an. Motivasi kesalehan menjadi pendorong utama. Ada hadits:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

  

 “Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya ( HR. Bukhari)”,  dan banyak lagi hadits yang berbicara keutamaan belajar dan mengajarkan Al-Qur’an. Terkadang guru mengaji dibawakan gula pasir, beras, atau dibelikan minyak tanah oleh murid-muridnya. Menjelang  hari Raya Fitrah (Idul Fitri), guru-guru mengaji diberikan zakat fitrah. Barangkali, motivasi kesalehan dan ikatan batin guru dan murid sedemikian kuat menjadikan belajar dan mengajarkan Al-Qur’an penuh berkah.

Ketika anak-anak berhasil menyelesaikan bacaan Al-Qur’an sebanyak 30 Juz, maka untuk menanamkan kegembiraan kepada mereka dilaksanakanlah tradisi Batamat Qur’an [khataman Al-Qur’an]. Upacara batamat Qur’an merupakan lambang dari kegiatan ritual yang berhubungan dengan identitas anak dari seorang yang buta huruf Arab menjadi seorang yang melek huruf Arab. Dari seorang anak yang tidak pandai membaca Al-Qur’an menjadi anak yang mampu membaca Al-Qur’an. Batamat Qur’an juga menjadi tradisi  ketika seseorang akan kawin.  Dengan demikian ada upacara batamat  Qur’an yang merupakan salah satu sisipan dalam upacara perkawinan sebagai bagian dari upacara daur hidup.

Tradisi batamat Qur’an

Zaman berkembang, lampu stromking masuk desa, seterusnya listrik dan TV masuk desa. Acara Teve berupa filem Kimus (asal dari kata mickey-mouse) atau filem kartun  yang tayang sesudah azan magrib mulai mempengaruhi anak-anak. Sebagian anak ada yang istiqomah mendatangi guru mengaji, namun ada pula yang sesekali memilih menonton bareng di salah satu warga desa ketimbang mendatangi guru mengaji. Maklum saat itu, TV Hitam Putih termasuk barang mewah, hanya dimiliki oleh warga berpunya. (Bersambung).

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 1):

Oktober 13, 2023

URGENSI PEMBELAJARAN AL-QUR’AN

Oleh Wajidi

Harian Republika online (Senin 12 Apr 2021) memberitakan bahwa pada tahun 2020 sebanyak 65 persen dari  jumlah penduduk Indonesia beragama Islam  tidak bisa membaca Al-Qur’an. Data itu diungkapkan oleh Ketua Yayasan Indonesia Mengaji Komjen Pol Syafruddin berdasarkan hasil penelitian organisasi pemuda Islam dan tokoh-tokoh pemuda Islam. Jikalau data itu benar, maka sungguh memprihatinkan. Para ulama menyatakan kemampuan membaca Al-Qur’an dengan bertajwid (mengamalkan tajwid ketika membaca Al-Qur’an) adalah fardu ain atau wajib bagi lelaki dan perempuan yang mukalaf, sedangkan mempelajari ilmu tajwid itu sendiri adalah fardu kifayah.

Agar pandai membaca Al-Qur’an dengan bertajwid, maka hukum-hukum dalam tajwid itu harus dipelajari. Setiap muslim mesti menuntut ilmu membaca Al-Qur’an. Dr. Arief Subhan (2012: 35) mengatakan Talab al-ilm atau menuntut ilmu merupakan  bagian integral dari doktrin dan tradisi Islam. Dalam doktrin Islam disebut kewajiban menuntut ilmu. Banyak dalil tentang pentingnya menuntut ilmu, diantaranya: Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘alaa kulli muslimin wal muslimat (HR. Bukhari-Muslim). Tradisi pembelajaran dalam Islam dimulai dari pembelajaran Al-Qur’an. Karena dalam Islam kemampuan membaca  Al-Qur’an dengan bertajwid  sangat berkaitan erat  dengan shalat, dimana di dalamnya ada surah Al fatihah yang wajib dibaca. Kalau tertinggal, maka shalat tidak sah. Jika keliru membacanya, maka tidak sempurna shalatnya. Belum lagi bacaan-bacaan shalat lainnya.

Pembelajaran Al-Qur’an adalah satu bentuk Pendidikan Islam.  Bayard Dodge (Subhan, 2012: 35) mengatakan bahwa   dalam periode awal Pendidikan Islam menyebut Al-Qur’an sebagai “foundation stone”, dan bahkan ia menyamakan Pendidikan Islam dengan Pendidikan Al-Qur’an. Pernyataan Dodge itu tidak hanya  diartikan bahwa dalam pendidikan Islam yang paling awal diajarkan adalah membaca Al-Qur’an, namun juga dapat dimaknai bahwa sejak dini anak-remaja mesti yang pertama dan utama adalah belajar membaca Al-Qur’an.

Islam menganjurkan para pemeluknya untuk mempelajari Al-Qur’an terutama dalam membacanya. Tujuan pembelajaran Al-Qur’an menurut Mardiyo (Nurchalis dan Hendra S.H., 2018) antara lain adalah agar pelajar dapat membaca kitab Allah dengan mantap, baik dari segi ketepatan harakat, saktat (tempat-tempat berhenti), membunyikan huruf-huruf dengan makhraj-nya dan persepsi maknanya, pelajar mengerti makna Al-Qur’an dan terkesan dalam jiwanya, mampu menimbulkan rasa haru, khusyuk dan tenang jiwanya serta takut kepada Allah, serta membiasakan pelajar membaca pada mushaf dan memperkenalkan istilah-istilah yang tertulis baik untuk waqaf, mad dan idgham.

Belajar membaca Al-Qur’an bagi anak-remaja sangatlah penting, terlebih di era digital sekarang. Anak-remaja sekarang disebut generasi gadget, karena hampir tidak ada anak-remaja yang tidak mengenal gadget atau smartphone, yang dengan itu anak-remaja dapat mengakses beragam informasi, kemudahan dalam berbelanja online  dan berinteraksi melalui media sosial, seperti Whatshaap, IG, Youtube, dan lain sebagainya.

 Mereka dikenal sebagai generasi milineal yang melibatkan teknologi informasi dalam berkegiatan. Mereka antara lain bercirikan: kreatif, informatif, punya passion dan produktif. Akan tetapi kemudahan itu sendiri menjadikan sebagian mereka cenderung berprilaku instan atau mengabaikan proses. Menjamurnya tempat nongkrong  seperti di café, hiburan malam, belum lagi konten internet yang seolah tanpa filter yang diakses oleh warganet dari beragam usia. Tak pelak fenomena itu kerapkali mengkuatirkan bagi orang tua, karena akan memunculkan dekadensi moral atau hedonisme pada anak-remaja.

Di era milineal, pengaruh sekularisme tarik menarik dengan religiusitas, dan itu kenyataan yang terbantahkan namun tak  perlu dikuatirkan berlebihan. Gellner (Azra, 2012: 45) mengatakan Islam adalah agama yang paling “secular resistant”. Ketika  nilai-nilai sekular merambah berbagai sendi kehidupan, sikap antusiasisme muncul sebagai bentuk perlawanan. Di masa lampau pendidikan agama lahir sebagai bentuk resistensi sekaligus adaptasi dari pendidikan sekuler yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda. Begitupula di masa sekarang, kajian-kajian keislaman tetap eksis terlebih di masjid-masjid kampus.  Apalagi dengan anak-anak milineal, mereka dapat dengan mudah belajar agama, termasuk pelajaran tajwid melalui Youtube.  Tak salah memang, akan tetapi belajar membaca Al-Qur’an mesti dengan dibimbing guru mengaji.

 Semestinya, anak-anak milineal sebagai generasi penerus bangsa, pemegang estafet pembangunan perlu dibekali dengan adab dan ilmu melalui pendidikan Al-Qur’an, sehingga mereka dapat menjadi generasi Qur’ani di tengah serbuan pengaruh negatif globalisasi.   Persoalannya kemudian adalah bagaimana  gambaran dinamika,  problematika dan paradigma pembelajaran Al-Qur’an pada anak-remaja di Kalimantan Selatan?

TAJUN DAN MADAM Dalam Migrasi Orang Banjar ke Perantauan

September 4, 2023

Oleh Wajidi

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terjadi  satu fenomena yang menarik yang tidak pernah lagi terjadi pada masa kini, yakni  migrasi besar-besaran orang Banjar keluar Kalimantan Selatan (Kalsel) menuju berbagai tempat di kepulauan di Nusantara. Secara umum migrasi atau merantau dalam bahasa Indonesia diistilahkan sebagai madam dalam bahasa Banjar yang artinya pergi merantau dalam waktu yang lama meninggalkan banua (kampung halaman). Namun ada istilah lain yang disebut Tajun. Tanah rantau tempat tujuan mereka madam disebut “pamadaman” yang artinya sama dengan “Perantauan”. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan: (1) pengertian Tajun dan Madam dalam konteks migrasi orang Banjar di Kalimantan Selatan; (2) latar belakang dan kasus terjadinya tajun dan madam dalam konteks sejarah migrasi orang Banjar di Kalimantan Selatan ke perantauan.

Makna Tajun dan Madam

Ada dua pola migrasi yang dilakukan oleh orang Banjar dahulu, yakni madam dan tajun. Dalam konteks ini, maka pengertian madam dikonotasikan sebagai pergi merantau yang dilakukan secara sadar, misalnya  untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Keberangkatan mereka dari rumah dianalogikan keluar dari pintu depan, dilepas oleh keluarga, kerabat dan jiran. Sebaliknya, tajun adalah  migrasi yang dilakukan oleh orang Banjar yang dilakukan secara sadar namun terpaksa karena berbagai alasan yang sifatnya negatif, misalnya karena adanya perkelahian di kampung, malu karena bercerai, atau pada kasus masa perang Banjar dahulu adalah para pejuang yang melarikan diri agar tidak ditangkap oleh militer Belanda. Orang yang tajun meninggalkan kampung halaman dianalogikan sebagai keluar diam-diam melewati pintu belakang rumah, jika pun ada yang mengetahui hanya keluarga terdekatnya saja.

Mohamed Salleh Lamry (1997: 1) menulis bahwa mulai awal abad ke-20, migrasi dari Indonesia berlaku secara besar-besaran dalam konteks ekonomi kolonial yang memerlukan tenaga kerja yang ramai di Malaysia.  Sebagian mereka menjadi kuli kontrak di estate-estate pemodal Inggris. Akan tetapi, lebih ramai orang Jawa, Banjar, Bugis, Mandailing, Kampar, dan lain-lain yang datang ke Malaysia untuk membuka sawah padi, atau kebun kelapa, dan kemudian kebun getah (karet). Lebih lanjut Mohamed Salleh Lamry  mengatakan bahwa pada hakikatnya sebagian besar orang Melayu di beberapa negeri di Malaysia, seperti Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Johor kini adalah terdiri dari keturunan pendatang dari Indonesia.

Sebagian besar mereka itu tidak pernah pulang kembali ke   Kalsel. Mereka membuka lahan dan mendirikan kampung Banjar yang semua penduduknya adalah orang Banjar atau menjadi komunitas kecil di tengah-tengah perkampungan etnis lain di berbagai belahan wilayah kepulauan Nusantara, baik yang kini berada dalam wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand Selatan dan Philipina Selatan, dan negara lainnya dikenal sebagai masyarakat Banjar serantau.

Sebagian dari mereka ada yang masih bisa menjalin komunikasi dengan kerabatnya di Kalsel, karena kerabatnya di banua masih dikenali. Namun tidak sedikit pula yang putus sama sekali karena yang mereka ketahui hanyalah padatuan mereka berasal dari Kalsel, sedangkan berasal dari daerah mana dan dimana kerabat padatuan atau moyang mereka berada, mereka tidak lagi mengetahuinya.

Latar Belakang Migrasi

Fenomena migrasi (madam dan tajun) yang dilakukan orang Banjar merupakan pola umum yang juga dilakukan oleh berbagai etnis di Nusantara di di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Migrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor kondisi politik, ekonomi, keamanan, atau faktor tidak kondusifnya daerah asal mereka.

Faktor ekonomi seperti untuk mencari penghidupan yang lebih baik merupakan salah satu alasan mereka bermigrasi, misalnya yang dilakukan orang Banjar ketika bermigrasi ke Semenanjung Malaya sebagai buruh penyadap karet. Penyadapan getah karet dan perluasan lahan perkebunan karet tentu saja memerlukan tenaga kerja atau buruh harian. Dan tenaga itu didatangkan atau diperoleh dari orang-orang yang datang ke Semenanjung Malaya.

Orang-orang Banjar tidak segan bekerja di tempat yang jauh dari kampungnya. Walaupun mereka akan segera kembali jika telah mendapat banyak uang atau keadaan di perantauan tidak menguntungkan lagi. Seperti ketika perkebunan tembakau Deli baru dibuka, banyak orang Banjar pergi kesana untuk membuka lahan dan membuat bangunan (L. Potter dalam Tundjung, 2008: 6).

Diantara yang melakukan madam adalah  sebuah keluarga dari Barabai ke Batu Pahat, Malaysia. Cerita bermula ketika  pada tahun 1920-an Itit, isteri dan anaknya Suri bersama Kumbih berangkat madam dari desa Awang Barabai dengan tujuan Batu Pahat, Johor di Semenanjung Malaya atau Tanah Melayu (kini Semenanjung Malaysia).

Tujuan mereka madam ke Batu Pahat adalah  untuk mengadu nasib peruntungan sebagai buruh penyadab karet.  Pada saat itu, karet telah menjadi primadona ekspor di Semenanjung Malaya. Perkebunan karet terus diperluas dan permintaan dunia relatif tinggi sehingga harga jualnya pun bagus. Penyadapan getah karet dan perluasan lahan perkebunan karet tentu saja memerlukan tenaga kerja atau buruh harian. Dan tenaga itu didatangkan atau diperoleh dari orang-orang yang datang ke Semenanjung Malaya.

Di Kalimantan Selatan, tanaman karet mulai diperkenalkan oleh pengusaha Belanda maupun orang-orang Banjar yang baru pulang dari Semenanjung Malaya atau dibawa oleh orang Banjar yang kembali dari tanah suci Mekkah kemudian singgah di sana. Di onderafdeling Kandangan, kebun karet yang tertua dapat dijumpai di kampung Luhgawang (Longawang), ketika tahun 1912 Haji M. Saleh membawa bibit dari perkebunan karet Batu Pahat, Johor. Penduduk di sana juga mendatangkan banyak bibit dari daerah Penang (Tundjung, 2008: 8).

Suatu ketika, Itit kembali pulang ke banua. Konon kabarnya terjadi perceraian dengan isterinya di Batu Pahat, sehingga ia hanya datang sendirian di desa Awang. Sedangkan Suri atau Isur  beserta ibunya dan Kumbih bertahan di Batu Pahat.  Beberapa waktu kemudian, Itit menikah lagi dan kemudian menghasilkan keturunan sebanyak empat orang.

Meski terpisah jauh, kontak antara Itit dengan Suri bin Itit dengan alamat surat di “Muka Pasar 5 Batu Pahat, Johor Malaysia” terus terjalin. Tidak hanya antara ayah dan anak, namun juga antara ke empat anak Itit di banua dengan Suri di Batu Pahat yang konon kabarnya telah mempunyai keturunan sebanyak delapan orang hasil pernikahannya dengan dengan seorang perempuan bernama Siti asal Pandahan Rantau yang di tahun 1925 dibawa ayah ibunya madam ke semenanjung Malaya.

Berkaitan  dengan cerita madamnya Itit dan keluarga ke Semenanjung Malaya, mereka hanyalah segelintir dari ribuan orang Banjar yang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 pergi merantau ke berbagai kepulauan di Nusantara. Sebagian besar mereka itu tidak pernah pulang kembali ke   Kalsel. Mereka membuka lahan dan mendirikan kampung Banjar yang semua penduduknya adalah orang Banjar atau menjadi komunitas kecil di tengah-tengah perkampungan etnis lain di berbagai belahan wilayah kepulauan Nusantara, baik yang kini berada dalam wilayah NKRI seperti Sapat dan Tembilahan (Indragiri Hilir Provinsi Riau), Bintan (Provinsi Kepulauan Riau), Kuala Tungkal (Provinsi Jambi), Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Asahan (Provinsi Sumatera Utara), Kaltim, Kalteng, Kalbar, pulau Jawa, pulau Lombok dan Bima (Nusa Tenggara Barat),  Manado, Gorontalo, Kendari, Makassar, dan  Maluku (Ambon dan pulau Key), dan lain sebagainya. Atau di daerah-daerah yang menjadi bagian negara Malaysia, seperti Kerian-Parit Buntar-Sungai Manik-Sabak Bernam di Perak, Sungai Besar-Tanjung Karang-Bagan Datoh di Selangor, Batu Pahat di Johor, dan Sabah,  dan juga di negara Brunei  Darussalam, Singapura, dan Pattani Thailand. Mereka bermukim dan berusaha di tempat baru serta beranak bercucu hingga sampai ke generasi ke empat atau ke kelima.

Menurut Sartono Kartodirdjo (1975: 116-118), fenomena migrasi bukanlah semata-mata faktor ekonomi yang menjadi pertimbangan mereka, namun dikarenakan oleh faktor lain seperti faktor politik yang kadang-kadang membuat orang menentukan harus pindah ke daerah lain. Bambang Purwanto dalam A. Muthalib (2008:24) menyatakan bahwa ketika tekanan politik Belanda terhadap Banjarmasin dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan semakin intensif, orang Bugis dan Banjar semakin banyak yang membuka daerah rawa-rawa di sepanjang pantai timur Sumatera.

Terkait dengan latar belakang migrasi orang Banjar, maka selain bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik (faktor ekonomi), juga untuk menghindar dari penindasan Pemerintah Hindia Belanda (faktor politik dan keamanan). Faktor inilah yang menyebabkan yang menyebabkan banyak orang Banjar yang tajun, terutama pada masa Perang Banjar (1859-1906). Misalnya, banyak keturunan orang Banjar Kelua dan Alai (Barabai), dan Kandangan yang bermukim di Malaysia yang  ditengarai adalah keturunan pejuang Perang Banjar, sebagaimana ditunjukkan dengan adanya peninggalan berupa pedang, parang, wafak, atau surat berharga yang mereka nyatakan diwarisi dari nenek moyang mereka yang dahulunya melarikan diri ke semenanjung Malaysia untuk menghindari kejaran aparat kolonial Belanda.

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kresidenan Borneo Selatan (Kalimantan Selatan) di tahun 1920 an turut mendorong terjadinya migrasi orang Banjar. Kondisi itu terkait dengan dampak ekonomi dunia yang tengah dilanda malaise. Selain itu, adanya perlakuan diskriminasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap pribumi mengakibatkan kehidupan masyarakat Banjar di bawah penguasaan Belanda juga sangat memprihatinkan.

Orang Belanda (termasuk orang Eropa lainnya) sebagai kelas tertinggi, memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Pembangunan seperti di bidang pendidikan, tempat rekreasi, perumahan, bioskop, dan fasilitas penting lainnya adalah untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dan orang-orang Eropa. Hanya orang kulit putih atau yang dipersamakan yang boleh memasuki fasilitas penting tersebut, sedangkan Bumiputera adakalanya dilarang masuk karena ada tanda-tanda tertentu bertulisan larangan, seperti: “Verboden toegang voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk orang bumiputera dan anjing” (Saleh, 1981-1982: 37).

Perlakuan diskriminasi sebenarnya tidak hanya dikenakan antara golongan pribumi dengan orang Eropa atau Timur Asing, melainkan juga antara golongan pribumi muslim dengan pribumi penganut agama Kristen. Pada tahun 1920-an, guru-guru agama, guru-guru sekolah Islam, khatib, bilal dan kaum masjid dikenakan kewajiban oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan Ordonnantie Heeren Dienst yang menyangkut erakan atau kerja rodi, sedangkan guru-guru agama Kristen, Penyebar Injil, dan Kepala Jemaat, dan Guru-guru Sekolah Zending justru dibebaskan dari kewajiban itu.
Diskriminasi atau pengklasifikasian status sosial yang terjadi di dalam masyarakat mengundang pertentangan sosial dan ini menyebabkan seringnya terjadi penindasan terhadap kaum yang lemah. Diskriminasi dan penindasan seperti itulah yang pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan pada masyarakat bumiputera.
Terhadap pribumi pemerintah Hindia Belanda mengenakan berbagai pungutan seperti Pajak Pencaharian, Pajak Tanah, Pajak Kepala, Pajak Erakan (uang kepala), Bea Masuk, Pajak Penyembelihan dan berbagai pungutan resmi maupun tidak resmi. Selain itu, setiap orang, kecuali golongan pangreh praja, yang berumur antara 18-45 tahun dapat dikenakan kerja rodi (kerja erakan) yang sangat memberatkan rakyat yang kesemuanya untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda.

Kondisi sosial ekonomi yang berkaitan dengan rodi dan berbagai pajak dan pungutan, dampak depresi ekonomi dunia saat itu, dan ditambah dengan pendidikan yang kurang maju menjadi dominan sifatnya antara tahun 1900 –1928 di Kalimantan Selatan. Kondisi demikian mengakibatkan keresahan yang bermuara kepada munculnya pemberontakan Guru Sanusi 1914-1918 dan pemberontakan Gusti Darmawi tahun 1927. Keadaan itu pula yang mengakibatkan banyak penduduk khususnya dari Hulu Sungai yang melakukan eksodus ke pesisir Timur Sumatera seperti Kuala Tungkal, Sapat, Tembilahan. Sampai tahun 1950 jumlah penduduk suku Banjar di daerah Sapat dan Tembilahan mencapai 250.000 orang (Saleh et al,1978/1979: 51).

Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pamadaman yang cukup besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ahmad Fauzi (2010:2) diperkirakan orang Banjar di Sumatera Utara saat ini berjumlah lebih kurang 180.000 orang dengan perincian kab. Langkat 70.000 orang, Deli Serdang 30.000 orang, Serdang Bedagai 50.000 orang, Asahan 20.000 orang, kabupaten/kota lainnya kurang lebih 10.000 orang.

Informasi lain sebagaimana disebutkan A. Muthalib (2008:26) bahwa orang Banjar yang telah bermukim di Indragiri Hilir pada tahun 1900 sekitar seribu jiwa. Lima belas tahun kemudian (1915) jumlah mereka meningkat drastis, yakni 18.798 jiwa. Pada akhir perang Dunia I atau dekade kedua abad ke-20, jumlah mereka diperkirakan 20 ribu jiwa. Selain ke pesisir Sumatera, puluhan ribu penduduk Hulu Sungai juga pergi untuk menetap di Melaka (Sjamsuddin, 2001: 9). Mungkin yang dimaksud Sjamsuddin di Malaya, bukan di Melaka. Kalau di Melaka tidak ada orang Banjar seramai itu, kerana Melaka bukan tumpuan migrasi orang Banjar.

Menurut Tunku Shamsul Bahrin (1964) sebagaimana dikutip dari Mohamed Salleh Lamry (2010:4) bahwa berdasarkan sensus penduduk Semenanjung Malaya tahun 1911, orang Banjar di Malaya pada masa itu berjumlah 21.227 orang. Umumnya mereka bermukim di Perak, Selangor dan Johor. Pada tahun 1921 orang Banjar di Malaya meningkat hampir 80% menjadi 37.484 orang. Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk Banjar di Malaya bertambah 7.503 orang menjadi 45.351 orang. Perak, Johor dan Selangor masih merupakan negeri di mana jumlah orang Banjar paling ramai. Dalam tiga negeri inilah tinggal 96% orang Banjar di Malaya.

Menurut sensus tahun 1930 di Semenanjung Malaya terdapat 45.382 orang Banjar dan pada tahun 1947 angka ini meningkat ke angka 62.356 orang (Dzul Karnain Asnawi, 2010: 6). Sedangkan menurut sensus di Malaya tahun 1931, orang Banjar kelahiran Hulusungai mencapai 45.433 jiwa. Sedangkan di Sumatera pada tahun yang sama 77.838 jiwa; tersebar di Riau, Jambi, Medan, dan pesisir utara lainnya (Arbain, 2009:235).

Proses migrasi besar-besar orang Banjar memang sudah terjadi pada abad ke-18 ketika Belanda melakukan campur tangan dalam perebutan tahta antara Pangeran Nata dan Pangeran Amir yang berujung kepada kekalahan Pangeran Amir dan akhirnya dibuang ke Ceylon (Sri Langka). Untuk menghindari dari penangkapan dan hukuman dari pihak kolonial Belanda, maka pengikut Pangeran Amir melakukan eksodus ke berbagai tempat yang dirasa aman. Migrasi orang Banjar keluar Kalsel semakin banyak ketika terjadinya Perang Banjar yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun (1859-1906). Dan migrasi itu mencapai puncaknya pada dekade-dekade pertama abad ke-20, disaat Pemerintah Hindia Belanda telah semakin intens menancapkan kekuasaan dan menjalankan pemerintahan kolonial yang diskriminatif dan menindas kaum pribumi.

Catatan kependudukan tahun 1930 menunjukkan jumlah keseluruhan penduduk Banua Lima atau Hulusungai melebihi angka 500.000 jiwa. Dari rasio jenis kelamin yang berjumlah 91-92 laki-laki per 100 perempuan, menunjukkan bahwa laki-laki Banjar banyak meninggalkan kampung halaman (Potter, 2001: 401).

Migrasi orang Banjar ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara juga didukung budaya madam, setidaknya budaya madam  yang dimiliki oleh orang Alabio untuk berdagang keluar kampung halaman  (Rambe dalam Taufik Arbain, 2009: 6).  Selain subetnis Alabio, orang Negara, Kelua, dan Amuntai dikenal sebagai pedagang handal yang  berjualan ke berbagai tempat.

Migrasi orang Banjar didukung oleh  penguasaan teknologi pembuatan perahu (jukung) dalam berbagai bentuk dan jenis keperluan untuk transportasi sungai, pantai dan lautan. Kemampuan itu dengan sendirinya menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar baik sebagai pelaut, nelayan, dan pedagang antar pulau (interensuler). Tak mengherankan jika pada masa Kerajaan Negara Dipa, Negara Daha, dan Kesultanan Banjar, jung-jung yang dibawa pedagang Banjar banyak berlabuh di berbagai bandar di pantai utara pulau Jawa.

Ketika Islam berkembang pesat di Kesultanan Banjar yang mengharuskan penganutnya untuk melakukan perjalanan haji ke Mekkah bagi yang mampu, maka kemampuan orang Banjar berlayar mengarungi samudera semakin terasah. Adalah hal biasa jika orang Banjar melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah dengan menaiki kapal layar sendiri pulang pergi selama setahun lamanya. Kemampuan memiliki, menguasai teknologi perkapalan dan adanya tradisi berlayar dan berdagang antar pulau dengan perahu tradisional itulah yang menjadikan orang Banjar memiliki mobilitas tinggi, berlayar dari satu pulau ke pulau lain dan menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman untuk mencari tempat bermukim. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menumpang kapal uap milik maskapai Belanda yang hanya merapat di bandar besar saja.

Putusnya komunikasi antara orang Banjar banua dengan perantauan barangkali disebabkan karena semakin berkurangnya armada perahu-perahu tradisional Banjar yang melayari lautan karena semua kegiatan perdagangan diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda, seiring dengan berhentinya perlawanan orang Banjar di awal abad ke-20 dan monopoli perdagangan Cina. Berbagai upaya untuk melawan pengaturan Belanda itu dan monopoli pedagang Cina, seperti yang dilakukan organisasasi Sarekat Islam cabang Banjarmasin dengan mendirikan Sarekat Pelayaran sebagai upaya untuk memperlancar transportasi sungai yang merupakan jalur perdagangan penting di Kalimantan Selatan, namun agaknya usaha-usaha itu tidak mampu melawan monopoli perdagangan yang telah lama dikuasai orang-orang Cina yang telah lama mendapat perlakuan istimewa yang diterimanya dari pemerintah, di samping eksploitasi pemerintah kolonial sendiri di bidang ekonomi (Wajidi, 2007: 123).

Dengan semakin sedikitnya perahu-perahu Banjar yang melayari lautan, maka semakin jarang orang Banjar di perantauan atau sebaliknya untuk saling berkunjung. Akibatnya untuk waktu sekarang masing-masing pihak mengalami kesulitan untuk menelusuri kembali sanak keluarga keluarganya. Sebagian dari mereka ada yang masih bisa menjalin komunikasi dengan kerabatnya di Kalsel, karena kerabatnya di banua masih dikenali.

Kini dengan semakin terjangkaunya biaya penerbangan pesawat, maka semakin ramai kedua belah pihak warga Banjar dari dua negara yang berbeda yang masih menjalin komunikasi saling melakukan kunjungan silaturahim untuk merekatkan dan mengakrabkan kembali hubungan kekeluargaan mereka, atau datang ke Banjarmasin untuk sekedar mengetahui kampung halaman moyang mereka atau mencoba peruntungan untuk menelusuri keturunan kerabat mereka di banua dengan bekal alamat atau susur galur seadanya. Sebagian kerabat yang dicari ditemukan atau terjalin kembali, namun tidak sedikit pula yang putus sama sekali karena yang mereka ketahui hanyalah padatuan mereka berasal dari Kalsel (seperti dari Barabai, Kandangan, Alabio, Nagara, Amuntai, Kelua), namun dimana atau di kampung apa padatuan mereka dahulunya berada mereka tidak mengetahuinya.

Artum Artha dan Berita Proklamasi Kemerdekaan

Juli 25, 2023

Oleh Wajidi

Kalimantan Selatan pada hari-hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 mencerminkan situasi dan kondisi yang tidak menentu karena simpang siurnya berita kemerdekaan yang sampai ke daerah ini, di samping tentara Jepang juga masih menunjukkan kekua­saannya. Meski surat kabar Borneo Simboen dan berita radio dikontrol Jepang, berita kekalahan tentara Jepang dan peristiwa Proklamasi kemer­dekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai juga  beritanya ke daerah ini. Diantaranya diterima oleh H.M. Arsyad, Zafry Zamzam, Hamli Carang, dan Artum Artha di Kandangan, setelah itu secara sembunyi-sembunyi berita itu disiarkan dari mulut ke mulut.

Artum Artha menerima berita itu dari Tuan Shumano (Letnan Kolonel Angkatan Laut Jepang). Direktur Kasen Unkokai Kabushiki Kaisha di Kandangan, tempat ia bekerja. Di maskapai ini, Artum mendapat gaji sebulan Rp. 25.00 ditambah tunjangan bermacam-macam barang termasuk rokok kretek dan sigaret gunung Fuji.

Artum Artha, nama aslinya M. Chusrien. Sejak kecil dipanggil dengan nama “Artum”. Mempunyai beberapa nama pena atau nama samaran seperti Artum Artha, M. Ch. Artum (Muhammad Chayrin Artum), Bujang Jauh, Emhart, HR Bandara,  dan Murya Artha yang ia gunakan saat sebagai penyair, wartawan, atau nama samaran pada saat perjuangan melawan Belanda dahulu di Kalimantan Selatan. Foto koleksi: Wajidi

Artum Artha menceritakan pengalamannya saat menerima kabar itu langsung dari Tuan Shumano:

“Sabtu 18 Agustus 1945 atau 2605 menurut tahun Jepang, tuan Shumano selaku  Direktur  Kasen Unkokai Kabushiki Kaisha mengundang semua karyawan untuk melaksanakan acara  perpisahan. Acara perpisahan  dilaksanakan di  rumah tuan Shumano, milik Guru Ahmad Jumri di Karang Jawa-Kandangan tanggal 18 ke 19 Agustus 1945, pukul 19.00 – 20.00 waktu Tokyo. Tuan Shumano  bermaksud memberikan bingkisan sebagai tanda mata kepada semua karyawan.”Sabtu 18 Agustus 1945 atau 2605 menurut tahun Jepang, tuan Shumano selaku  Direktur  Kasen Unkokai Kabushiki Kaisha mengundang semua karyawan untuk melaksanakan acara  perpisahan. Acara perpisahan  dilaksanakan di  rumah tuan Shumano, milik Guru Ahmad Jumri di Karang Jawa-Kandangan tanggal 18 ke 19 Agustus 1945, pukul 19.00 – 20.00 waktu Tokyo. Tuan Shumano  bermaksud memberikan bingkisan sebagai tanda mata kepada semua karyawan.

Pertemuan malam itu sepi dan dingin. Shumano berbicara dan suara­nya agak terputus-putus. Ia mengatakan  kepada para karyawan bahwa kita akan berpisah, dan nanti diberitahukan lagi. Gaji sudah dibayar semua. Malam ini pertemuan kita yang baik, dan saya akan memberikan sedikit ha­diah untuk kenangan. Kita makan bersama. Nah, sama-sama, nah. Kita sama-sama bernyanyi gembira. Lagu Sakura Hana dan lagu Bengawan Solo. Sebagai penutup diperdengarkan lagu yang terdapat dalam cerita “Amat Heiho” karangan Lamberi Bustani yang cukup populer kala itu.

 Selesai acara perpisahan, dan semua karyawan beranjak pulang, kembali tuan Shumano meminta Artum agar tinggal sebentar “ada yang akan dibicarakan”, ujar tuan Shumano. Akhirnya terjadilah pertemuan empat mata itu. Lebih lanjut Artum mengisahkan pembicaraan dengan tuan Shumano, di malam itu.

“Waktu itu semua karyawan sudah pulang dalam suasana sinar rembulan, diiringi gerimis hujan yang mulai turun. Sepeda tua kusandarkan di tangga. Aku kembali masuk rumah dengan perasaan ragu dan hati, jan­tung berdenyut, terasa takut. Bingkisan digantungkan di setang sepeda. Aku berada dalam kamar tuan Shumano. Luasnya lebih kurang 3 x 4 meter. Mulanya terang benderang  karena cahaya lampu stormking. Cepat dipa­damkan oleh Shumano. Lampu lilin dinyalakan. Kedap-kedip. Hatiku tambah gemetar. Rasa terancam oleh senjata samurai, senjata Jepang yang ditakuti oleh setiap orang termasuk ditakuti oleh bangsa Jepang sendiri, “ kenang Artum.

“Tuan Artum, ucapnya mula-mula. Sekarang saya panggil tuan Artum, karena Indonesia Merdeka. Tuan Soekarno–Hatta bikin Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Berita Domei dari Jakarta bahwa di Jakarta amat riuh tapi juga amat menakutkan. Sebab bangsa Indonesia bersiap meng­hadapi segala kemungkinan kekeruhan suasana politik pemerintahan antara Indonesia dan Jepang. Tuan Artum tidak boleh omong kepada orang-orang, siapa saja, kalau bocor rahasia ini, Kempeitai akan potong lehernya. Maka Tuan Artum, pulanglah dengan sabar. Saya kasih surat agar dalam per­jalanan selamat. Saya hanya ucapkan selamat berpisah dan terima kasih, gozaimasu Artum sang,” begitu brifing yang disampaikan tuan Shumano se­laku  Direktur  Kasen Unkokai Kabushiki Kaisha  kepada Artum Artha dalam pertemuan empat mata”.

Dari kiri ke kanan: Artum Artha, Hadhariyah M, dan A. Basuni di Yogyakarta 1950. Foto: Koleksi Wajidi

“Kuperhatikan pesan-pesan Shumano, ketika kami berdua sama-sama berdiri di tangga: “Besok kantor  buka saja. Tapi bendera Dai Nippon yang ada di dinding harus buka. Bendera tidak lagi dinaikkan seperti biasa. Saikkeirei  ke Tokyo, juga tidak. Hari Senin esok kasih bingkisan kepada se­mua pegawai. Masing-masing satu potong kain. Untuk pegawai perempuan, kasih dia dua potong. Kain laki dan kain perempuan. Sisa rokok yang ada dalam gudang, diatur saja. Saya tetap dalam rumah ini. Selamat malam – Kun banwa…” Artum pulang dengan sepeda tua pinjaman, milik paman Sarman. Di sepanjang jalan,  pikirnya, barangkali ada juga orang-orang yang mendapat berita Domei atau barangkali ada radio gelap yang menangkap berita Proklamasi Soekarno-Hatta, namun ia tak berani bicara kepada siapa pun.

Sumber bacaan:

Wajidi. 2008. Artum Artha Sastrawan, Wartawan, dan Budayawan Kalimantan Selatan. Yogyakarta: Debut Press.

Wajidi. 2023. Nasionalisme 3 Zaman, Jalan Panjang Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan 1900-1950. Yogyakarta: Istana Agency.

RIVALITAS NASIONALIS-KOLONIALIS Dalam Nama Kalimantan-Borneo

Februari 25, 2023

Oleh Wajidi

Sejak masa kolonial Belanda, penggunaan nama Kalimantan atau Borneo tidak terlepas dari nuansa politik. Orang-orang nasionalis atau pergerakan, kalangan unitarisme atau kaum Republikan lebih suka memakai nama Kalimantan, sedangkan pemerintah kolonial atau yang pro kolonial memakai nama Borneo. Berikut ulasan yang saya ambil dari buku terbaru saya: Nasionalisme 3 Zaman: Jalan Panjang Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan 1900-1950.

Penggunaan nama Kalimantan (bagian) Selatan, sebagai sebuah nama yang secara formal muncul pada tahun 1950-an melalui pembentukan Provinsi Kalimantan Selatan sehingga terkesan anakronistis, bukanlah tanpa alasan. Alasan utama adalah sudut pandang penulisan “Indonesia-sentris”. Secara legal formal nama “Borneo” merupakan nama resmi dalam hukum internasional, dan Kalimantan merupakan bagian dari Pulau Borneo. Akan tetapi, nama Borneo yang dalam sumber-sumber Eropa misalnya dalam buku Algemeen aardrijkskundig woordenboek  tahun 1821 ditulis Borneo of Boreo atau dari kata  Brunai (Baruni; Barnui; Brauni lebih bernuansa  kolonialis  dan asing (foreign) karena dipakai sebagai nama da­lam berbagai pranata sosial oleh orang Inggris dan Belanda atau para penjelajah bangsa Eropa  yang lama menetap di  Kalimantan.

Di dalam pranata pemerintahan itu terdapat berbagaikepala Binnenlands Bestuur berstatus pegawai Belanda kulit putih seperti gubernur, residen, asisten residen, kontrolir dan aspiran kontrolir. Mereka didampingi pemerintahan setempat (Hoofd van Plaatselijke Bestuur) sebagai aparat Inlands Bestuur atau  pangreh praja bumi putera  seperti kiai besar, kiai kepala, dan kiai. Mereka adalah para pejabat pemerintahan yang dengan dukungan militer, polisi, dan PID (Politieke Inlichtingen Dienst) seringkali mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif dan menindas kaum pribumi, sehingga secara psikologis dalam memori kolektif kaum pribumi, istilah Borneo cenderung lebih bernuansa kolonial.

Dalam pranata pemerintahan misalnya Pemerintahan Dalam Negeri (Binnenlands Bestuur), pemerintah Hindia Belanda menamakan Kalimantan bagian Selatan dengan sebutan  Borneo Zuid-Oostkust, Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo. Pada tahun  1938 untuk menyebut Kalimantan sebagai provinsi dipakai nama Gewest Borneo beribukota di Banjarmasin. Wilayah Gewest Borneo mempunyai dua keresidenan yaitu Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo ibukotanya Banjarmasin, dan Residentie Westerafdeling van Borneo  ibukotanya Pontianak. Sebelumnya kedua keresidenan ini bernama Borneo Westkust dan Borneo Zuid-Oostkust.

Istilah Borneo juga dipakai dalam dunia pers milik pemerintah maupun pribumi. Beberapa surat kabar memakai nama Borneo sebagai identitas tempat media itu berasal, misalnya Borneo Bergerak, Borneo Courant,  Bintang Borneo, Sinar Borneo, Borneo Post, Soeara Borneo, dan Bendahara Borneo. Dalam dunia kepanduan juga memakai nama Borneo, seperti Borneo Padvinder Organisatie (Organisasi Kepanduan Borneo).

Berbeda dengan Borneo, istilah Kalimantan tidak memiliki konotasi kolonial dan lebih melambangkan kepribumian. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan nama Kalimantan berasal dari nama buah kalamantan atau mantan yang banyak tumbuh di pesisir selatan pulau ini.

Menurut Tjilik Riwut nama Kalimantan berasal dari kata kali  yang artinya sungai; dan mantan, besar. Kalimantan berarti pulau yang mempunyai sungai-sungai besar. Versi lain ada nama pohon Kelimantan yang terdiri dari dua suku kata yakni Keli dan Mantan. Keli berarti amat, sedangkan mantan berarti besar, dan lama kelamaan orang menyebutnya Kalimantan. Istilah Kalimantan yang berarti sungai besar sangat tepat jika dikaitkan dengan kondisi geografis pulau Kalimantan yang dibelah oleh ratusan sungai besar dan kecil.

Beberapa sumber Eropa berupa peta dan catatan perjalanan abad ke-19 sudah menyebut  nama Kalimantan dengan ditulis:  K’lemantan, KalamantanKlemantan atau Klematan. Dalam buku Geillustreerde 1884, tertulis: Borneo, elgenlijk Braunie en door de inboorlingen Kalamantan,  Klemantan of  Klematan. Dalam karya tulis A.F. Von De Wall yang terbit tahun 1888, termuat kisah perjalanan seorang wanita bernama Ida yang berangkat dari Benua Eropa pada tanggal 10 April 1851 untuk berlayar menjelajah dunia hingga sampai ke “Pulau Kelemantan”.

Menurut Helius Sjamsuddin,  istilah Kalimantan sudah lama dipakai setidaknya sejak akhir abad ke-19. Ketika itu pada tahun 1812 J. Hunt  menyebut nama Kalimantan lebih indigenous (pribumi) dibanding  nama Borneo yang dianggap foreign (asing)—terlebih lagi berbagai riset dan citra Kalimantan direkonstruksi dalam sudut pandang Barat. Bahkan disebutkan pula istilah Kalimantan telah secara umum dipakai para pangeran dan pembesar Banjar untuk  menunjuk pulau tempat Keresidenan Selatan dan Timur Borneo.

Kaum pergerakan lebih suka memakai istilah Kalimantan untuk me­nyebut Borneo, karena selain melambangkan kepribumian, istilah Kalimantan juga  lebih melambangkan kebebasan dari penjajahan. Terlebih lagi dalam pergerakan yang bermuatan politis dan membawa faham nasionalis, istilah Kalimantan lebih sering dipakai sebagai simbol nasionalisme sekaligus lebih pribumi (indigenoes)  sebagaimana banyak dipakai sebagai nama organisasi dan pers oleh para aktivis pergerakan.  Misalnya Housman Baboe mengganti nama kantor berita Borpena (Borneosche Pers en Nieuw Agentschap) menjadi Kalpena  (Kalimantansche Pers en Nieuw Agentschap) tahun 1928, dan terbitnya surat kabar  Soeara Kalimantan, Kesadaran Kalimantan,  dan Utusan Kalimantan. Di Banjarmasin terdapat percetakan “Oesaha Kalimantan” yang mana Dagblad Expresse dan lainnya dicetak di percetakan ini. Pada masa Hindia Belanda, surat kabar berbahasa Melayu lebih suka menyebut Kalimantan dalam pemberitaan, dan memiliki rubrik berita “Kalimantan”.

Pada saat hampir bersamaan, aktivis pergerakan juga mulai meng­adopsi istilah Kalimantan dalam organisasi mereka, misalnya Pemuda OSVIA Kalimantan di Makassar, Sarekat Kalimantan di Marabahan,  Partai Ekonomi Kalimantan (PEK), dan adapula Kalimantan Voetbal Bond (Perserikatan Sepakbola Kalimantan) sebagai tandingan Bandjarmasin Voetbal Bond yang dikelola Belanda. Untuk menyuarakan perjuangannya, PEK menerbitkan SORAK: Soemangat Rajat Kalimantan dipimpin oleh Anang Acil bin Kiai Kusuma Wiranagara (Anang Acil Kusuma Wiranagara), sampai kemudian terbit Soeara Kalimantan dipimpin puteranya yakni A.A. Hamidhan.

Nama Kalimantan menjadi semakin populer dengan terbitnya surat kabar Soeara Kalimantan pada tahun 1930. Sebagai surat kabar terbesar di Pulau Kalimantan, surat kabar ini sering kali berseberangan dengan dagblad Borneo Post. Dari kedua nama koran, Borneo Post (milik Belanda) dan Soeara Kalimantan (milik A.A. Hamidhan, seorang pribumi) sudah terlihat adanya rivalitas. Satunya memakai nama Borneo, satunya lagi memakai nama Kalimantan. Kehadiran Soeara Kalimantan menjadikan istilah Kalimantan lebih dikenal publik dan ber­kembang menjadi simbol nasionalisme. Pada foto Peringatan Kongres Bond Indonesische Chauffeur (BIC) ketiga tanggal 1 Agustus 1936 di Barabai terdapat latar (backdrop) dengan tulisan: “Selatan dan Timoer Poelau Kalimantan”. Begitupula pada sebuah foto di Pelajau terdapat spanduk bertulisan: “Tentoonstelling Ke­radjinan Tangan Boemi Poetera –Kalimantan-“

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa keberadaan media cetak dengan membawa nama Kalimantan dengan sendirinya menjadikan nama Kalimantan menjadi populer sebagai nama lain dari  Borneo.  Keberadaan Soeara Kalimantan  setidaknya telah mempopulerkan nama Kalimantan, tidak hanya di pulau Kalimantan itu sendiri melainkan juga sampai ke Jawa, karena surat kabar ini mempunyai agen di Surabaya dan Jakarta. Inilah peran dari surat kabar Soeara Kalimantan sebagai aktor perubahan (agent of change) sehingga  dengan menjadikan Kalimantan sebagai nama surat kabar, atau dengan menyebut Kalimantan sebagai pengganti Borneo di dalam pemberitaan maka dengan sendirinya masyarakat luas lebih sering memakai nama Kalimantan dalam berbagai kesempatan.

 Menjelang akhir pemerintahan Hindia Belanda, kaum penjajah mulai menerima nama Kalimantan dan mempergunakan kata-kata Indonesia. Bahkan ketika Soeara Kalimantan dibumihanguskan Belanda maka oleh Hamidhan dibentuklah  surat kabar Kalimantan Raya.

Penambahan istilah “Raya” setelah Kalimantan yakni Kalimantan Raya (Dai Kalimantan) meru­pakan usaha Hamidhan untuk lebih mengenalkan nama Kalimantan selain Borneo.  Menurut A.A. Hamidhan, Kalimantan Raya sengaja dipilih menjadi nama harian karena tujuan harian ini adalah  meliputi seluruh Kalimantan, yaitu Timur ke Barat, dan dari Selatan ke Utara. Dinamakan Kalimantan Raya karena seluruh Kalimantan sudah diduduki tentara Jepang. Meski kemudian tentara pendudukan Jepang sebagai penjajah lebih banyak menggunakan nama Borneo untuk menyebut Kalimantan.

Ketika Belanda  membentuk pemerintahan NICA pada tahun 1945, Belanda kembali memakai nama Borneo dalam keresidenan yang dibentuk di Kalimantan Selatan yakni Residentie Zuider Afdeling van Borneo atau Residentie Zuid-Borneo dengan berbagai perangkatnya. Bahkan pada awal-awal pemerintahan Republik Indonesia sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945 provinsi di Kalimantan bernama  Provinsi Borneo. Saat itu, istilah “Borneo” dan “Kalimantan” masih sering dipertukarkan.  Pada kepala atau kop surat Gubernur dan stempel resmi yang diterbitkan di Yogyakarta sam­pai dengan akhir tahun 1946 masih menggunakan: “Pemerintah Republik Indonesia, Goebernoer Borneo. Begitupula dalam Pasal 4 Persetujuan Linggajati juga ditulis Borneo.

Di sini terlihat kembali rivalitas penggunaan Kalimantan  yang sering dipakai oleh kalangan unitarisme dibanding Borneo yang dipakai oleh pro federalis. Karena dalam periode yang sama, istilah Kalimantan dipakai sebagai nama surat kabar Kalimantan Berdjuang yang berhaluan republikan pro unitarisme, Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia (BPPKI), Barisan Pemberontak Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK), Gabungan Pemuda Pemudi Kalimantan (GPPK), Gabungan Persatuan Pemuda Indonesia Kalimantan (GPPIK), Gerakan Rahasia Kalimantan (GERAK), Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK), Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, Pemerintah Gubernur Tentara ALRI Pertahanan Kalimantan, dan MN1001/MTKI (Mandau Telabang Kalimantan Indonesia) versus Borneo yang dipakai pihak kolonial dalam berbagai nama seperti Residentie van Zuid-Borneo,  Negara Borneo, Borneo Tenggara, Dewan Borneo Tenggara, dan Borneo Timoer, Kantoor Bandjarmasin Zuid-Borneo, dagbladBorneo Post, dan lain-lainnya. Rivalitas pemakaian nama itu  semakin menegaskan kecenderungan nama Kalimantan sebagai identitas kaum Republikan, atau sebagai antitesa dari Borneo yang cenderung dipakai sebagai penamaan oleh pemerintah Belanda atau “berbau” asing dan  kolonial.

Bagaimana pendapat sampeyan?

JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah)

Mei 10, 2022

Oleh Wajidi

Barangkali banyak yang tidak mengetahui bahwa negara dan bangsa Indonesia lahir  adanya faktor sejarah. Begitupula halnya dengan Timor Timur, juga lepas dari pangkuan NKRI karena faktor sejarah.

Indonesia lahir karena historical accident.  Ribuan  pulau yang  terbentang dari barat ke timur sepanjang lebih dari 5000 km (setara jarak Moskow ke London)  dan didiami oleh 360 suku bangsa yang menggunakan lebih dari 300 dialek bahasa, dapat bersatu karena merasa memiliki  kesamaan “nasib” dan  “sejarah”, yakni dijajah dan menderita oleh penjajah yang sama, terutama oleh penjajahan Belanda.

Wadah persatuan, wilayah tempat bangsa Indonesia berada adalah wilayah Hindia Belanda sebagai hasil politik kolonial yang dipaksakan kepada daerah atau kepulauan nusantara yang dikuasainya. Pemaksaan itu, di satu sisi  telah menimbulkan penderitaan, tetapi akibat dari itu telah menimbulkan kesadaran senasib dan sepenanggungan sebagai sebuah bangsa.

Indonesia adalah sebuah persatuan politik, bukan persatuan yang didasarkan faktor keturunan atau kesamaan etnis atau primordialisme sebagaimana dilansir oleh Karl Haushofer  dalam Teori Persatuan Darah-dan-Tanah (Blut-und-Boden Theorie). Itulah mengapa etnis Papua yang berasal dari rumpun Melanesoid dapat bersatu dengan etnis lainnya di Indonesia.

Sebaliknya yang terjadi di Timor Timur, meski secara etnisitas mempunyai persamaan dengan penduduk Timor Barat (Provinsi Nusa Tenggara Timur), dorongan untuk melepaskan diri dari NKRI lebih mengakar karena mempunyai nasib dan sejarah di bawah penjajahan Portugis.

Perebutan  Pulau Sipadan dan Ligitan juga banyak diwarnai oleh data sejarah. Kedua belah pihak, baik Indonesia maupun Malaysia mengklaim berdasarkan peta-peta lama dan perjanjian yang pernah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dan Inggeris. Meski akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan kedua pulau itu jatuh ke tangan Malaysia, karena kehadiran Malaysia yang terus menerus di pulau tersebut. Begitupula halnya dengan klaim historis Tiongkok atas ZEEI di Laut Natuna Utara dengan alasan nelayan Tiongkok telah lama beraktivitas di perairan Natuna.

Sejarah pernah pula menjadi senjata bagi kelompok separatis  Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka beranggapan secara de facto Aceh tidak pernah dikuasai Belanda, dan  Belanda tidak berhak memasukkan Kerajaan Aceh merdeka sebagai daerah yang dikuasainya dalam Perjanjian dengan pihak Inggeris, dan apalagi diwarisi Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.

 Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1966 pernah menyatakan agar bangsa ini “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Atau biasa disingkat dengan JAS MERAH. Pesan singkat penuh makna dari sang founding father republik ini sekarang seolah tanpa makna. Sejarah pembentukan republik ini hanya dimaknai oleh yang tua renta, pejuang perintis dan veteran perang kemerdekaan yang kini sedikit tersisa.

 Di sebagian kalangan anak muda, sejarah tak ubahnya urutan tanggal dan peristiwa, menghormat bendera, atau  untuk sekadar diperingati sebagai momen seremonial. Sedangkan makna hakiki dari peristiwanya itu sendiri jarang diungkap atau bahkan sama sekali tak disentuh.

Hal yang seperti itu barangkali terjadi di berbagai lapisan masyarakat Kalsel. Banyak diantaranya yang lebih mengetahui sejarah nasional dibanding sejarah lokal. Bahkan ada menghubungkan  peristiwa  Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan 17 Mei 1949  dengan Stadion Olahraga 17 Mei di Banjarmasin. Lebih ironi lagi, ketika masyarakat lebih mengetahui siapa Jenderal Ahmad Yani atau Pangeran Diponegoro dibanding Brigjend H. Hassan Basry, Pangeran Antasari, Ir. P.M. Noor, DR. K.H. Idham Chalid (Pahlawan Nasional dari Kalsel).

Berbagai faktor menjadi alasan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap sejarah lokal, diantaranya lantaran kurangnya  bahan bacaan sejarah daerah Kalimantan Selatan yang terdapat di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Padahal banyak sebenarnya tokoh dan peristiwa lokal yang sebetulnya sangat berperan dan bermakna namun tidak mendapatkan porsi yang selayaknya  dalam sejarah nasional karena dipandang tidak sejalan, atau kalau tidak ingin dikatakan  bertentangan dengan kepentingan atau sudut pandang penguasa (baca: Orde Baru).

Sementara itu ada tokoh dan peristiwa dari  daerah lain  yang terlihat dominan dalam buku sejarah dan bahkan menjadi nama-nama  jalan di daerah ini. Sebut saja Jalan Ahmad Yani yang membentang dari Banjarmasin sampai Kabupaten Banjar. Beliau memang dikenal penentang komunis dan menjadi korban G 30 S/PKI. Akan tetapi, jangan dilupakan Brigjen H. Hassan Basry adalah tokoh lokal penentang komunis, bahkan dapat dikatakan seorang pionir karena selaku Penguasa Perang Daerah Kalsel ia telah melarang kegiatan PKI dan ormasnya di Kalsel pada tahun 1960 yang kemudian diikuti Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan.

 Bagi yang tidak mau mengambil pelajaran dari  sejarah, maka sejarah hanyalah masa lalu an sich,  bukan untuk masa depan.  Bagi mereka sejarah tidak perlu dipelajari, karena sejarah dianggap menjemukan.  Akibatnya, tanah dan air Indonesia, sebagai warisan sejarah para pendahulu tidak dikelola dengan baik. Sumber daya alam dieksploitasi habis-habisan tanpa peduli bahwa sumber daya alam itu amanah untuk anak cucu kelak.

Itulah mengapa seorang Kapten Purnawirawan M. Amin Effendi, seorang tokoh pejuang pertempuran  9 November 1945 di Banjarmasin, sebelum tutup usia berpesan agar rakyat Kalsel pintar-pintar mengelola sumber daya alam. Pesan itu barangkali lahir karena keprihatinan beliau melihat terkurasnya sumber daya alam seperti hutan dan batu bara, namun tidak memberikan kemakmuran yang berarti bagi rakyat Kalsel. Sejarah memang tidak memberikan materi, akan tetapi muatannya adalah guru bagi kehidupan, dan seyogyanya  pemahaman terhadap sejarah akan mendorong peningkatan  rasa tanggung jawab generasi penerus terhadap masa depan bangsa dan negara. Bagaimana menurut sampeyan?

Melawan Lupa (2): Perpindahan Perkantoran ke Banjarbaru

Maret 12, 2022

Oleh Wajidi

Penetapan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarbaru sebagaimana tercantum dalam UU Provinsi Kalimantan Selatan bab II pasal ke-4 bukanlah sebuah kebijakan yang tiba-tiba atau bukan sesuatu hasil proses tanpa landasan berupa kajian.

Pada tahun 1999 pernah dilakukan Studi Kelayakan Rencana Pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan oleh konsultan     PT Wiratman & Associates yang merekomendasikan Banjarbaru sebagai rencana ibukota terpilih dari dua alternatif lain yaitu Banjarmasin dan Kecamatan Pleihari.  Pemerintah Provinsi Kalsel melalaui Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan telah menyebutkan bahwa Kota Banjarbaru sebagai kantor Pemerintahan Provinsi (halaman IV-23 dan IV-24).

Visi dan Misi Gubernur terpilih 2005-2010 (Drs. H. Rudy Ariffin) yang tertuang dalam RPJM Provinsi Kalimantan Selatan 2006-2010 menyebutkan prioritas pembangunan 2006-2010 adalah mempersiapkan dan merealisasikan proses pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru.

Sebagai salah satu pelaksanaan RPJM tersebut maka pada tahun 2006, Pemerintah Provinsi Kalsel melalui Balitbangda Provinsi Kalsel yang kala itu dikepalai Ir. H. Aksan Zuzaimah, M.S. dengan bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat melaksanakan “Kajian Komprehensif Pemindahan Kantor Gubernur Dalam Rangka Persiapan Perpindahan Pusat Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Banjarbaru”. Tim peneliti yang dibentuk dengan berbagai latar belakang keahlian. Sebagai penanggung jawab tim peneliti adalah Dr. Ir. Ahmad Kurnain, M.Sc, yang kala itu adalah Kepala Lemlit Unlam (kini ULM). Ketua Tim Peneliti adalah Dr. H. Wahyu, MS, Sekretaris Rudi Hartono, ST, PG Dip. PD, MUP, anggota terdiri dari: Dr. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc,   Ir. Meldia Septiana, M.Si,   Maya Sari Dewi, S.Sos, MM,   Yulia Qamariyanti, SH, M. Hum,   dr. H. M. Bakhriansyah, M. Kes,   Ir. Purwadi,          Drs. Wajidi, dan   Drs. Abdul Galib, M.Pd.

Kantor Gubernur Kalsel di Banjarbaru. Foto: mainmain.id

Ada apa dengan Kantor Gubernur?

Kantor Gubernur merupakan simbol kebanggaan bagi provinsi yang dinaunginya. Di kantor tersebut kendali pemerintahan provinsi dilakukan. Kantor Gubernur yang representatif, megah, dan indah akan memberikan kebanggaan tersendiri bagi warga. Sebaliknya, Kantor Gubernur yang tidak representatif dan tidak direncanakan serta didesain dengan matang akan mengurangi kebanggaan warga.

Perkantoran Pemerintah Provinsi di Banjarmasin dihadapkan pada sejumlah kendala:  (1) Berdasarkan perhitungan standar luasan ruang kantor per orang, kondisi Kantor Gubernur yang ada di Banjarmasin sudah tidak mungkin lagi untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan struktur organisasi pemerintahan. Luasan bangunan gedung Kantor Gubernur beserta Sekretariat Daerah Kalimantan Selatan adalah 12.241,5 m2 hanya akan mencukupi kebutuhan luasan sampai maksimal lima tahun yang akan datang,  (2) Kantor Gubernur beserta Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan diapit oleh beberapa kantor, dan tepat berhadapan dengan jalan raya yang selanjutnya berhadapan langsung pula dengan aliran sungai Martapura. Letak ini menyebabkan Kantor Gubernur beserta Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan rentan terhadap cemaran, baik debu maupun kebisingan yang bersumber dari lalu lintas yang melewati jalan raya tersebut, (3) Sarana yang ada sekarang letaknya tersebar sehingga komunikasi antara Kantor Induk dan Kantor Badan/Dinas Teknis dan pembinaan kepegawaian menjadi tidak efektif, (4) Selain karena letak organisasi perangkat daerah yang menyebar, pada Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Sekarang juga tidak tersedia ruangan besar (aula) yang relatif besar untuk dijadikan tempat mediasi maupun pertemuan antara gubernur dengan jajaran dalam rangka koordinasi tugas, (5) Rencana relokasi  semua biro, badan, dinas, dan kantor yang berada di bawah Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan pada lokasi yang berdekatan sulit dilakukan di lahan yang ada sekarang karena tidak akan dapat memenuhi kebutuhan lahan yang diperlukan.

Alternatif pemecahan masalah yang bisa dilakukan adalah memindahkan Kantor Gubernur ke tempat lain yang mempunyai ketersediaan lahan memadai. Pemindahan lokasi masih dalam lingkup kota Banjarmasin akan menemui beberapa kendala, antara lain adalah masalah besarnya biaya yang diperlukan. Karena kondisi tanah rawa di Banjarmasin, pembangunan memerlukan biaya yang besar. Struktur bangunan memerlukan konstruksi khusus yang sangat besar biayanya dibandingkan dengan konstruksi di lahan kering/tanah tinggi/perbukitan.

Kajian Pemindahan Kantor Gubernur

Kota Banjarbaru adalah  lokasi yang dianggap tepat dan ideal untuk dijadikan pusat perkantoran pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan. Untuk memastikan hal ini, perlu adanya kajian komprehensif mengenai perpindahan Kantor Gubernur ke Banjarbaru yaitu dari aspek legalitas, teknis, ekonomis, organisasi dan manajemen, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan terhadap rencana pemindahan Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Kemudian, kajian juga bertujuan untuk mendapatkan alternatif lokasi Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan di Banjarbaru yang sesuai baik dari aspek legalitas, teknis, ekonomis, organisasi dan manajemen, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan. Dan tujuan terakhir dari kajian adalah untuk mendapatkan gambaran dasar dampak-dampak yang akan timbul baik dari aspek legalitas, teknis, ekonomis, organisasi dan manajemen, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan pada kota Banjarmasin sebagai kota yang ditinggalkan dan pada kota Banjarbaru sebagai kota yang ditempati sehingga dapat dijadikan rekomendasi bagi pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk mengambil kebijakan dan keputusan.

Hasil kajian menunjukkan bahwa dari aspek Legalitas, kebijakan pemindahan Kantor Gubernur sebagai pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan merupakan kewenangan penuh Gubernur dengan persetujuan DPRD yang dituangkan dalam Peraturan Daerah. Hal ini sudah menjamin kepastian hukum karena termasuk dalam peraturan perundang-undangan dalam negara Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Dari aspek historis, keinginan untuk melakukan pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru tidak timbul secara seketika tatapi melalui proses sejarah yang panjang dan lama sejak tahun 1950-an.

Berdasarkan kajian dari aspek teknis, Kantor Gubernur di Banjarmasin masih memadai hingga tahun 2007 bila ditinjau dari segi luasan bangunan. Tetapi bila ditinjau dari faktor-faktor beban kota Banjarmasin yang semakin tinggi, kualitas lingkungan yang di bawah standar, aspek kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sebagai akibat kondisi tanah rawa; sudah sepantasnya Kantor Gubernur dipindahkan ke lokasi lain yang memiliki kondisi lebih baik dari Banjarmasin. Menurut hasil Studi Kelayakan yang dilakukan oleh Konsultan PT Wiratman & Assc, kota Banjarbaru merupakan lokasi dengan tingkat kelayakan tertinggi dibanding alternatif lain (Banjarmasin dan Pleihari).

Penentuan alternatif lokasi di Banjarbaru didasarkan pada kriteria: Daya dukung wilayah; Ketersediaan lahan cadangan; Kemudahan aksesibilitas; Topografi kawasan; Kondisi dan tingkat ketersediaan air bersih dan listrik; Kesuburan tanah dan prospek pengolahan; Kemudahan pembebasan tanah; Kondisi dan potensi drainase lingkungan dan pembuangan limbah; Kondisi pola dan tata lingkungan; Kesesuaian dengan dokumen perencanaan kota Banjarbaru.

Berdasarkan kriteria di atas diperoleh empat alternatif lokasi yaitu: Loktabat Kecamatan Banjarbaru Kota, dengan luas ± 400 hektar; Trikora-Palam-Guntung Upih Kecamatan Banjarbaru Kota, dengan luas ±1000 hektar; Sungai Ulin Kecamatan Banjarbaru Kota, dengan luas ± 350 hektar; dan Gunung Kupang Kecamatan Cempaka dengan luas ± 1800 hektar.

Dari aspek Manajemen Dan Organisasi, letak Kantor Gubernur Provinsi Kalsel dan jajarannya yang tersebar menyebabkan sosialisasi Perda Provinsi Kalsel No. 8/2000 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat DPRD Provinsi Kalsel berjalan tidak optimal. Proses pembinaan pegawai oleh Gubernur menjadi tidak efektif dan efisien. Pemindahan Kantor Gubernur ke Banjarbaru dalam satu lokasi diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut.

Dari aspek Sosial Budaya, aspek Pemindahan Kantor Gubernur ke Banjarbaru dalam satu lokasi akan menimbulkan dampak sosial dan budaya baik berupa dampak positif maupun negatif. Untuk Banjarbaru: terdorongnya penduduk luar Banjarbaru untuk pindah ke kota Banjarbaru (arus urbanisasi). Untuk Banjarmasin: dapat dihindarinya efek negatif akibat dari akumulasi kekuasaan yang berinteraksi langsung dengan dunia bisnis komersial, berkurangnya beban kota baik dari segi kehidupan sosial maupun lingkungan perkotaan. Untuk aspek ekonomi, dampak yang terjadi untuk Banjarbaru: terpicunya pertumbuhan pembangunan dan pengembangan sumber daya alam dan manusia, naiknya harga tanah di sekitar lokasi pusat pemerintahan provinsi, bertambahnya beban anggaran pembangunan daerah untuk secara cepat membangun fasilitas-fasilitas yang diperlukan. Sedangkan untuk Banjarmasin: dihilangkannya beban pembiayaan protokoler dapat membantu pendanaan untuk mengatasi masalah lingkungan, bekas fasilitas-fasilitas instansi pemerintahan provinsi yang akan dipindahkan dapat dimanfaatkan sebagai sarana promosi dan pemberdayaan kegiatan perekonomian. Dari aspek Kesehatan Lingkungan, dari hasil pemerikasaan laboratorium pada keempat lokasi alternatif, dengan pertimbangan nilai kualitas udara (kebisingan) di daerah Gunung Kupang dan Sei Ulin yang tidak memenuhi syarat kesehatan, dan usaha untuk memperbaiki kualitas kebisingan udara bukan hal yang mudah dan murah, maka daerah Trikora-lah yang paling memenuhi syarat secara kesehatan lingkungan untuk dijadikan lokasi baru Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil kajian, para peneliti mengeluarkan rekomendasi:

  •  Harus disediakan sarana, prasarana, dan infrastruktur yang memadai pada lokasi terpilih
  • Pemindahan harus dilakukan secara bertahap untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin terjadi
  • Pemindahan harus dilakukan dengan maksud rekondisioning bukan sebagai proyek investasi dengan sasaran pemberdayaan kinerja pemerintahan tingkat provinsi.
  • Perlu dilakukan perencanaan yang seksama untuk merealisasikan proses pemindahan di bawah payung kebijakan yang menyeluruh. Termasuk pertimbangan pengadaan transportasi dan akomodasi untuk pegawai yang berdomisili di Banjarmasin
  • PERENCANAAN KOTA BANJARBARU DI MASA DEPAN HARUS SUDAH MEMPERTIMBANGKAN RENCANA KEPINDAHAN KANTOR GUBERNUR DALAM RANGKA PERSIAPAN PERPINDAHAN PUSAT PEMERINTAHAN PEMERINTAH PROVINISI KALIMANTAN SELATAN KE BANJARBARU DAN LEBIH LANJUT RENCANA PEMINDAHAN IBUKOTA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN.

Menuai Pro dan Kontra

Hasil kajian ini menuai tanggapan pro dan kontra di kalangan pemerintahan, akademisi, maupun maupun masyarakat luas. Ketika kajian berlangsung, sudah muncul berbagai opini di surat kabar yang mengusulkan beberapa lokasi sebagai lokasi perkantoran maupun calon ibukota provinsi. Selain Kota banjarbaru ada yang mengusulkan Kandangan sebagai ibukota karena alasan historis pernah menjadi basis Pemerintah Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang diproklamasikan pada 17 Mei 1949. Ada pula yang mengusulkan di Pelaihari. Ada yang mengusulkan lokasinya di Km. 17 Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar. Bahkan ada pula yang menolak perpindahan perkantoran atau pun ibukota dengan sejumlah alasan yang disodorkan.

Ketika kajian selesai dilaksanakan, tim peneliti dibuat sibuk dengan berbagai sanggahan ataupun pertanyaan yang yang muncul di berbagai pertemuan baik saat ekspose laporan akhir, rapat-rapat di DPRD Provinsi, ataupun memenuhi sejumlah sejumlah pertemuan forum diskusi yang dilaksanakan oleh sejumlah kalangan. Ada satu hal yang mengemuka bahwa kala itu banyak yang mengira bahwa hasil kajian merekomendasikan perpindahan ibukota provinsi, padahal yang dipindah adalah perkantoran. Hasil kajian perpindahan perkantoran pemerintah provinsi merupakan salah satu tahapan untuk rencana perpindahan ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Skenarionya adalah: untuk memindah ibukota maka yang perlu dipindah terlebih dahulu adalah perkantorannya.

Pembangunan Gedung Perkantoran

Dari beberapa pertemuan yang sempat penulis ikuti bersama perwakilan  SKPD yang akan dibangun gedung kantornya, didapat penjelasan dan penyampaian draft desain kantor SKPD oleh konsultan dan Dinas PU Provinsi Kalsel di Banjarmasin bahwa  kompleks kantor gubernur di Banjarbaru nantinya akan mengadopsi simbol-simbol arsitektur budaya Banjar.

Penjelasan  itu cukup melegakan, karena  berarti pemerintah daerah dan konsultan perencana sudah menyerap aspirasi masyarakat, khususnya para budayawan Banjar yang beberapa tahun silam pernah  menyuarakan kegelisahannya di ranah seminar, diskusi, dan media  massa berkaitan dengan parahnya tingkat distorsi budaya arsitektur Banjar, lantaran tergerus oleh kemajuan zaman dan faktor ketidakberpihakan pengambil keputusan (desicion maker) dan konsultan yang lebih suka mengadopsi simbol-simbol arsitektur budaya daerah lain dalam  pembangunan sarana publik di Kalimantan Selatan.

Bangunan induk tempat gubernur berkantor didesain mengadopsi arsitektur Rumah Banjar Bubungan Tinggi, karena pejabat Kalsel Satu dianalogikan sebagai raja  yang pada masa kesultanan Banjar dahulu memang bertahta di rumah Banjar Bubungan Tinggi. Begitupula dengan tipe rumah Banjar lainnya seperti Gajah Baliku, Palimbangan, Palimasan, dan tipe rumah lainnya diupayakan dapat diaplikasikan pada bangunan organisasi perangkat daerah.

Barangkali yang tidak terealisasi adalah penggunaan nama-nama khas Banjar baik tokoh historis, dari budaya atau tanaman khas  Banjar untuk penamaan jalan dalam kawasan perkantoran di Banjarbaru, karena pada kenyataannya kemudian nama-nama jalan banyak mengambil kosa kata praja: bangun praja, darma praja, bangun praja, abdi praja, karya praja dll, yang oleh sebagian pihak  terkesan mirip sehingga membingungkan untuk dicari titik lokasinya apalagi jika tidak menggunakan aplikasi google maps. Bagaimana pendapat sampeyan?

Melawan Lupa (1) : Jejak Perpindahan Ibukota Kalsel ke Banjarbaru

Maret 12, 2022

Oleh Wajidi

Kota Banjarbaru resmi menggantikan Kota Banjarmasin sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Penetapan tersebut tercantum dalam UU Provinsi Kalimantan Selatan yang disahkan DPR-RI tanggal 15 Februari 2022 yang lalu. Pada bab II pasal ke-4 undang-undang tersebut dinyatakan  ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarbaru.

Meski oleh sebagian kalangan, perpindahan itu dikesankan mendadak dan diam-diam, keinginan untuk melakukan pemindahan pusat pemerintahan Kalimantan Selatan  dari kota Banjarmasin ke kota Banjarbaru tidaklah  timbul secara seketika tetapi melalui proses sejarah yang panjang dan lama.

Banjarbaru. Sumber: wikipedia

Dirintis sejak tahun 1950-an

Permasalahan kesehatan lingkungan sebagai salah satu alasan pemindahan kantor Gubernur ke Banjarbaru, sebenarnya sudah ada sejak tahun 1950-1953 yakni ketika Gubernur kedua Provinsi Kalimantan dijabat oleh dr. M. Murdjani, seorang dokter lulusan STOVIA tahun 1932.

Sebagaimana dikutip dari tulisan Anggraini Antemas “Mutiara Nusantara Seri Kalimantan Selatan” yang terbit tahun 1988, bahwa sebagai seorang dokter yang memahami keterkaitan kondisi lahan Banjarmasin dengan kesehatan lingkungan saat itu, ditambah pengalamannya sebagai Gubernur Jawa Barat berkedudukan di Bogor (1946) dan Gubernur Jawa Timur berkedudukan di Surabaya (1947), dr. M. Murdjani menganggap kondisi lingkungan kota Banjarmasin tidak layak sebagai ibukota provinsi dan merencanakan pemindahannya ke daerah Gunung Apam, Banjarbaru sekarang, yang meski mendapat tantangan dari masyarakat, akhirnya dibenarkan manfaatnya.

Di tanah lapang Merdeka Banjarmasin ketika Bung Karno di dampingi dr. Murdjani (Gubernur Kalimantan) berpidato di depan rakyat berpuluh ribu banyaknya. Foto: Koleksi Wajidi

 

Artum Artha dalam bukunya “Album Pembangunan Kalimantan” yang terbit tahun 1975 menyebutkan bahwa rencana pemindahan ibukota provinsi ke Banjarbaru berupa penyiapan kantor pemerintahan dan perumahan pegawai merupakan salah satu dari tiga Agenda Murdjani (Murdjani Plan). Dua agenda lainnya adalah pengelolaan sumber daya air (sungai dan rawa) dalam bentuk pembuatan anjir, waduk, dan penataan lingkungan air/rawa untuk memberantas penyakit malaria, dan agenda untuk meningkatkan sarana dan kualitas pendidikan rakyat di Kalimantan.

Presiden Soekarno didampingi Gubernur Kalimantan dr. Murdjani (kiri) dan Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala (kanan) saat berada di lapangan Merdeka Banjarmasin tanggal 13 September 1950  sore. Tampak di belakang berdiri, Zainal, wartawan. Foto: Koleksi Wajidi

Meski Agenda Murdjani itu menimbulkan pro dan kontra saat itu sebagaimana tercermin pada  pemberitaan surat kabar Suara Kalimantan, edisi 1 September 1953;  rencana Murdjani untuk memindahkan ibukota  Provinsi dari Banjarmasin ke Banjarbaru terus dilanjutkan oleh gubernur berikutnya, yakni Raden Tumenggung Arya Milono, Gubernur ketiga Provinsi Kalimantan          (1953-1957).

Sebagaimana ditulis oleh Artum Artha bahwa  untuk mendukung penyiapan Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan yang akan dibentuk kemudian (Provinsi Kalimantan Selatan dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Kalbar, Kalsel, dan Kaltim) Gubernur RTA Milono telah berhasil membangun beberapa sarana perkantoran di Banjarbaru, di antaranya: gedung Kantor Gubernur, Kantor Pekerjaan Umum, Kantor Pertanian Rakyat, Kantor Perindustrian Rakyat, dan Kantor Perikanan Darat.

Kronologis Peristiwa

  1. Pada tahun 1950-1953, saat ibukota Provinsi Kalimantan masih berada di kota Banjarmasin, Gubernur kedua Provinsi Kalimantan yaitu dr. Murdjani menyatakan bahwa kota Banjarmasin tidak layak menjadi ibukota Provinsi Kalimantan karena faktor lingkungan yang tidak sehat.  Pada waktu itu Gubernur Murdjani memulai mempersiapkan pembangunan fasilitas perkantoran dan perumahan Provinsi di Kota Banjarbaru.  Pembangunan juga diikuti oleh instansi vertikal yang membangun kantor wilayah.
  2. Tahun 1954, Gubernur ketiga Provinsi Kalimantan yaitu RTA Milono membuat surat dengan Nomor: Des-19930-41 tertanggal 9 Juli 1954 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri tentang pengusulan agar Menteri Dalam Negeri RI menyetujui penetapan kota Banjarbaru  sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan yang akan dibentuk kemudian.
  3. Pada tanggal 29 Juni 1957 Dewan Pemerintah Daerah Peralihan Tingkat I Kalimantan Selatan membuat surat yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja dan Menteri Keuangan dengan surat Nomor: 01-11-1 yang memberikan dukungan terhadap surat Gubernur KDH Tingkat I Kalimantan Selatan kepada Menteri Dalam Negeri No: Agr-593-6-7 tanggal 18 Mei 1953 untuk membangun kota Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.
  4. Pada tanggal 10 Desember 1958, DPRD Tingkat I Kalimantan Selatan mengeluarkan resolusi Nomor: 261/DPRD/1958 yang mendesak Pemerintah Pusat agar dalam waktu dekat untuk menetapkan kota Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.
  5. Pada tanggal 27 Juli 1964, DPRD-Gotong Royong Tingkat I Kalimantan Selatan mengulangi lagi resolusinya dengan Nomor: 18a/DPRD-GR/Res/1964 yang menuntut: (a) Direalisasikannya Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan; (b) Memberi wewenang kepada Gubernur KDH Kalimantan Selatan untuk membentuk panitia guna mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan upaya peningkatan Kecamatan Banjarbaru menjadi Dati II/Kotapraja.  Hal ini didukung oleh resolusi DPRD Tingkat II Kabupaten Banjar Nomor: 58/DPRD-GR/Res/1965.
  6. Tanggal 27 Juni 1965 Menteri dalam negeri Dr.Sumarno setelah melakukan peninjauan ke kota Banjarbaru, pada prinsipnya menyetujui Kecamatan Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, namun tidak diwujudkan dalam tindakan hukum (actual legal deed).
  7. Menanggapi tanggapan Menteri Dalam Negeri, Gubernur KDH Kalimantan Selatan dengan Keputusan Nomor: 58/1/I-101-110 membentuk Kantor Persiapan Kotamadya Banjarbaru yang diresmikan tanggal 26 Mei 1966.
  8. Dengan Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Kalimantan Selatan Nomor: 29/1-1-103-526 tanggal 8 Juli 1969 Kota Administratif Banjarbaru memiliki wilayah: (a) Kampung Banjarbaru, Sungai Besar, Sungai Ulin dan Loktabat (Kecamatan Banjarbaru); (b) Kampung Cempaka dan Bangka: (Kecamatan Cempaka); (c) Kampung Landasan Ulin dan Guntung Payung (Kecamatan Landasan Ulin).
  9. Tanggal 20 April 1999 lahir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Banjarbaru yang mendukung untuk menjadi ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.
  10. Pada saat Gubernur KHD Kalimantan Selatan dipegang oleh                Drs. H.Hasan Aman, telah dilakukan kegiatan: (a) Penerbitan Keputusan Gubernur KDH Kalimantan Selatan tentang pembentukan panitia persiapan pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru; (b) Tersusunnya site plan Kawasan Perkantoran Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan dengan luas 201 Ha di Kota Banjarbaru pada tahun 1999.
  11. Pada tahun 1999 dilakukan Studi Kelayakan Rencana Pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan yang dilakukan oleh Konsultan PT Wiratman dan Associates, ada tiga lokasi yaitu Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru dan Kecamatan Pleihari, dan diperoleh Kota Banjarbaru sebagai rencana ibukota terpilih.
  12. Perda nomor 9 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan (halaman IV-23 dan IV-24) menyebutkan pemindahan Pusat Kantor Pemerintahan ke Banjarbaru. Hal ini ditegaskan dalam Laporan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan 2005-2020 (halaman IV-18). Visi dan Misi Gubernur terpilih 2005-2010 yang tertuang dalam RPJM Provinsi Kalimantan Selatan 2006-2010 menyebutkan prioritas pembangunan 2006-2010 adalah mempersiapkan dan merealisasikan proses pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
  13. Pada tahun 2003, DPRD Kabupaten/Kota: Hulu Sungai Utara, Tabalong, Barito Kuala, Kotabaru, Tanah Laut, Hulu Sungai Tengah, Banjar, Tapin dan Banjarbaru serta Bupati-bupati Banjar, Barito Kuala, Hulu Sungai Utara dan Tabalong secara prinsip mendukung rencana pemindahan ibukota.
  14. Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 032 Tahun 2005 tentang RPJM Provinsi Kalimantan Selatan 2006-2010 menyebutkan bahwa prioritas pembangunan tahun 2006-2010 adalah: Mempersiapkan dan merealisasikan proses pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru.
  15. Pada tahun 2005 telah dilakukan kegiatan penelitian alternatif lokasi kawasan perkantoran di Kota Banjarbaru.  Pada tahun tersebut juga telah dibentuk Tim Pembangunan Kawasan Perkantoran Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor: 0399 Tahun 2005, sebagai Ketua adalah Asisten I Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Bidang Administrasi.
  16. Pada tahun 2006 disediakan dana melalui APBD Kalimantan Selatan untuk kegiatan: (a) Penyusunan Rencana Tapak Kawasan Perkantoran Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru; (b) Penyediaan Tanah untuk Kawasan Perkantoran Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan; (c) Kajian Komprehensif Pemindahan Kantor Gubernur Dalam Rangka Persiapan Perpindahan Pusat Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Banjarbaru.
  17. Direncanakan tahap-tahap kegiatan berikutnya yaitu: (a) Rencana Desain Bangunan; (b) Pembangunan Fisik; (c) Legalisasi Penetapan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.
  18. Pemindahan Ibukota Provinsi dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru terus bergulir. Sebagai program legislasi, RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan telah diusulkan pada tanggal 1 September 2021.Kemudian RUU itu disahkan oleh  DPR-RI tanggal 15 Februari 2022 yang memuat penetapan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarbaru. RUU yang disahkan ini menggantikan Undang-undang nomor 25 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Kartini Banjar Minim Publikasi

Juni 12, 2021

Oleh Wajidi

Raden Ajeng Kartini seorang priyayi Jawa adalah simbol kekuatan intelektual. Pemikiran dan luahan cita-citanya melalui korespondensi dengan teman-temannya di Eropa, yang dirangkum Jacques Abendanon  menjadi buku berjudul: Door Duisternis tot Licht  (Dari Kegelapan Menuju Cahaya), teramat melampaui zaman.

Keluasan wawasan dan ketajaman pemikiran R.A. Kartini didukung oleh kecerdasan dan pendidikan yang ia tempuh di ELS (Europese Lagere School), sehingga ia mampu berbahasa Belanda dengan baik. Kemampuan mengakses produk print capitalism (kapitalisme cetak) seperti surat kabar dan majalah menjadikan ia berwawasan luas,   mengenal dunia lain di luar tanah Hindia, dan memiliki pola pikir yang lebih maju dibanding dengan kebanyakan perempuan waktu itu.

Meski ia kemudian dipingit, ia masih bisa surat menyurat dengan teman-teman Belanda-nya di Eropa. Melalui suratnya itu, nalar dan gagasannya menembus kungkungan sekat tradisi. Raga memang terkurung, namun jiwanya tidak. Batinnya  memberontak melihat nasib kaum perempuan.  Tak mengherankan, sudah sejak masa Hindia Belanda, sosok RA Kartini sudah  dihormati sebagai pahlawan emansipasi wanita, tak terkecuali di Borneo bagian Selatan.

Rukun Keputrian Parindra di Banjarmasin. Duduk di tengah-tengah Gusti Noorsehan Johansyah didampingi pengurus Keputrian, dengan latar belakang foto ibu Kartini; pelopor pergerakan emansipasi kaum perempuan.

Kartini Banjar

Tanah Jawa merupakan kiblat pergerakan kebangsaan Indonesia. Tak mengherankan cabang Parindra hadir di Borneo Selatan.  Salah satu onderbouw Parindra adalah Rukun Keputrian Parindra di Banjarmasin yang dipimpin oleh Ny. Gusti Noorsehan Johansyah (isteri Merah Johansyah bin Merah Nadalsyah). Beliau  bersama ibu-ibu pengurus Keputrian, menjadikan R.A. Kartini sebagai tokoh panutan, foto Kartini dipajang di markas organisasi.  Abdul Muis, fotografer didikan Hashimoto si intel Jepang, sempat mengabadikan anggota Parindra yang berpose pada peringatan Hari Lahir Kartini di depan Markas Parindra Cabang Barabai dengan papan hitam bertulisan  “Hari Peringatan Almarhoem R.A. Kartini, Barabai 23-4-‘39”.

Selain Gusti Noorsehan, ada beberapa  tokoh wanita pergerakan lainnya seperti  Ny. Masiah, Ny. Sosodoro Jatikusomo, Ny. Fatimah (isteri Hadhariyah M), Ny. Hj. Fatmah Sakerani, Ny. Siti Syahrijat, Ny. Aisyah, Ny. Aluh Idut, Mastora, dan lainnya. Mereka adalah “Kartini Banjar” yang tak kalah hebat  dengan kaum pria  dalam pergerakan, namun sangat disayangkan peran mereka sangan minim publikasi. Kecuali Aluh Idut, hampir tidak ada nama Kartini Banjar yang terpatri dalam monumen. Kondisi ini berkelindan dengan pengetahuan masyarakat di Kalimantan Selatan yang memang sangat minim terhadap tokoh sejarah dari kalangan perempuan.  Di beberapa pusat studi gender kering kajian tentang pergerakan perempuan Banjar.

Peran perempuan di luar peran tradisionalnya misalnya sebagai aktivis pergerakan, guru, tuan guru, penulis, atau pejuang gerilya, bukan seputaran dapur, sumur, dan kasur, belum banyak muncul dalam panggung sejarah Borneo  bagian Selatan. Apa pasal? Ada  beberapa hal yang melatarbelakanginya, yaitu: (1) Karena memang aktor sejarah lebih banyak diperankan oleh kaum pria, (2) Dalam realitas sejarah memang hanya segelintir tokoh perempuan aktif dalam pergerakan karena faktor kungkungan tradisi, penddikan dan kebebasan dibatasi, dan mispersepsi ajaran keagamaan (suara wanita dianggap aurat) dll, (3) Dari beberapa nama tokoh perempuan hanya hanya segelintir yang menjadi  subjek penulisan, misal: Aluh Idut pernah jadi skripsi, Ratu Zaleha dan Fatmah Sakerani dalam karya Anggraini Antemas, selebihnya lebih berupa bagian dari tema yang lebih besar misal dalam Perang Banjar, pergerakan, dan revolusi kemerdekaan.

Minim Publikasi

Dalam Hikayat Banjar kita memang mengenal nama Putri Junjung Buih. Namanya melekat sebagai tokoh perempuan, isteri Pangeran Suryanata, putera Majapahit, Raja Kerajaan Negara Dipa. Ketokohan putri ini  berbalut mitos. Keberadaanya dirasakan ada, namun terbuktikan tidak.

Pada masa perkembangan Islam kita mengenal nama Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad al Banjari yang memberikan pengajaran (guru) bagi murid perempuan yang ingin belajar agama, dan Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis yang mencatat hasil pengajian kakeknya sehingga menjadi Kitab Parukunan. Pada masa Perang Banjar kita mengenal nama Kiai Cakrawati, Saranti, Bulan Jihad, Ratu/Gusti Zaleha,  namun hanya ditulis sekilas sebagai bagian cerita Perang Banjar.

Pada masa pergerakan kebangsaan kita mengenal pula nama Ny. Masiah  Pemimpin Perserikatan Dunia Isteri dibawah Sarekat Islam (isteri Mohamad Horman  Presiden SI) yang telah bersurat dengan R. Ajoe Tjokroaminoto (Presiden SI Wanodya Oetomo)  antara lain surat dari R. Ajoe bertanggal  23 April 1923.  SI Dunia Isteri dapat dipandang sebagai organisasi kewanitaan yang tertua di Kalimantan Selatan. Meski bukan sebagai sebuah organisasi yang berdiri sendiri. SI Dunia Isteri turut menyokong pergerakan kaum perempuan, khususnya bagi para isteri yang suaminya menjadi tokoh  dan anggota organisasi  SI.

Kembali dengan nama Ny. Gusti Noorsehan Johansyah. Tokoh wanita yang oleh Majalah Femina disebut “Kartini” dari Kalimantan Selatan,   pernah menjadi ketua Rukun Isteri di Barabai. Bersama ibu-ibu lainnya seperti Fatimah (isteri Hadhariyah M) yang tergabung dalam Rukun Keputrian Parindra ikut aktif mendirikan Huishoudschool yaitu sekolah khusus perempuan untuk mengasah keterampilan mengurus rumah tangga. Pada masa Jepang aktif di Fujin-Kai, dan pada masa revolusi kemerdekaan, Ibu Noorsehan aktif sebagai Ketua kelompok wanita bernama PERTIWI (Persatuan Tindakan Wanita Indonesia).

Ada pula perempuan bernama Ny. Siti Syahrijat dari Kandangan yang memberanikan diri berpidato di rapat terbuka (openbare) di los Getah, pasar Barabai. Menurut informasi seorang perintis kemerdekaan (Abdul Manap Uhuk). Siti Syahrijat menjadi salah seorang wanita yang tidak kenal takut berpidato dengan lantang di muka umum pada masa penjajahan. Isi pidatonya bertujuan membangun semangat kaum perempuan, membangkitkan kegairahan dan menyadarkan kaum ibu serta mengajak mereka agar tidak hanya bekerja di dapur  yang semata-mata memasak dan memelihara anak di rumah, akan tetapi perempuan  juga harus   bangkit dan mengikuti jejak langkah kaum pria  di dalam menentukan langkah nasib bangsa di kemudian hari, sesuai dengan kemampuannya sebagai seorang perempuan.

Nama lainnya adalah Ny. Aisyah (isteri A.A. Hamidhan) pengasuh rubrik hari Sabtu bernama ”Soeara Iboe Kalimantan” (disingkat S.I.K). Siti Aisyah adalah juga seorang  guru HIS Partikelir. Dalam rubrik beliau punya nama samaran Sri. Rubrik Suara Ibu Kalimantan berisi informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengankewanitaan, seperti pengetahuan masak-memasak, pengetahuan kerumahtanggaan dan sebagainya.  Pada  salah satu terbitan  surat kabar Soeara Kalimantan edisi Sabtu, 7 Februari 1942 halaman 3 ada memuat rubrik “Soeara Iboe Kalimantan” di bawah pimpinan SRI. Rubrik S.I.K edisi tersebut memuat informasi dengan judul: “Kewadjiban Kaoem Iboe Diwaktoe Sekarang”. Isinya berisi anjuran kepada para ibu agar bagaimana di saat suasana genting akibat Perang Pasifik dapat mempergunakan pikiran dan segenap tenaganya untuk keselamatan rumah tangganya serta keluarganya. 

Di  Amuntai dikenal seorang aktivis pergerakan bernama Hj. Fatmah Sakerani yang juga guru berbagai sekolah seperti Kweekling, kepala sekolah di Volkschool-Putri  Kandangan, mendirikan Bustanul Athfal di Amuntai, aktif di Fujin-Kai, Wanita PRI, Seksi kewanitaan di SKI, dll.  Nama lainnya adalah Ibu Guru Amas (Siti Masari) salah seorang keturunan Danuraja guru sekolah rakyat tahun 1929, anggota organisasi Kaum Ibu, sesudah merdeka sebagai anggota Perwari

Di Kandangan, ada sebuah jalan bernama Aluh Idut (Aluh Kaderi). Nama asli beliau Siti Warkiah. Semasa hidup aktif sebagai anggota PBI, Parindra, dan pada tahun 1935 bersama Ny. Rahmah Bahran mendirikan Jam’iyyatun Nisa sebuah organisasi kewanitaan di bawah Musyawaratutthalibin, aktif  pula dalam Fujin-Kai, anggota BPPKI (Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia), anggota SKI, anggota Gappika, dan pernah dijebloskan ke penjara serta disiksa Belanda sampai cacat.

Kartini Banjar memang lebih banyak bergerak di bidang politik, namun ada pula yang bergerak di perjuangan bersenjata, seperti Mastora, tentara wanita anggota ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang bertempur di garis depan. Namun banyak pula yang berperan di garis belakang seperti di dapur umum, termasuk  Ibu Sa’diah yang mahambin Hassan Basry, tokoh gerilya ALRI Divisi IV,  dalam lanjung dari Mandapai ke Tabihi. Atau  bisa pula disebut nama Rochanah, janda Bahtiar Komandan Sektor Z-61 Pagat Barabai yang gugur. Beliau tampil  memimpin 20 orang laskar wanita binaan Norman “Trikesuma” di Pancur Mangumbi Pagat Barabai.

Peran perempuan di luar peran tradisionalnya seperti sebagai anggota pergerakan, guru sekolah, dan pelajar sangat dipengaruhi oleh politik etis berupa munculnya sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah partikelir berbasis nasionalis  dan keagamaan  yang dikelola oleh berbagai organisasi pergerakan seperti SI, Parindra, Muhammadiyah, NU, Musyawaratutthalibin, dan lain. Banyak tokoh pergerakan yang dalam aktivitasnya dibantu oleh para  isteri.

Gusti Noorsehan bin Gusti Muhammad Said dalam memoarnya mengatakan bahwa seperti gadis pada umumnya waktu itu ia dipingit, kebebasan dibatasi, ia hanya sekolah sampai selesai HIS. Keterlibatannya dalam pergerakan karena ia dinikahkan ayahnya dengan Merah Johansyah bin Merah Nadalsyah gelar gelar Sutan Indrajati, yang kebetulan adalah pemuda terdidik lulusan OSVIA, seorang pamongpraja namun kerapkali berseberangan dengan pemerintah. Dari suaminya itulah Gusti Noorsehan belajar politik dan akhirnya total sebagai aktivis pergerakan sejak masa Hindia Belanda sampai era sesudah kemerdekaan, namun seperti halnya tokoh wanita lainnya, aktivitas beliau minim publikasi, dan dikuatirkan kelak akan terhapus dari catatan sejarah. *Tulisan ini terbit di Opini Banjarmasin Post, Rabu 21 April 2001.

Jerat Pasal Karet Masa Kolonial Belanda

Maret 3, 2021

Oleh Wajidi

Sembilan Pasal dalam UU ITE (Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) kini diperdebatkan untuk kembali direvisi karena mengandung pasal karet. Adanya pasal karet itulah  yang sejauh ini telah menjerat 94 orang karena antara lain akibat komentar di media sosial. Alih-alih untuk mewujudkan keadilan,  ketertiban umum, dan kepastian hukum terkait informasi dan transaksi elektronik,  pasal karet  dalam UU ITE ditengarai telah menjadi senjata para pihak yang anti kritik, membungkam para pihak yang berseberangan, dan yang paling prinsif adalah mengebiri kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Ada yang merasa takut mengeluarkan kritik kepada pemerintah karena kuatir dipolisikan, takut distigma radikal, menyebar ujaran kebencian, dilaporkan dan ujung-ujungnya dipenjara. Tak tanggung-tanggung, tokoh sekaliber ekonom Kwik Kian Gie mengungkapkan kegundahannya: “saya belum pernah setakut saat ini mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif”. Atau Prof. Salim Said yang mengaku kerap menahan diri bicara karena takut. Bapak Presiden Joko Widodo merespon kegundahan banyak pihak dengan mengajak DPR untuk merevisi kembali UU ITE.

Diksi Kolonial

Pasal karet merupakan diksi kaum pergerakan untuk pasal multitafsir dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) masa Hindia Belanda. Disebut “pasal karet” karena beberapa pasal dalam KUHP itu mempunyai konotasi arti dari perkataan-perkataan yang dipergunakan tidak mengandung makna pasti tetapi bersifat elastis sehingga dapat diterapkan sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh penguasa guna mengatasi pelbagai kasus yang merugikan atau mengancam sistem kolonial Pasal-pasal dimaksud diantaranya: Pasal 153 bis; Pasal 153 ter; Pasal 161 bis; dan Pasal 171 bis.

KUHP Hindia Belanda memberikan ancaman hukuman yang cukup berat terhadap penyiaran kata-kata, surat, gambar, secara langsung atau tidak langsung, secara terbuka atau sembunyi-sembunyi, gagasan yang bertujuan mengacaukan ketertiban dan ketenteraman dan mendesak kejatuhan pemerintah Hindia Belanda, atau secara terang-terangan  melahirkan rasa permusuhan, kebencian, atau kritik terhadap pemerintah. Pasal-pasal karet menjadi amunisi Pemerintah Hindia Belanda untuk menindak perkumpulan yang asas tujuannya dirahasiakan, begitupula perkumpulan  yang bermaksud hendak merobohkan pemerintah (gezag) atau yang bermaksud mengganggu ketenteraman hidup masyarakat.  Agar tidak terkena persdelic dan delik bicara, para aktivis pergerakan mesti hati-hati memuat tulisan dan dalam menyelenggarakan rapat seperti Rapat Terbuka (openbaar vergadering), “Rapat Di bawah Langit” (openlucht vergadering), dan Rapat Tertutup (besloten vergadering).  Mereka harus mengikuti aturan, dan pastinya polisi PID (Politieke Inlichtingen Dienst) senantiasa hadir untuk memantau gerak-gerik dan pembicaraan.

KUHP ini dilengkapi dengan Ordonansi Pers (Persbreidel Ordonantie) tahun 1931 dan Ordonansi  Pengawasan Pers tahun 1937 yang berisi  kekuasaan mutlak  kepada pemerintah untuk menutup  sementara waktu penerbitan surat kabar, tanpa proses hukum, demi tegaknya hukum dan ketertiban. Sementara terhadap pegawai negeri (ambtenaar), Gubernur Jenderal mengeluarkan Muilkorf-Circulaire atau Sirkuler-Pemberangusan yakni surat edaran Gubernur Jenderal bertanggal 27 September 1919 yang berisi larangan bagi pegawai  pemerintah untuk mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tertulis yang dapat merongrong kekuasaan pemerintah.

Pasal-Pasal 153 bis  berbunyi: “Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran untuk mengganggu keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”. Perkataan-perkataan yang bersifat karet pada pasal itu, yaitu ‘menyindir’, ‘samar-samar’ dan ‘mengganggu keamanan umum’.

Pasal 153 bis sifat karetnya sama dengan isi pasal 153 ter yang berbunyi:  “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang memuat pikiran seperti dimaksud dalam pasal 153 bis dapat dihukum penjara maksimum 5 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”. Pasal 153 ter, seringkali khusus ditujukan pada para penanggungjawab media massa (termasuk redaktur) yang tidak menyebutkan nama penulis atau samaran.

SK Pantjaran Berita 4 Agustus 1936 mengungkapkan, bahwa di dalam Volksraad (Dewan Rakyat), Pasal 153 bis dan ter ini seringkali didebat para anggota dewan yang pro pergerakan, namun pemerintah tetap bergeming. Mereka  mengatakan, artikel tersebut sangat merugikan karena terlalu bersifat karet, mengkritik cara pemeriksaan, dan penahanan yang lama karena alasan yang dibuat-buat. Berdasar data  statistik di Departement van Justititie, kalau sudah dinyatakan terjerat pasal karet tidak ada satu persen pun  yang lepas dari pasal karet itu. Tak jarang wartawan yang yang ditahan karena melanggar pasal 153 bis dan ter mengalami kekerasan fisik.

Korban Pasal Karet

Kaum pergerakan di Kalimantan Selatan tidak luput dari jeratan pasal karet. DiantaranyaH. Ahmad Darmawi,  tokoh Parindra cabang Kandangan. Ia dijerat  pasal karet lantaran sering menulis artikel yang bersifat politik melalui Mingguan Pembangunan Semangat. Ia dituduh persdelict dan  dijatuhi hukuman penjara 3 tahun oleh Landraad Kandangan. Upaya Mr. Rusbandi, selaku  Komisaris Daerah Parindra dan pembela tidak berhasil meyakinkan hakim kolonial, sehingga H. Ahmad Barmawi dikirim ke penjara Sukamiskin di Jawa Barat.

Pasal karet juga menjerat para pimpinan Parindra cabang Amuntai karena  mereka membuat mosi menentang  peraturan Heeren Dienst (erakan, rodi atau kerja paksa) atas penduduk lelaki berusia 45 tahun ke atas. Pemenjaraan itu telah memunculkan demonstasi (openlucht vergadering) yang diikuti ribuan orang ke kantor Kontrolir Amuntai untuk menuntut pembebasan rekan mereka. Namun oleh Pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai usaha untuk memberontak.  Pimpinan demontrasi H. Amir, Edwar Sandan, H. Morhan, H. Seman, dan Abdulhamidhan diseret ke pengadilan dengan tangan dirantai. H. Morhan ditangkap di Surabaya kemudian dijatuhi hukuman penjara 2 tahun 6 bulan, dan bersama Abdulhamidhan yang divonis 1 tahun dikerjapaksakan di  Penjara Ampah (Kalimantan Tengah), sedangkan H. Amir dan Edwar Sandan masing-masing dikenakan penjara 2 tahun dan dikirim ke penjara Sukamiskin, Jawa Barat.

Keluarga Edwar Sandan paling menderita di balik peristiwa itu. Ketika mendengar Edwar Sandan akan dikirim ke penjara Sukamiskin, isterinya yang mengandung tua menyusul ke Banjarmasin menumpang kapal sungai. Setelah kembali ke rumahnya di Tangga Ulin, isterinya itu meninggal dunia setelah melahirkan anaknya. Karena penderitaan hidup yang tak tertahankan tanpa memiliki kedua orang tua, maka puteri sulungnya menderita sakit jiwa sehingga tidak dapat meneruskan merawat adik-adiknya yang masih kecil itu. Sementara itu,  diberitakan pula Edwar Sandan meninggal dunia dalam masa menjalani hukumannya di Penjara Sukamiskin, Jawa Barat.

Nasib serupa juga dialami oleh Hadhariyah  M, Ketua Cabang Parindra Banjarmasin yang oleh Belanda telah dicap sebagai seorang “Hollander Hater” (Pembenci Belanda) dalam tulisan-tulisan politiknya.  Beliau telah menjadi korban delik bicara dalam suatu rapat umum Parindra di Barabai dengan tuntutan melanggar pasal 151 bis.  Hadhariyah membahas bahwa belanja hidup seekor anjing yang ditangkap dan dikurung oleh polisi Belanda di Surabaya karena tanpa penning adalah sebesar f. 50 sehari yang kelak harus dibayar oleh sang punya anjing itu. Sedangkan belanja hidup seorang rakyat Indonesia, cukup sebenggol atau 2,5 sen sehari. Bayangkan kata Hadhariyah M, betapa ambruk martabat hidup dan betapa miskinnya rakyat Indonesia di Hindia Belanda. Di tanah airnya sendiri. Karena ucapannya itu, maka ditangkaplah Hadhariyah M dan diganjar hukuman penjara selama 3 bulan dan membayar denda f. 100.

  Lebih lanjut Hadhariyah M menceritakan bahwa  pada saat beliau  M ingin berangkat ke Surabaya untuk menghadiri Konferensi Besar Parindra di Surabaya, maka pada tanggal 17 Juni 1941 dalam kesibukan persiapan keberangkatan, beliau ditangkap dan didakwa melanggar pasal-pasal  156, 157, dan 193  bis.  Pelanggaran itu terjadi, karena Hadhariyah M telah menulis sebuah roman politik yang berjudul “Suasana Kalimantan” dan diterbitkan di Medan dengan judul “Tersungkur Di Bawah Kaki Ibu”. Tulisan itu dianggap pemerintah bertendensi politik , melakukan persdelict, sehingga dijatuhi vonis 4 tahun penjara.

 Setali tiga uang dengan Hadhariyah M, jeratan pasal karet juga dirasakan seorang ambtenaar bernama H. Ali Baderun yang juga Ketua Parindra cabang Barabai. Ia megalami delik bicara pada Parindra tahun 1939. Ia ditangkap dan oleh Landraad Kandangan yang bersidang di Barabai, H. Ali Baderun dijatuhi hukuman 2 tahun penjara, meski sudah berupaya mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Surabaya. Tidak hanya itu, jabatan H. Ali Baderun dalam pemerintahan sipil dicabut dan sesudah itu beliau  diberhentikan sama sekali sebagai pegawai negeri sipil.

Salah seorang wartawan  yang pernah mengalami persdelict adalah A.A. Hamidhan. Selama hidupnya A.A. Hamidhan pernah mengalami tiga kali masuk penjara karena Persdelict, yakni  Strafgevangenis Cipinang (dahulu Meester Cornelis) di Jatinegara selama 2 bulan karena persdelict waktu bekerja di surat kabar Bendahara Borneo di Samarinda (1930), penjara Banjarmasin (kini Gedung Pos Besar Banjarmasin Jalan Lambung Mangkurat) selama 6 minggu karena Persdelict Soeara Kalimantan (1932), kemudian di tahun 1936 masuk lagi selama 6 bulan di penjara Banjarmasin.

Wartawan Aam Niu dalam Majalah Dwikala ARENA Medan No. 2 Tahun IV Februari 1948 memuat kisah Yusni Antemas  wartawan Terompet Rakyat. Beliau  yang oleh Belanda diberikan julukan “Ektremis Berbulu Wartawan”, karena selain anggota Gerpindom beliau adalah juga wartawan Terompet Rakyat yang  dengan tulisan-tulisannya yang tajam terasa memekakkan telinga pemerintah NICA-Belanda.  Akibatnya  beliau  dipanggil dan diminta untuk menghentikan kegiatannya sebagai wartawan. Iming-iming fasilitas dari  Pemerintah Belanda agar  bersedia menghentikan penerbitan harian Terompet Rakyat beliau  tolak sehingga berakibat kepada pemukulan yang dilakukan oleh militer Belanda  terhadap Yusni Antemas. * Tulisan ini terbit di SK Banjarmasin Post, Rabu 3 Maret 2021 dengan judul “Pasal Karet di Masa Kolonial Belanda”.

Bahasa Revolusi: Haluan Media dan Gaya Bahasa

Desember 11, 2020

Oleh Wajidi

Djongos, besok pagi saja minta tjoklat susu!” Kata2 tsb diutjapkan dengan senjum oleh Sultan Hamid II kepada pelayan Hotel de Indes (Lihat “Saja tidak kedjar pangkat” Kata Hamid II, dalam Kalimantan Berdjuang, Sabtu 3 Desember 1949 No. 865 Tahun ke IV, hlm. 1.).

Bahasa revolusi dalam berbagai medium komunikasi dapat dilihat dalam perspektif  majas. Majas adalah salah satu unsur dalam gaya bahasa. Secara teoritis, majas sebuah surat kabar sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi saat surat kabar diterbitkan serta kepentingan dari pemilik media massa itu sendiri.  Surat kabar yang diterbitkan dalam suasana aman dan tenteram tentu sangat berbeda gaya bahasanya dengan surat kabar yang diterbitkan pada masa  konflik atau perang. Begitupula majas dipengaruhi oleh kepemilikan atau kepentingan media. Surat kabar milik kolonial tentu berbeda dengan gaya bahasa surat kabar nasionalis yang republikan.  Surat kabar milik kolonial tentu menampilkan “gaya bahasa kolonial”, sebaliknya surat kabar nasional yang pro republik akan memunculkan “gaya bahasa perjuangan” atau “gaya bahasa revolusi”. Tidak hanya dalam surat kabar, bahasa revolusi juga  terdapat dalam berbagai medium komunikasi lainnya. Berikut ini penulis ulas tentang haluan media dan gaya bahasa khususnya surat kabar yang terbit pada masa perjuangan kemerdekaan di Kalimantan bagian Selatan.

Haluan dan kuasa individu atau kelompok terhadap surat kabar akan memperlihatkan isi dan gaya bahasa surat kabar. Sebagaimana dikatakan Sartono Kartodirdjo (1982) bahwa fungsi surat kabar tidak hanya berfungsi sebagai penyebar informasi melainkan juga sebagai medium untuk meletakkan pengaruh pada publik, telah memberikan ‘warna’ tertentu kepada surat kabar yang dalam studi objektif perlu diidentifikasi untuk mengungkapkan subjektivitas yang melekat pada surat kabar.

Bagi surat kabar yang menjadi corong pemerintah, golongan sosial, dan politik, subjektivitasnya mudah diketahui. Sebagai contoh majalah Malam Djoema’at adalah suara dari perkumpulan  Srie di Banjarmasin, Soeara Rakyat Kalimantan (SORAK) sebagai surat kabar Partai Ekonomi Kalimantan (PEK), surat kabar yakni “Suara M.Th atau Suara Musyawarah” sebagai corong  organisasi Musyawaratutthalibin, Soeara Parindra sebagai corong  Partai Indonesia Raya, dan Borneo Simboen sebagai  corong pemerintah pendudukan Jepang di Kalimantan Selatan, Suara SKI adalah suara Serikat Kerakyatan Indonesia, serta Terompet Rakyat dan Kalimantan Berdjuang adalah corong para wartawan Republikan di Kalimantan Selatan.

Jika pers dikendalikan oleh pemerintah, maka objektivitasnya tentu diragukan. Misalnya yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin, pers diarahkan untuk mendukung revolusi.  Presiden Soekarno, saat berpidato di Istana Negara 18 Desember 1962 dalam rangka pelantikan Badan Pengawas Kantor Berita Antara: mengatakan:

Setiap revolusi berpihak…Revolusi Indonesia juga berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia. Pemberitaan yang obyektif dalam dalam suatu revolusi sama juga dengan kemustahilan. Saya ingin agar berita yang disiarkan itu tidak obyektif, melainkan jelas-jelas berpihak kepada revolusi kita dan menghantam musuh-musuh revolusi (Togi Simanjuntak, 1988).

Sebagai corong pemerintah, partai atau kelompok tertentu dengan sendirinya dapat diketahui dengan jelas simpati dan antipatinya, sikap pro dan kontranya terhadap perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, haluan atau   latar ideologi,   latar belakang wartawan, atau penulis, keyakinan, kepentingan,  dan kuasa individu atau kelompok yang menguasai media, akan memperlihatkan  apakah media itu berhaluan keagamaan, berhaluan nasional atau kebangsaan, berhaluan kepartaian atau menyuarakan partai, netral atau atau moderat, atau tidak jelas haluannya.

Sementara dalam perjuangan kemerdekaan itu sendiri terdapat konsep dan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme yang memunculkan  kerelaan berkorban dan pantang menyerah. Sementara di pihak penjajah dengan berbagai kebijakannya sebagai  penguasa  seringkali melakukan diskriminasi, penindasan, kekejaman terhadap pribumi Indonesia. Bentuk komunikasi antara penjajah dan dijajah, antara pro dan  kontra Republik, antara pejuang bersenjata dan pejuang politik, antara ambtenaar dan inlander, antara sesama sejawat di masa perang, dan lain sebagainya terdapat berbagai gaya bahasa.

  Penjajah menyebut bangsa jajahan sebagai inlander, inheemse, budak, monyet,  anjing, jongos. Belanda menempatkan plang tulisan: Verboden toegang voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk orang pribumi dan anjing). Penjaga penjara Nusa Kambangan menyebut tahanan: monyet anjing. Terhadap pembantu atau pekerja mereka menyebut jongos, sebagaimana contoh kalimat candaan Sultan Hamid II kepada pelayan Hotel de Indes  di awal tulisan ini.

Terhadap pejuang kemerdekaan seperti ALRI Divisi IV mereka menyebut gerombolan ekstremis pengganggu ketenteraman umum atau pengacau keamanan, misalnya surat kabar Belanda, Bataviaasche Nieuwsblad  di dalam laporannya menulis Voor zover onze  berichten strekken  blijkt dat hier een bepaalde groep ageert door middel van pressie en terreur met het uitsluitend doel  den normalen gang van het  leven onderstboven te keren.  (Sebegitu jauh  berita-berita yang kita terima  ternyata  bahwa di sini bertindak  suatu gerombolan  yang tertentu  dengan melakukan tekanan  dan teror  dengan hanya bertujuan menghumbalangkan [Maksud “menghumbalangkan” di sini adalah membalikkan kondisi normal ke dalam kondisi kekacauan] jalannya penghidupan yang normal) (Lihat “TINDJAUAN KITA, Selama berpaham reaksioner” ,dalam Suara Kalimantan, Bandjarmasin, Rabu 7 September 1949, Tahun Kelima No. 231).

  Untuk mengembalikan ketenteraman umum, maka tak mengherankan mereka menamakan agresi militer Belanda I dan II dengan sebutan “Aksi Polisional I dan II” karena aksi tersebut bertujuan untuk membasmi ekstremis sehingga keamanan dan ketertiban terwujud kembali. 

Pada masa revolusi kemerdekaan sangat populer panggilan “Bung” untuk memanggil seseorang, sebagai sapaan akrab kepada seorang laki-laki. Misalnya, Bung Karno (Sukarno), Bung Hatta (Mohammad Hatta), Bung Sjahrir. Di dalam Soeara Kalimantan terdapat rubrik “Ketel Umum” yang diasuh oleh Mr. Galiur dan terkadang Bung Tjendol. Pemakaian panggilan Bung, yang juga bisa berarti abang, merupakan ungkapan hubungan personal yang bersifat egaliter atau  manifestasi kesetaraan atau kesamaaan kesetaraan derajat di alam kemerdekaan.

Majas juga berkaitan erat dengan fungsi dari media itu sendiri. Fungsi media pada masa perjuangan kemerdekaan dapat dilihat dari beragam fungsi antara lain fungsi menggerakkan, menginformasikan, meyakinkan (persuasi), mengubah, pendidikan, sosialisasi,  kontrol sosial, dan propaganda perang.

Fungsi menggerakkan terlihat misalnya saat surat kabar digunakan untuk menghimbau agar pegawai-pegawai pemerintah dan swasta melakukan pemogokan umum, agar penduduk kota mengungsi ke daerah yang dikuasai ALRI, dan agar rakyat jangan berangkat haji di tahun 1949,  dan lain sebagainya. 

Fungsi proganda perang sangat terlihat saat tentara pendudukan Jepang menggunakan Borneo Simboen sebagai medium propaganda perang. Dari berbagai fungsi itu, jelas terdapat perbedaan pemilihan kata (diksi), penekanan, kekerapan kemunculan kata. Misalnya Jepang menyanjung Kinrohosi dan romusha  dengan sebutan prajurit pekerja, padahal keduanya sama saja dengan pekerja paksa, hanya saja sebutan yang berbeda.

 Pendek kata perbedaan situasi dan kondisi politik yang dihadapi, perbedaan kepentingan dan haluan media, serta  fungsi media, akan memunculkan perbedaan gaya bahasa. Meski umpama dua atau tiga surat kabar sama-sama pro Republik, boleh jadi gaya bahasa yang dimunculkan masing-masing berbeda, karena keberadaan latar belakang wartawan dan kepemilikan media. Ada yang berkarakter idealis, kritis,  radikal, frontal dalam perjuangan sehingga wartawannya sering berurusan dengan pihak Belanda atau surat kabarnya dibreidel sebagaimana terlihat pada sosok Yusni Antemas, Hamran Ambrie,  dan Zafry Zamzam, dan ada pula yang lebih moderat, mengkritik penjajah dengan sindiran sehingga wartawan atau pemiliknya hanya mendapat peringatan.

Gaya bahasa surat kabar yang memposisikan dirinya sebagai surat kabar netral atau moderat, tentu berbeda dengan surat kabar republikan atau nasionalis yang berpihak kepada perjuangan sehingga dalam isi pemberitaan muncul bahasa-bahasa propaganda, gaya bahasa yang membakar semangat untuk berjuang, sebagaimana  terlihat dalam surat kabar-surat kabar republikan seperti Sinar Hoeloe Soengai, majalah Republik, dan Kalimantan Berdjuang. Untuk Sinar Hoeloe Soengai dan Republik dapat kita katakan gaya bahasa kedua media ini  cenderung berseberangan dengan pihak Belanda, seperti bernuansa agitasi, kritik, kontrol sosial, dan propaganda perjuangan. Buktinya kedua media ini dibreidel dan wartawannya ditangkap oleh pemerintah Belanda! Bagi surat kabar yang moderat, perkembangan kondisi politik akan mempengaruhi gaya bahasa yang dipakai dalam pemberitaan, sebagaimana terlihat dalam surat kabar Soeara Kalimantan. Pada tahun-tahun dimana pemerintah Belanda sangat berkuasa dari tahun 1946-1948 surat kabar ini menempatkan diri sebagai surat kabar yang moderat sehingga mau menerima advertensi (periklanan) dari pemerintah. Bagi pemiliknya strategi moderat adalah pilihan bijak agar tetap bertahan hidup. Dalam posisi moderat, selain menerima iklan  dari pemerintah, maka wajar gaya bahasanya cenderung lunak dan terkesan sebagai surat kabar yang pro paham federalis.Namun ketika kondisi perjuangan  politik dan militer beralih kepada pihak-pihak pro Republik, ditambah dengan adanya kritikan khususnya dari A.A. Hamidhan sebagai “pemilik pertama” nama Soeara Kalimantan, maka tampak sekali surat kabar ini mengubah haluan dari surat kabar yang sebelumnya netral dan moderat menjadi surat kabar yang cenderung  berpihak kepada Republik. Keberpihakan itu nampak dari pemberitaan, ulasan, dan gaya bahasa  yang berpihak kepada Republik. Bagaimana pendapat sampeyan?


Partai Indonesia Raya (Parindra) Cabang Kalimantan Selatan dan Timur

Agustus 6, 2020

Oleh Wajidi

Parindra merupakan organisasi pergerakan berpusat di Jawa yang mempunyai cabang organisasi di Kalimantan Selatan. Peranannya di Kalimantan Selatan belum banyak dipublikasikan. Asal mula Parindra di Kalimantan Selatan adalah organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang dibentuk pada tahun 1930.

Karena berfusinya PBI dengan Budi Utomo dan organisasi lainnya di pulau Jawa menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) di tahun 1935 maka dengan sendirinya PBI di Kalimantan Selatan menjadi Parindra.

Perjuangan Parindra di Kalimantan Selatan di antaranya: duduk dalam keanggotaan dewan legislatif (Raad), mendirikan Rukun Tani, Koperasi, Rukun Pelayaran Indonesia (Roepelin), dan
Lumbung Padi, Mendirikan organisasi Keputrian, Kepanduan Surya Wirawan, dan Sekolah Parindra, menulis artikel politik dan mengeluarkan mosi menentang peraturan kerja paksa (erakan, rodi). Pemerintah Hindia Belanda menghadapi perjuangan Parindra dengan cara melakukan tindakan pengawasan, pelarangan, dan pembubaran rapat serta penangkapan dan pemenjaraan aktivis Parindra di Kalimantan Selatan.

Lebih lanjut tentang Parindra, silakan unduh dan baca artikel pada link di bawah ini:

Abdoel Moeis Hassan, Tokoh Pejuang dari Kaltim

Agustus 6, 2020

Oleh Wajidi

Selasa, 25 Juni 2019 bertempat di Aula Bankaltimtara, Jl. Jenderal Sudirman 33 Samarinda, saya diminta sebagai narasumber Seminar Nasional Kepahlawanan Abdoel Moeis Hassan. Makalah yang saya paparkan berjudul: “Kiprah Perjuangan Abdoel Moeis Hassan Dalam Dinamika Sejarah Bangsa”.

Abdoel Moeis Hassan

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memandang perlu untuk mengajukan Abdoel Moeis Hassan sebagai calon pahlawan nasional dari Kalimantan Timur, dan salah satu tahapan dalam proses pengusulan adalah melalui Seminar Nasional.

Abdoel Moeis Hassan,  adalah seorang tokoh sejarah yang lahir pada 2 Juni1924  di Samarinda, dan meninggal di Jakarta, 21 November2005.

Kiprah Abdoel Moeis Hassan tidak perlu diragukan. Menyimak kiprah A. Moeis Hassan sejak dari masa pergerakan, pendudukanJepang, revolusi kemerdekaan, dan sesudah pengakuan kedaulatan sampai ia menjadi gubernur Kalimantan Timur, tampak pada dirinya melekat jiwa seorangnasionalis-religius, seorang republiken, pembaharunamun humanis. Sebagai seorang nasionalis-religius yang republiken, ia sangat memegang teguh prinsif non-kooperatif terhadap Belanda ataupun kepentingan kaum federalis.

Meminjam istilah Sidney Hook, Hero in History (1955),  Abdoel Moeis Hassan (selanjutnya disebut A.Moeis Hassan)  dapat disebut sebagai  seorang tokoh “pembuat”  sejarah (event-making man) sehingga memiliki makna monumental bagi masyarakat-bangsa. Sebelum proklamasi kemerdekaan, A. Moeis Hassan dalam usia yang relatif muda telah terjun dalam pergerakan kebangsaan di Samarinda pada masa 1940–1945.  Ketokohannya lahir  dari adanya kesadaran sebagai pemuda terdidik,  dengan kecerdasan dan kecerahan hatinya terjun ke dalam kancah pergerakan  dengan segala risiko  sehingga mampu dan ikut “mengukir dan mengubah sejarah”, sejak masa pergerakan kebangsaan, revolusi kemerdekaan, dan hingga masa pembangunan sebagai gubernur dan wakil rakyat.

Makalah seminar dapat diunduh dalam link di bawah ini.

Video seminar dapat dilihat dalam link berikut:

Pergerakan Kaum Perempuan di Borneo bagian Selatan

Juli 6, 2020

Oleh Wajidi

PERAN PEREMPUAN DI LUAR PERAN TRADISIONALNYA misalnya sebagai aktivis pergerakan, guru, tuan guru, penulis, pejuang gerilya —–bukan seputaran dapur, sumur, dan kasur—–belum banyak muncul dalam panggung sejarah Borneo  bagian Selatan. Kenapa? Ada  beberapa hal yang melatarbelakanginya, yaitu: (1) Karena memang aktor sejarah lebih banyak diperankan oleh kaum pria, (2) Dalam realitas sejarah memang hanya segelintir tokoh perempuan aktif dalam pergerakan karena faktor kungkungan tradisi, penddikan dan kebebasan dibatasi, dan mispersepsi ajaran keagamaan (suara wanita dianggap aurat) dll, (3) Dari beberapa nama tokoh perempuan hanya hanya segelintir yang menjadi  subjek penulisan, misal: Aluh Idut pernah jadi skripsi, Ratu Zaleha dan Fatmah Sakerani dalam karya Anggraini antemas, selebihnya lebih berupa bagian dari tema yang lebih besar misal dl perang banjar, pergerakan, dan revolusi kemerdekaan.

Dalam hikayat kita memang mengenal nama Puteri Junjung Buih. Namanya melekat sebagai tokoh perempuan, isteri Pangeran Suryanata, putera Majapahit, Raja Kerajaan Negara Dipa. Ketokohannya berbalut mitos. Keberadaanya dirasakan ada, namun terbuktikan tidak.

Pada masa perkembangan Islam kita mengenal nama Fatimah binti Syekh Muhammad ArsyadAl Banjari yang memberikan pengajaran (guru) bagi murid perempuan yang ingin belajar agama, dan Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis yang mencatat hasil pengajian kakeknya sehingga menjadi kitab parukunan.Masa Perang Banjar kita mengenal nama Kiai Cakrawati, Saranti, Bulan Jihad, Ratu/Gusti Zaleha,  namun hanya ditulis sekilas itupun dalam cerita Perang Banjar.

Ratu Zaleha

Masa pergerakan kebangsaan: 

Ny. Masiah  Pemimpin Perserikatan Dunia Isteri dibawah SI (isteri Mohamad Horman  Presiden SI) yang telah bersurat dengan R. Ajoe Tjokroaminoto (Presiden SI Wanodya Oetomo)  antara lain surat dari R. Ajoe 23 April 1923.  SI Dunia Isteri dapat dipandang sebagai organisasi kewanitaan yang tertua di Kalimantan Selatan. Meski bukan sebagai sebuah organisasi yang berdiri sendiri. SI Dunia Isteri turut menyokong pergerakan kaum perempuan, khususnya bagi para isteri yang suaminya menjadi tokoh  dan anggota organisasi  SI.

Gusti Noorsehan bin Gusti Muhammad Said
  • Ny. Noorsehan Djohansjah (isteri Merah Djohansjah bin Merah Nadalsjah) pernah menjadi ketua Rukun Isteri Barabai di Barabai (Hulu Sungai Tengah), di dalam Parindra bersama ibu-ibu lainnya seperti Fatimah (isteri Hadhariyah M) yang tergabung dalam Roekoen Kepoetrian Parindra. Di Roekoen Keputrian Parindra menjadikan RA Kartini sebagai tokoh panutan emansipasi wanita, foto RA Kartini mereka pajang dan hari kelahiran Kartini mereka peringati. Masa Jepang aktif di Fujin-Kai, Wanita PRI ibu Fatmah Sakerani. Pada masa revolusi kemerdekaan, Ibu Noorsehan aktif sebagai Ketua kelompok wanita bernama PERTIWI (Persatuan Tindakan Wanita Indonesia).
  • Ny. Siti Syahrijat, dari Kandangan memberanikan diri berpidato di rapat terbuka (openbare) di los Getah, pasar Barabai. Menurut informasi seorang perintis kemerdekaan (Abdul Manap Uhuk). Siti Syahrijat menjadi salah seorang wanita yang tidak kenal takut berpidato dengan lantang di muka umum pada masa penjajahan. Isi pidatonya bertujuan membangun semangat kaum perempuan, membangkitkan kegairahan dan menyadarkan kaum ibu serta mengajak mereka agar tidak hanya bekerja di dapur  yang semata-mata memasak dan memelihara anak di rumah, akan tetapi perempuan  juga harus   bangkit dan mengikuti jejak langkah kaum pria  di dalam menentukan langkah nasib bangsa di kemudian hari, sesuai dengan kemampuannya sebagai seorang perempuan.
  • Ny. Rahmah Bahran dan Aluh Kaderi (kelak dikenal sebagai Aluh Idut) yang pada tahun 1935 mendirikan Jam’iyyatun Nisa sebuah organisasi kewanitaan di bawah Musyawaratutthalibin.
  • Ny. Aisyah (isteri A.A. Hamidhan) pengasuh rubrik hari sabtu bernama ”Soeara Iboe Kalimantan” (disingkat S.I.K). Siti Aisyah adalah juga seorang  guru HIS Partikelir. Dalam rubrik beliau punya nama samaran Sri. Rubrik Suara Ibu Kalimantan berisi informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengankewanitaan, seperti pengetahuan masak-memasak, pengetahuan kerumahtanggaan dan sebagainya.  Pada  salah satu terbitan  surat kabar Soeara Kalimantan edisi Sabtu, 7 Februari 1942 halaman 3 ada memuat rubrik “Soeara Iboe Kalimantan” di bawah pimpinan SRI. Rubrik S.I.K edisi tersebut memuat informasi dengan judul: “Kewadjiban Kaoem Iboe Diwaktoe Sekarang”. Isinya berisi anjuran kepada para ibu agar bagaimana di saat suasana genting akibat Perang Pasifik dapat mempergunakan pikiran dan segenap tenaganya untuk keselamatan rumah tangganya serta keluarganya. 
  • Hj. Fatmah Sakerani seorang aktifis pergerakan, guru berbagai sekolah seperti guru Kweekling, guru Volkschool-Putri  dan menjadi kepala sekolahnya di Kandangan, mendirikan Bustanul Atfal di Amuntai, aktif di Fujin-Kai, Wanita PRI bersama Noorsehan Johansyah, Seksi kewanitaan di SKI, dll.
  • Ibu Guru Amas (siti masari) salah seorang keturunan Danuraja guru sekolah rakyat tahun 1929, anggota organisasi Kaum Ibu, sesudah merdeka sebagai anggota perwari
  • Siti Warkiah atau Aluh Idut (Aluh Kaderi) aktif sebagai anggota PBI, Parindra, dan Jam’iyyatun Nisa sebuah organisasi kewanitaan di bawah Musyawaratutthalibin, Fujin-Kai, anggota BPPKI (Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia), anggota SKI, anggota Gappika, dan dijebloskan ke penjara serta disiksa Belanda sampai cacat.
  • Mastora, tentara wanita anggota ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.Para ibu yang berperan di dapur umum, Ibu Sa’diah yang mahambin Hassan Basry dalam lanjung dari Mandapai ke Tabihi.
  •  Rochanah, pemimpin 20 orang laskar wanita binaan Norman di Pancur Mangumbi Pagat Barabai. Norman adalah salah satu tokoh dalam peristiwa “Pemberontakan Trikesuma di Barabai” pimpinan tiga bersaudara Nawawi, Norman dan Alhamdie.
Hj. Bulkis, Ketua Aisyiah Muhammadiyah cabang Banjarmasin
Rukun Keputrian Parindra di Banjarmasin. Duduk di tengah-tengah Gusti Noorsehan Johansyah didampingi pengurus Keputrian, dengan latar belakang foto ibu Kartini; pelopor pergerakan emansipasi kaum perempuan
Huishoudschool, sekolah khusus perempuan untuk mengasah keterampilan mengurus rumah tangga, dikelola oleh Roekoen Poetri Parindra

Gagasan kemajuan kaum perempuan keluar dari peran tradisionalnya di Kalimantan bagian Selatan tidak terlepas dari masuknya pemikiran gerakan perempuan yang dipelopori terutama RA Kartini yang mana pada penjajahan foto tokoh emansipasi ini telah dipampang di dalam beberapa organisasi kewanitaan seperti Roekoen Kepoetrian Parindra, bahwa di Barabai pada foto lama di depan markas Parindra Cabang Barabai terdapat   papan hitam bertulisan  “Hari Peringatan Almarhoem R.A. Kartini, Barabai 23-4-‘39”.

Sekolah Puteri tahun 1932 di Banua Kupang, Barabai

Peran perempuan di luar peran tradisioanlnya seperti sebagai anggota pergerakan, guru sekolah, dan pelajar sangat dipengaruhi oleh politik etis berupa munculnya sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah partikelir berbasis nasionalis  dan keagamaan  yang dikelola oleh berbagai organisasi pergerakan seperti SI, Parindra, Muhammadiyah, NU, Musyawaratutthalibin, dan lain. Banyak tokoh pergerakan yang dalam aktovitasnya dibantu isteri atau setidaknya memberikan peluang para isteri tokoh saling berkorespondensi seperti halnya R. Ajoe Tjokroamianoto yang berkirim surat bertanggal Kedoengdjati; 23 April 1923 dengan Ny. Masiah (isteri Mohammad Horman, Presiden SI di Banjarmasin), Ny. Noorsehan Djohansyah, Ny. Sosodoro Djatikusomo, Ny. Fatimah (isteri Hadhariyah M), Ny. Hj. Fatmah Sakerani (isteri Sakerani) dll.

Gusti Noorsehan bin Gusti Muhammad Said dalam memoarnya mengatakan bahwa seperti gadis pada umumnya waktu itu ia dipingit, kebebasan dibatasi, ia hanya sekolah sampai selesai HIS. Keterlibatannya dalam pergerakan karena ia dinikahkan ayahnya dengan Merah Johansyah bin Merah Nadalsyah gelar gelar Soetan Indradjati, yang kebetulan adalah pemuda terdidik lulusan Osvia, seorang pamongpraja namun kerapkali berseberangan dengan pemerintah. Dari suaminya itulah Noorsehan belajar politik dan akhirnya total sebagai aktivis pergerakan seperti sebagai Ketua Roekoen Parindra, dll.

Salah satu dampak politik etis adalah edukasi atau pendidikan yang mana sekolah partikelir yang dikelola oleh organisasi yang berawatak kebangsaan, sosial maupun keagamaan bermunculan termasuk sekolah-sekolah putri. Dalam catatan sejarah, Belanda mendirikan bukan hanya Vervolgschool (dua tahun) dengan murid campuran, tapi ada pula yang melulu untuk puteri disebut Meisjes Vervolgschool, didirikan pada tahun 1935 di Banjarmasin dan Barabai, diantaranya di desa Banua Kupang pada tahun 1932. Di Barabai, juga terdapat sekolah Muallimat Sekolah Guru Puteri.

Mastora

Berdasarkan catatan Hamlan Arpan sebagaimana termaktub dalam buku Sejarah Banjar (2003 dan 2007), Pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada  perempuan untuk menempuh pendidikan untuk  menjadi guru bantu. Untuk guru-guru wanita pada Meisjes Cursus (Sekolah Puteri), mereka diberikan  kesempatan melanjutkan pendidikan pada Normaalschool  Blitar dengan lama pendidikan 4 tahun. Pada tahun 1930 sebanyak 15 orang  puteri Banjar  berumur rata-rata 14-15 tahun diberi kesempatan berangkat menuju Blitar untuk bersekolah di Meisjes Noormaalschool. Dari Kandangan delapan orang yaitu: Malati, Atung, Nursehan, Itai, Jawiah, Aluh, Nursiah, dan Maserah. Dari Rantau,  Barlian dan Masriah. Dari Barabai Siti Aisyah. Dari Amuntai Syamsyiah. Dari Alabio, Johar Manikam. Dari Kotabaru, Nursaniah dan dari Muarateweh Aisyiah. Mereka inilah yang setelah menyelesaikan pendidikan kembali ke Kalimantan Selatan mendarmabaktikan diri menjadi guru atau ladang pengabdian lainya, namun aktivitas mereka tidak tercatat dalam sejarah.

Nipponisasi Nama Jalan di Kota Banjarmasin

Juni 24, 2020

Oleh Wajidi

Cahaya Asia, Dai Nippon. Pelindung Asia, Dai Nippon. Pemimpin Asia, Dai Nippon. DAI NIPPON, BANZAI !

Tidak lama setelah tentara Jepang menduduki Borneo Selatan, maka   Jepang melakukan politik Nipponisasi atau men-Jepang-kan bangsa Indonesia di berbagai bidang kehidupan dari  tingkatan dari anak-anak sampai kepada orang dewasa. Nipponisasi yang didukung oleh dominasi, mobilisasi, dan kontrol yang dilakukan tentara pendudukan Jepang, mengakibatkan berbagai pranata  (institution) masyarakat yang berkaitan dengan  politik dan pemerintahan, sosial budaya dan kemasyarakatan, pendidikan, ekonomi dan perdagangan, serta kehidupan pers mengalami perubahan yang drastis.


Seorang saksi hidup, M.P. Lambut mengatakan bahwa nipponisasi oleh Jepang di semua aspek kehidupan selama 3,5 tahun telah menghapuskan nyaris semua peninggalan Belanda yang dibangun selama 350 tahun.  Semua orang di Kalimantan tiba-tiba bisa mengucapkan slogan-slogan dalam bahasa Jepang: bahasa saya bahasa Jepang, bahasa kita bahasa Jepang, bahasa Asia bahasa Jepang, dan menyanyi  lagu-lagu Jepang.

Dalam Borneo Simboen, Selasa  11 Djanoeari 2604, hlm. 2 yakni dalam rubrik Kalimantan Subrubrik “Doesoen Timoer” ditulis “Njanjian2 Nippon Tersebar Kepelosok Desa”. Diberitakan bahwa dewasa ini kemana sadja  kita berkoendjoeng, selaloe kedengaran njanjian2 Nippon.

Dengan adanya nipponisasi, semua perkumpulan politik dan agama dilarang. Sebagai gantinya, dibentuk organisasi ala Jepang yang pergerakannya  meluas sampai ke desa-desa. Berbagai fasilitas seperti jalan, bioskop,  badan usaha, dan sejenisnya diganti dengan nama-nama  Jepang.

Di Banjarmasin, perubahan nama jalan diresmikan melalui sebuah upacara oleh pemerintah militer  Jepang. Berdasarkan berita Surat kabar Kalimantan Raya No. 28 tanggal 8 April 1942 bertajuk “Perobahan nama-nama djalanan”, nama-nama jalan yang diubah dengan nama Jepang, dapat dilihat pada tabel berikut.

No.Nama Asal (Nama Belanda) Posisi JalanNama Baru (Nama Jepang)Sekarang (tahun 2020)
1.Noordeindemulai dari jembatan kamar bola “de kapel” sampai jembatan Pasar Lama)Jalan OkamotoJalan Jenderal Sudirman
2.Resident de Haanwegmulai dari jembatan Telawang sampai jembatan kamar bola “de kapel”Jalan YamamotoJalan Lambung Mangkurat
3.School wegMulai dari jalan Yamamoto sampai KoenbrugJalan KataokaJalan Hasanuddin HM
4.Oelin wegmulai dari Koenbrug sampai batas Gemeente Km. 6.500Jalan MatsumotoJalan A. Yani
5.Waterstaatslanmulai dari jalan Okamoto sampai Heerengract kantor Waterstaat)Jalan HamadaDitutup bangunan Dinas PU Provinsi Kalsel
6.Palmenlaanmulai jalan Okamoto sampai Heerengracht dekat tennisbaanJalan MuraokaJalan Keramaian
7.Emmastraatmulai dari Kroesenlaan sampai Kertak BaroewegJalan Dr. ShogenjiJalan Pangeran Samudera
8.Kerklaanmulai dari jalanan Okamoto sampai HeerengractJalan FujikawaJalan Syar’i Musaffa
9.Happewegmulai dari jalan Teluk Tiram sampai KroesenlanJalan MetakeJalan Pelabuhan
10.RingwegMulai dari Heerengracht sampai Kertak BaroewegJalan NakamuraJalan Loji. Kini Jalan M.T. Haryono
11.HeerengrachtMulai dari Kerklaan sampai HendrikswegJalan OmoriJalan D.I. Panjaitan
12.MilitairewegMulai dari simpang Hendriksweg sampai RingwegJalan SuzukiJalan S. Parman
13.SwatparkMulai jalan Okamoto sampai Ringweg-Kertak Baru) Jalan Merdeka

Jepang juga mengubah nama-nama bioskop di Banjarmasin dengan nama Jepang. Misalnya Bioskop Eldorado (Nama gedung bioskop di Pasar Lama, Banjarmasin) diganti namanya menjadi Minami Borneo Gekijo (kelak Sekitar tahun 1950-an, di bekas lokasi bangunan lama oleh pemiliknya, Hoesein Razak, bersama Muhammad Hasyim, dan PGRI didirikan bioskop dengan nama “Bioskop Merdeka”). Bioskop Rex menjadi Osaka Gekijo (Setelah merdeka berganti nama menjadi Bioskop Ria, kemudian ditempati Barata Departement Store),  dan mendirikan cabang-cabang  Osaka Gekijo di Kandangan, Barabai, Amuntai, dan Tanjung. Mereka menayangkan filem-filem Jepang atau filem yang mendukung proganda perang.


Sultan Hamid II dan Kampanye Negara Borneo

Juni 15, 2020

Oleh Wajidi

Siapa Sultan Hamid II? Dalam Wikipedia disebutkan bahwa Sultan Hamid II, lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak ke-6 (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Sultan Hamid II adalah salah satu aktor dalam  panggung sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia periode 1945-1950, tak terkecuali dalam sejarah perjuangan rakyat di Kalimantan Selatan. Berikut catatan tentang Sultan Hamid II diambil dari berbagai sumber.

Sebagaimana diketahui Perjuangan rakyat di Kalimantan Selatan, bukan semata bertujuan menegakkan kemerdekaan yang telah diproklamasikan melainkan juga untuk menggagalkan usaha-usaha federalisme  Belanda yang hendak menguasai dan memisahkan Kalimantan Selatan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui pembentukan Negara Borneo  (Kalimantan) sebagaimana dikehendaki dalam Persetujuan Linggajati.

Persetujuan Linggajati tidak terlepas dari peran Dr. H.J. van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Maksud utama Van Mook mengenai gagasan negara federal adalah menjadikan Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian dalam sebuah negara federal, dan apabila berhasil maka penguasaan wilayah seluruh kepulauan Nusantara dianggap selesai (Lihat Wajidi, Revolusi Kemerdekaan di Kalimantan Selatan 1945-1949, Yogyakarta: Ombak, 2015, hlm. 27; lihat juga Wajidi, Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik, Banjarmasin: Pustaka Banua, 2007, hlm. 39).

Gagasan negara federal diajukan Belanda dalam setiap perundingan dengan pihak Republik sebagai salah satu cara untuk mengembalikan kedaulatannya, termasuk dalam perundingan yang dilakukan di sebuah desa bernama Linggarjati yang menghasilkan Persetujuan Linggajati. Persetujuan ini ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947 di Jakarta.

Dengan Persetujuan Linggajati, Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Sedangkan pulau-pulau lainnya dikuasai Belanda.

Persetujuan Linggajati tersebut telah dijadikan dasar untuk membicarakan pembentukan Negara Indonesia Serikat yang merupakan Uni Indonesia – Belanda di kemudian hari yang susunannya akan terdiri dari Republik Indonesia serta negara-negara di daerah otonomi buatan Belanda.

Untuk menggolkan konsep Negara Kalimantan (Borneo) sebagai salah satu unsur dalam Negara Indonesia Serikat, Belanda mengirim tiga orang utusan yakni  Sultan Hamid II dari Pontianak untuk menghubungi tokoh-tokoh partai politik di Kalimantan Selatan; Dr. Eisenberger untuk menghadapi pejabat-pejabat pemerintah, Ch. O. van Der Plas seorang orientalis untuk menghadapi umat Islam, organisasi SKI-SERMI (Lihat Ramli Nawawi,  et al. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1991, hlm.180).

Sultan Hamid II dikirim ke Banjarmasin dan Hulu Sungai pada tanggal 26 Desember 1946. Ia menemui tokoh-tokoh pergerakan di Kandangan yang diwakili antara lain H.M. Arsyad, Merah Danil Bangsawan, Zafry Zamzam, H. Rusli, Jabar, H. Umar dan tokoh lainnya. Ketegangan muncul ketika Sultan Hamid II menyodorkan konsep Negara Kalimantan tokoh-tokoh pergerakan. Sultan Hamid II berkeinginan bahwa dialah nantinya yang menjadi Wali Negara Kalimantan yang akan meliputi beberapa bagian Kalimantan (Lihat Mugnie Junaidi, “Sejarah Singkat Bangkit dan Berkembangnya Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) di Kalimantan Selatan”, Skripsi Jurusan Sejarah FKG Unlam,  Banjarmasin, 1972, hlm. 83).

Van Der Plas berangkat ke Hulu Sungai. Akhir 1948 ia tiba di Negara dan dengan didampingi empat pejabat Belanda termasuk Tuan Guru A. Gani ke rumah Tuan Guru  H.M. Jakfar, ulama berpengaruh di Pakan Dalam, Negara. Ulama ini cukup dikenal di daerah Hulu Sungai dan banyak mempunyai murid yang tersebar di mana-mana. Mereka bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang sangat fasih. Van der Plas yang keturunan Indo-Belanda  itu membujuk Tuan Guru  agar mau menjadi qadhi besar dan sekaligus memimpin Jamiyah buatan Belanda berkedudukan di Banjarmasin dengan fasilitas lengkap, mobil dan gaji besar. Tapi semua itu ditolak Tuan Guru dengan cara halus, dengan alasan dirinya sudah tua dan sudah dekat dengan ajal (Lihat Lambran Ladjim, “Yang Terlupakan: Palagan Negara 2 Januari 1949”, dalam Banjarmasin Post, 28 Februari 2000; lihat rubrik “Hulu Sungai: Ulama berpulang”, dalam Kalimantan Berdjuang, Kamis 1 Desember 1949).

Kedatangan Sultan Hamid II dan kawan-kawan dengan konsep negara Kalimantan-nya rupanya tidak disenangi oleh para pejuang gerilya. Berdasarkan informasi dari salah seorang anak pejuang, sekembalinya Sultan Hamid II dari Kandangan, di perbatasan antara Binuang dan Martapura iringan mobil beliau ditembak dan dilempari granat.

Usaha Sultan Hamid II itu gagal dalam kampanyenya untuk pembentukan Negara Kalimantan karena kuatnya penolakan dari tokoh pejuang dan ulama di Hulu Sungai. Kegagalan ini disebabkan karena para tokoh pergerakan di Kalimantan Selatan telah sadar dan mengetahui betul siasat Belanda (Lihat  Sjarifuddin, “Sikap Pergerakan Rakyat Menghadapi Pendudukan Belanda di Kalimantan Selatan Periode 1945 sampai dengan 17 Agustus 1950”, (Banjarmasin: Skripsi Sarjana Pendidikan Jurusan Sejarah FKg Unlam, 1974), hlm. 33).

Sejarawan R.Z. Leirissa dalam tesisnya: “Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya merebak di Jawa melainkan juga di hampir seluruh Nusantara dan dimenangkan bukan saja oleh kekuatan militer tetapi terutama oleh keahlian diplomasi. Menurut Leirissa, dalam perjuangan itu timbul kekuatan ketiga selain RI dan Belanda, yaitu BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg) atau Perhimpunan Musyawarah Federal.

 BFO dibentuk atas inisiatif Pemerintah Negara Indonesia Timur dengan bantuan Pemerintah Pasundan. Keanggotaannya sebanyak 15 orang berasal dari 15 daerah federal bentukan Belanda. BFO memegang peranan penting dalam perkembangan struktur ketatanegaraan dan federasi di Indonesia. Dalam konferensi inter Indonesia yang dilakukan BFO, maupun pada saat Konferensi Meja Bundar di Negeri Belanda, para utusan dari BFO berhasil menyatukan sikap untuk mengembalikan bentuk negara RIS yang digagas Belanda  menjadi NKRI.

Perjuangan BFO untuk  turut aktif mencari jalan keluar untuk menyelesaikan  konflik antara Belanda dengan RI ternyata tidak selalu berjalan mulus karena sejak awal terdapat dualisme dalam tubuhnya. Pada satu pihak terdapat kelompok pro-RI yang dipimpin Ide Anak Agung Gde Agung dan Adil Puradireja, dan pada pihak lain ada kelompok pro-Belanda yang dipimpin Sultan Hamid II dan dr. T. Mansur (Lihat R.Z. Leirissa, Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Pustaka Sejarah, Jakarta, 2006, hlm. 1-3).

Bagi kelompok pro-Belanda adanya NIT merupakan pembuka jalan dalam rangka pembentukan negara federal yang tetap berada dalam lingkungan kerajaan Belanda (Lihat R. Nalenan, Arnold Mononuto: Seorang Patriot, Gunung Agung, Jakarta, 1981, hlm.. 178 dan Bagi Belanda, pembentukan BFO dengan Sultan Hamid II sebagai Ketua Delegasi BFO di KMB, merupakan harapan bagi Belanda, untuk membawakan kepentingan mereka tentunya, namun dalam persidangan KMB harapan itu tidak sepenuhnya sesuai kenyataan karena kuatnya arus pro-RI (Lihat, sebagaimana diceritakan oleh Aidan Sinaga, salah seorang utusan Dewan Banjar dalam BFO  di KMB di Den Haag, dalam rapat umum Badan Koordinasi  tanggal 17 November 1949 di  Gedung Permufakatan Indonesia (GPI) di belakang Boom,  dalam “Mendengarkan kesan KMB”,  dalam Kalimantan Berdjuang, Sabtu 19 Nopember 1949 No. 853 Tahun ke IV, hlm. 1).

Bertolak belakang dengan Sultan Hamid II, Perdana Menteri NIT,  Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, yang juga pemrakarsa dan ketua BFO  lebih  menerapkan “synthesa nasional”, atau perpaduan antara kelompok federal dan kelompok pro-RI demi stabilitas politik dan kemakmuran di Indonesia Timur. Surat kabar Soeara Kalimantan memberitakan bahwa Mr. Ide Anak Agung Gde Agung dalam konferensi pers di Makassar mengatakan bahwa politik NIT  selalu ditujukan pada suatu sentesis dari semua golongan penduduk dan pemerintahan-pemerintahan di Indonesia Timur supaya tercapai persatuan nasional yang teguh untuk perjuangan nasional. Ia juga mengatakan tidak ada antitesa diantara Federalis dan Republikan, sebagaimana disarankan golongan-golongan yang menghendaki berpecah-belahnya persatuan rakyat Indonesia (Lihat “Front bersama untuk mentjapai tjita-tjita.  ‘Tak ada pertentangan Federalis dengan Republikein’ Kata Anak Agung Gde Agung”, dalam Suara Kalimantan No.  152-Tahun Kelima Rabu  6 Djuli 1949, hlm.1.)

 Untuk mewujudkan Negara Kalimantan, maka putera-putera Kalimantan yang pro federalisme yang berada di Jawa, telah mempersiapkan calon-calon Presiden Negara Kalimantan yang akan dibentuk. Calon presiden itu ada empat orang, yaitu: Sultan Hamid II, Sultan Parikesit dari Kutai, Ir. Pangeran Mohamad Noor, dan Mr. Tajuddin Noor (Lihat      “Tjalon2 Presiden Negara Kalimantan”, dalam Suara Kalimantan , Selasa 23 Augustus 1949 Tahun Kelima No. 207, hlm. 1.)

Gusti Jihan selaku anggota Badan Pekerja KNIP, wakil Kalimantan dan termasuk sebagai salah satu orang terkemuka di lingkungan masyarakat putra-putra Kalimantan di kota Yogyakarta saat dimintai pendapatnya oleh wartawan Suara Kalimantan mengenai keempat calon itu mengatakan, bahwa  diantara ke-4 calon itu maka Mr. Tajuddin Noor telah mengundurkan diri, karena tidak mau dicalonkan. Tentang Sultan Kutai menurut pemandangan Gusti Jihan, sesudah diadakannya  Konferensi Inter Indonesia (Inter Indonesia Conferentie) dan sesudah Sultan Hamid II memperlihatkan politiknya yang tegas dan suka kompromi dengan pihak Republik, maka popularitasnya naik tinggi di seluruh Kalimantan, dan sekarang ini hanya ada 2 calon terkemuka yaitu Sultan Hamid II dan Ir. Pangeran Mohamad Noor.  Kedua orang inilah yang harus dipilih satu antara dua dan pengaruh Sultan Hamid II ialah karena politiknya yang sudah tegas, apalagi pidatonya di Konferensi Inter Indonesia di Yogya amat menarik kalangan politik Kalimantan, ia populer sekali waktu itu. Begitupula dengan pengaruh Ir. Pangeran Mohamad Noor  yang juga besar di pulau Kalimantan (Lihat “Tjalon2 Presiden Negara Kalimantan”, dalam Suara Kalimantan , Selasa 23 Augustus 1949 Tahun Kelima No. 207, hlm. 1.)

Di Negeri Belanda berlangsung Konferensi Meja Bundar. Berdasarkan pemberitaan Soeara Kalimantan dan Kalimantan Berdjuang  tentang KMB yang tentunya diikuti oleh masyarakat Kalimantan Selatan saat itu, tergambar bahwa pelaksanaan KMB menghadapi keruwetan. Akan tetapi Sultan Hamid II selaku ketua delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar,  dalam keterangan persnya di Den Haag mengatakan: tidak ada perbedaan-perbedaan paham yang penting dalam politik antara utusan-utusan Republik dan utusan-utusan daerah federal”, (Lihat “TIDAK ADA PERBEDAAN2  FAHAM JANG PENTING, Antara Utusan2 Indonesia Di K.M.B, Keterangan Pers Slt.Hamid II”, dalam Suara Kalimantan, Bandjarmasin, Minggu  11  September 1949, Tahun Kelima No. 239, hlm. 1).

  Sementara itu, kekuatan gerilya ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan pimpinan Hassan Basry semakin memuncak. Tanggal 17 Mei 1949 Hassan Basry mengeluarkan proklamasi pembentukan Pemerintah Gubernur Tentara ALRI yang melingkungi Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia.  Selain bermakna sebagai pernyataan kesetiaan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang sebelumnya secara resmi telah meninggalkan Kalimantan melalui Persetujuan Linggajati, maka proklamasi itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan  kepada Pemerintah Republik dan Belanda bahwa “Daerah Otonom Kalimantan Tenggara dan Banjar” yang telah diciptakan Belanda sebagai upaya awal untuk mendirikan “Negara Kalimantan”, tidak lebih hanyalah fiksi di atas kertas dan sama sekali tidak berwujud nyata.

Pihak Belanda semakin terdesak memohon kepada pihak Republik untuk menengahi perundingan dengan ALRI Divisi IV. Utusan pemerintah Republik, Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo bersama perwakilan UNCI tiba di Kalimantan Selatan untuk menengahi dan saksi perundingan. Sebagai seorang yang sangat berjiwa Republikan, Jenderal Mayor Suhardjo sangat mendukung  ALRI  Divisi IV dengan menjadikannya secara resmi  sebagai bagian dari TNI, terlebih lagi ia mengetahui sepak terjang ALRI  yang dalam perjuangannya menentang pembentukan negara Kalimantan. Berita tentang  penolakan Jenderal Mayor Suhardjo terhadap pembentukan negara Kalimantan rupanya didengar oleh Sultan Hamid II.  Kepada  kantor berita Aneta,  Sultan Hamid II menyatakan keheranannya tentang pernyataan dari Jenderal Major Suhardjo yang menurut berita-berita pers, seakan-akan telah mengatakan bahwa tiap-tiap percobaan untuk mendirikan negara Kalimantan di luar Republik tidak berhasil. Berhubung dengan hal ini, Sultan Hamid II diantaranya mengatakan: “Baik pada persetujuan Linggajati maupun pada persetujuan Renville, pihak Republik telah menyebutkan Kalimantan sebagai negara yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat”. Sultan Hamid juga menegaskan kerjasama yang baik antara BFO dengan Republik, dan mengenai berita-berita pers ini ia telah mengadakan pembicaraan dengan wakil-wakil dari Republik, dan menyangkal bahwa bahwa sama sekali tidak ada maksud semacam itu (Lihat “Sultan Hamid tentang Keterangan Djenderal Major Suhardjo”, dalam Suara Kalimantan, Bandjarmasin, Sabtu 10  September 1949, Tahun Kelima No. 237, hlm. 1).

Terkait dengan hambatan psikologis pembentukan tentara RIS berupa penggabungan  TNI dan KNIL, wartawan kantor berita Antara yang menemui Sultan Hamid II, Ketua Delegasi BFO di KMB, yang baru saja tiba di Jakarta dengan pesawat Constellation KLM dari Negeri Belanda, mengatakan bahwa salah satu kesulitan dalam pembentukan tentara RIS adalah persoalan psikologis pada anggota-anggota TNI dan KNIL yang akan bergabung. Ketika ditanya apa usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan itu, dijawabnya bahwa yang penting adalah  Menteri Pertahanan dan Panglima Tentara RIS harus dipilih orang yang bisa diterima (acceptable) oleh kedua belah pihak yang akan bergabung (TNI dan KNIL) (Lihat “Hamid tiba di Djakarta. ‘Tentera RIS’, sulit kata beliau”, dalam Kalimantan Berdjuang, Sabtu 19 Nopember 1949 No. 853 Tahun ke IV, hlm. 1).

 Di dalam pojok Kopi Pahit, surat kabar Kalimantan Berdjuang juga pernah menyindir adanya usulan agar Sultan Hamid II dijadikan Menteri Pertahanan. Sebagaimana diketahui, Sultan Hamid II, merupakan seorang yang dalam beberapa kesempatan memakai uniform KNIL, karena ia memang seorang KNIL berpangkat Jenderal Mayor KNIL. Ia  disukai dan  di samping Kolonel Surio Santoso, Sugondo, Tahya, Rumimper yang merupakan orang KNIL, ia merupakan sosok yang  diusulkan tentara KNIL sebagai menteri pertahanan dalam pemerintahan RIS kelak (Lihat kembali “Usul dari Knil HAMID II MENTERI PERTAHANAN”, dalam Kalimantan Berdjuang, Rabu 30 Nopember 1949).

Usulan agar Sultan Hamid II dijadikan Menteri Pertahanan ini disindir oleh Abang Sikat Jr dalam pojok Kopi Pahit surat kabar  Kalimantan Berdjuang edisi Kamis 1 Desember 1949, dengan mengatakan  mengapa tokoh mliter Republik seperti Hamengku Buwono, Suhardjo, Simatupang, Sungkono, dan Gatot Subroto dan tokoh lainnya tidak tidak diusulkan sebagai Menteri Pertahanan. 

 Kalimantan Berjuang mempunyai rubrik opini dengan nama “Fikiran Merdeka”,  misalnya dalam Kalimantan Berdjuang,  Sabtu 3 Desember 1949 No. 865 Tahun ke IV, hlm. 2,  rubrik  “Fikiran Merdeka” memuat opini dengan judul “Hubbur Riasah” yang ditulis oleh H. Muhammad M, yang  isinya menyoroti perilaku pemimpin rakyat yang berebut kedudukan dan pangkat. Misalnya Mr. Tolol dan Kyahi Bahlul  menonjol-nonjolkan diri untuk diangkat dalam jabatan tertentu, yang ia sebut :Hubbur Riasah” hanya cinta kepada jabatan, baik dengan cara yang jujur atau pun curang, legal atau illegal. Opini Muhammad itu lahir dari kegelisahan dia dalam melihat suasana saat peralihan dalam rangka pembentukan pemerintah RIS yang mana banyak tokoh-tokoh bermunculan yang merasa dirinya paling berhak menempati jabatan tertentu dalam lapangan sipil maupun militer (Lihat “Fikiran Merdeka: Hubbur Riasah”, dalam Kalimantan Berdjuang,  Sabtu 3 Desember 1949 No. 865 Tahun ke IV, hlm. 2).

Apakah Sultan Hamid II mengejar pangkat Menteri Pertahanan? Surat kabar Kalimantan Berdjuang menerangkan sosok Sultan Hamid II sebagai  seorang yang dalam beberapa kesempatan memakai uniform KNIL dengan tanda pangkat  Jenderal Mayor KNIL. Ia  disukai dan  merupakan sosok yang diusulkan KNIL sebagai menteri pertahanan dan/atau Panglima Tentara RIS dalam pemerintahan RIS kelak, lihat “Usul dari Knil HAMID II MENTERI PERTAHANAN”, dalam Kalimantan Berdjuang, Rabu 30 Nopember 1949. Ketika ditanya terkait berita-berita bahwa ia akan menjadi Panglima Tentara RIS ia mengatakan sudah senang melihat Indonesia bersatu. Ia mengatakan tidak mengejar pangkat. Ia akan mengaso (istirahat) dan tinggal di Kalimantan Barat. Tidak ingin mengajukan diri sebagai calon, lihat “Saja tidak kedjar pangkat” Kata Hamid II, dalam Kalimantan Berdjuang,  Sabtu 3 Desember 1949 No. 865 Tahun ke IV, hlm. 1.

Bagaimana menurut sampeyan?

dr. Vischer, Korban Kekejaman Jepang di Borneo Selatan

Mei 31, 2020

Oleh Wajidi

Salah satu utusan  Palang Merah Internasional atau ICRC (International Committee of the Red Cross) di Banjarmasin, yaitu dr. Vischer adalah salah seorang korban kekejaman Jepang di Borneo Selatan. Pada tahun 1942 ada tiga  utusan ICRC di Hindia Belanda yakni di Sumatera, Batavia (Jakarta), dan Banjarmasin.  Sesudah selesai Perang Dunia ke II, Palang Merah Internasional baru mengetahui bahwa dr. Vischer menjadi salah satu korban karen dipersangkakan tentara pendudukan Jepang sebagai anggota komplotan anti Jepang pimpinan Gubernur B.J. Haga di Borneo Selatan.

dr. Vischer

dr. Carl Mattheus Vischer dilahirkan di Basel (Swiss) 29 Agustus 1896. Sebelum pecah perang ia tinggal Barimba sebagai kepala gereja (praeses) Zending Basel. Ia dokter pertama di Kuala Kapuas dan memimpin rumah sakit Bazelsche Zending di Barimba, Kuala Kapuas dari tahun 1931 sampai tahun 1943. Rumah sakit yang dikelola Basler Mission Gesellschaft ini Rumah sakit Zending di Kuala Kapuas merupakan satu-satunya rumah sakit yang lengkap. Mempunyai kemampuan melaksanakan bedah. Perawatnya dididik langsung oleh Vischer. Dua perawat pertama berasal dari orang Dayak setempat, perawat ketiga dari etnis Tionghoa berasal dari kampung Pecinan di Barimba. Ia mempunyai pengaruh  yang sangat besar  di kampung-kampung bangsa Dayak daerah Kuala Kapuas yang mendapat pengaruh misionariszending.

Polyclinic

Surat kabar Borneo Simboen No. 324 Tahun ke II Selasa 21 Desember 2603 (1943) dalam tajuknya berjudul “Keterangan Ringkas Kaoem Penghianat Jang Mengimpikan Perlawanan Terhadap Dai Nippon” mendeskripsikan secara rinci nama-nama orang yang terlibat dan peranannya dalam komplotan B.J. Haga. Disebutkan dalam pemberitaan itu bahwa Haga berkomplot dengan pihak luar anti Jepang, merencanakan pemberontakan bersenjata untuk  mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda di Borneo. Lebih lanjut pemberitaan Borneo Simboen menyebutkan, B.J. Haga dibantu oleh 25 orang pembantu utamanya  diantaranya 1  orang eks-Assistent Resident, dan 9  orang eks-Controleur dalam tawanan, sedangkan isteri Gubernur dan isteri salah satu controleur mengatur di dalam.

dr. Vischer

Pada saat Jepang menguasai Banjarmasin, keadaan benar-benar kacau. Banyak warga kulit putih yang mengungsi ke Kuala Kapuas yakni ke kampung tempat tinggal Vischer di Barimba.  Saat Jepang tiba di Barimba, pada mulanya Vischer disuruh Jepang untuk meneruskan pelayanan di rumah sakit, tetapi kemudian ia ditawan dan disuruh kerja paksa. Sebanyak tujuh orang, diantara pekerja zending di Barimba ditangkap dan kemudian dibunuh Jepang, yakni dr. Vischer dengan isteri (Betsy Mylius), Ds. Bart dengan isteri, Inspektur Braches dengan isteri, dan Ny. Dr. Howeler.

dr. Vischer

Pada mulanya dr. Vischer dan tahanan lainnya  ditahan Kuala kapuas, dan salah seorang yang ditangkap adalah Housman Baboe, tokoh dayak setempat. Dari Kuala Kapuas, kemudian dibawa ke Banjarmasin dan ditahan di  Tatas Port (Benteng Tatas) tempat semua tahanan kemudian dipindah ke Kandangan. Sebagian yang diinterner di Kandangan adalah para pendeta-pendeta bangsa Jerman utusan Zending Barmen yang bekerja  di GDE (Gereja Dayak Evangelis) namun kemudian kemudian hari dibebaskan Jepang.

Dari Kandangan, Vischer kemudian dibawa ke bandara Ulin dan di sana ia dipenggal. Kemungkinan besar tawanan dieksekusi dengan cara dipenggal  karena Jepang pantang  membuang peluru. Pemenggalan dengan samurai adalah salah satu cara untuk menghemat peluru.

Salah seorang yang dipersangkakan sebagai anggota komplotan adalah dr. Soesilo. Ia seorang ahli malaria dan adik dari Dokter Soetomo pendiri Boedi Oetomo. Jepang menyatakan bahwa Vischer dan Soesilo bersahabat karib sejak lama sekali dengan Haga, karena mengingat budi pekerti dan kebaikan Haga terhadap mereka saat menjadi pemimpin tertinggi dari BMO urusan mobilisasi kesehatan semasa pecah perang melawan  Jepang, atau dalam hal-hal lainnya. Dengan kemauan sendiri dr. Vischer dan dr. Soesilo bergabung ke dalam komplotan  melawan Jepang dan  menjadi pemimpin atau kepala  badan spionase. Disebutkan bahwa spionase Vischer dilakukan melalui kedok kegiatan  perawatan, keagamaan, dan pendidikan yang berpusat di Barimba, Kuala Kapuas.

dr. Vischer, Barimba Kuala Kapuas

Apakah dr. Vischer terlibat komplotan anti Jepang yang dipimpin Haga? Dan mengapa orang-orang yang dianggap tidak bersalah turut menjadi korban dan oleh Jepang dipersangkakan sebagai anggota komplotan anti Jepang?

Laman: 1 2

Aberani Sulaiman

Mei 31, 2020

Oleh Wajidi

Pejuang gerilya pada masa revolusi fisik di Kalimantan Selatan 1945-1949. Dilahirkan di Rangas Birayang, 3 Agustus 1925. Kiprahnya dalam perjuangan bersenjata dimulai ketika bersama Abdul Rahman Karim dan Anwarudin membentuk Gerpindom (Gerakan  Pemuda Indonesia Merdeka) di Birayang pada tanggal 10 Oktober 1945.

Bulan Mei 1947 bertepatan dengan 17 Ramadhan, Aberani Sulaiman bersama pejuang lainnya untuk pertama kalinya menyerang pasukan Belanda di Hambawang Pulasan, Batu Mandi.

Setelah peristiwa Hambawang Pulasan, ia dan pasukannya memimpin perjalanan menuju Kalimantan Tenggara-Kotabaru menembus pegunungan Meratus dengan tugas antara lain mencari senjata dan penghubung.

Dalam perjalanan ke Kotabaru itulah Aberani Sulaiman bertemu dengan Hassan Basry yang berniat hendak menyeberang ke Jawa, namun kemudian membatalkan rencananya dan menyatakan bergabung dengan Gerpindom. Perkembangan selanjutnya, Gerpindom dilebur ke dalam ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dengan  Hassan Basry sebagai Pimpinan Umum (PU) dan Aberani Sulaiman sebagai Wakil PU/Kepala Staf.

Aberani Sulaiman juga terlibat dalam pertempuran di Janggar di kaki Gunung Meratus pada bulan Desember 1947, juga di beberapa pertempuran lainnya.

Ia adalah salah seorang anggota perumus teks Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi Pertahanan Kalimantan 17 Mei 1949 yang ditandatangani oleh Hassan Basry,  dan sekaligus sebagai Wakil Gubernur/Kepala Staf  pada Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI yang dipimpin oleh Hassan Basry sebagai Gubernur Tentara/Panglima Divisi. Selain tokoh pejuang gerilya, ia dikenal sebagai Gubernur Kalimantan Selatan periode 1963-1965.

A.A. Hamidhan

Mei 31, 2020

Oleh Wajidi

Dilahirkan di Rantau, 25 Februari 1909. Pendidikan terakhir Europese Lagere School. Tokoh wartawan perintis dan pernah 3 kali dihukum kurungan di penjara kolonial. Pertama kali memimpin perusahaan surat kabar Soeara Kalimantan (1930) yang kemudian  dihancurleburkan oleh AVC (Algemene Vernielings Corps)Belanda menjelang kedatangan tentara Jepang di Banjarmasin, pengurus dan pemimpin redaksi surat kabar Kalimantan Raya (1942),  dan surat kabar Borneo Simboen terbitan Banjarmasin (1942-1945).

Ia satu-satunya utusan  Kalimantan dalam keanggotaan  PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan  turut hadir pada malam “penggodokan” naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di rumah Laksamana Maeda tanggal 16 Agustus 1945 dan Sidang Pleno PPKI tanggal 18 dan 19 Agustus 1945 yang mengesahkan UUD 1945 dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.

Ia menolak jabatan Gubernur Kalimantan yang ditawarkan Presiden Soekarno dan mengusulkan  Ir. Pangeran Mohammad Noor untuk menduduki jabatan tersebut.

Sebelum pulang ke Banjarmasin, Presiden Soekarno menyerahkan kepada A.A. Hamidhan Surat Keputusan pengangkatan Mr. Rusbandi sebagai Ketua KNI Daerah dan dr. Sosodoro Djatikusomo sebagai PNI Daerah Kalimantan. Sedangkan A.A. Hamidhan sendiri diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia (KNIP) Pusat.

A.A. Hamidhan sempat pula membawa surat kabar “Asia Raya” pimpinan B.M. Diah yang memuat berita dan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Meski berita proklamasi itu tidak dapat segera diberitakan di media cetak di Kalimantan Selatan karena kuatnya tekanan militer Jepang, ia akhirnya menyiarkan berita tentang Pengangkatan Kepala Negara Indonesia Merdeka dan tentang Bentuk Indonesia Merdeka pada  surat kabar Borneo Simboen terbitan Nomor 851 Minggu 26 Hatji-Gatsoe 2605 (26 Agustus 1945).

P.M. NOOR SANG “BAPAK BANGSA”

Januari 27, 2016

Oleh Wajidi

Banjarmasin Post (1/10) memberitakan bahwa pada hari Sabtu 31 Oktober 2015 bertepatan dengan puncak perayaan Milad ke-511 Kesultanan Banjar, Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu’tashim Billah menyematkan anugerah gelar keagungan Wirasana kepada tiga pahlawan Banjar, yakni Pangeran Hidayatullah, Panglima Wangkang, dan Ir. Pangeran Mohamad Noor (P.M. Noor). Ketiganya dinyatakan pantas mendapatkan anugerah itu, karena jasanya yang sangat luar biasa bagi bangsa dan negara di zamannya masing-masing. Hidayatullah dan Panglima Wangkang dikenal sebagai pejuang Perang Banjar, sedangkan P.M. Noor (1901-1979) adalah Gubernur pertama Provinsi Borneo (Kalimantan).

P.M. NOOR

Penyebutannya sebagai pahlawan Banjar, barangkali semuanya mengamini, meski kenyataannya kepahlawanan ketiganya melampaui batas-batas kelokalan. Sebutlah Ir. P.M. Noor, jejak langkah dan pengabdiannya pada bangsa dan negara sangat menasional, oleh karena itu wajar ia mendapat anugerah Bintang Mahaputera Utama III. Ia seorang pejuang, tokoh bangsa, dan bahkan salah seorang bapak bangsa (founding father) karena ia adalah anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia; Dokuritu Zyunbi Tyoosakai).

Penyebutan bapak bangsa kepada Ir. P.M. Noor, menurut Helius Sjamsuddin, guru besar sejarah Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, didasarkan pada analogi sejarah modern Amerika bahwa mereka yang ikut menandatangani The First Continental Congress (1774), Declaration of Independence (1776), The American Revolution/The War of American Independence (1776-1783), dan Constitutional Convention (1787), lazim disebut “founding fathers”. Oleh karena itu, sudah sepantasnya para anggota BPUPKI dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia; Dokuritu Zyunbi Inkai), disebut sebagai para founding fathers kita. Ir. P.M. Noor (satu-satunya utusan Kalimantan dalam BPUPKI) dan A.A. Hamidhan (satunya-satunya utusan Kalimantan dalam PPKI) adalah termasuk di dalamnya, sebagai bapak bangsa.

received_1318315731528943

Gubernur Pertama Kalimantan

P.M. Noor telah mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara sebagaimana terlihat pada perjuangan, pemikiran, dan karya besarnya. Ia pernah menjabat sebagai anggota Volksraad dan anggota BPUPKI, Gubernur pertama Kalimantan (1945-1950), Wakil Menteri Perhubungan (1945-1946), Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (1956-1959), anggota DPRS-RI (1950-1956), dan anggota DPA (Anggota Dewan Pertimbangan Agung.

received_1318315754862274

received_1318318911528625

Diangkatnya Ir. P.M. Noor sebagai Gubernur Kalimantan tidak terlepas dari penolakan A.A. Hamidhan untuk menduduki jabatan gubernur yang ditawarkan kepadanya, dan mengusulkan nama Ir.P.M. Noor kepada Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta dan Otto Iskandar Dinata untuk menduduki jabatan tersebut. Padahal anggota PPKI dari luar Jawa semuanya bersedia menjadi Gubernur, kecuali A.A. Hamidhan yang menyatakan ingin tetap di posisinya sebagai wartawan, walau ia kemudian diangkat menjadi anggota KNIP.

Selama menjabat Gubernur Kalimantan yang berkedudukan di Yogyakarta, Ir. P.M. Noor telah menggunakan segala daya upaya untuk mengawal Kalimantan tetap sebagai bagian dari NKRI, walau kemudian berdasarkan Persetujuan Linggajati, pemerintah Republik secara sadar dan sah telah melepas Kalimantan menjadi bagian kekuasaan Belanda.

3

Ir. P.M. Noor, kanan, mendampingi Drs. Moh. Hatta, tengah. Paling kiri, Ir. H.M. Said, kelak menjadi Gubernur KDH Tingkat I Provinsi Kalsel.

Sebagai birokrat pejuang, ia telah menunjukkan kerjasamanya yang sangat baik dengan pimpinan angkatan laut, darat, dan udara dalam menjalankan strategi infiltrasi bersenjata ke Kalimantan (Selatan, Tengah, Timur, dan Barat). Melalui kerjasamanya itu, ia mengkordinir para infiltran pejuang kemerdekaan melalui berbagai ekspedisi lintas laut dan udara ke pulau Kalimantan. Baca selengkapnya…

EKSOTIKA TRADISI BA-AYUN MAULID DI MASJID BANUA HALAT

Desember 28, 2015

Oleh Wajidi

lomba blog wisata kalsel
Matahari beranjak naik. Panas terik mulai menyengat, namun arus manusia menuju desa Banua Halat semakin ramai, dan menjelang tengah hari kepadatan mencapai puncaknya. Hari itu, Kamis 24 Desember 2015 bertepatan dengan 12 Rabiulawal 1437 Hijriah,  ribuan manusia berjejal  di Masjid Banua Halat untuk  menghadiri pelaksanaan upacara Ba-ayun Maulid.
Ba-ayun Maulid merupakan tradisi ma-ayun (mengayun) anak  yang dilaksanakan bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ba-ayun asal katanya “ayun’ artinya melakukan proses ayunan, sedangkan maulid berasal dari peristiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Ba-ayun Maulid diartikan sebagai kegiatan mengayun bayi atau anak sambil mengalunkan syair maulid bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Masjid Banua Halat
Masjid Banua Halat

Destinasi wisata Kalsel ini berada di desa Banua Halat Kiri, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin. Lokasinya berjarak sekitar 2 km ke arah barat dari kota Rantau ibukota Kabupaten Tapin, atau berada sekitar 130 km di arah utara Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalsel.

Masjid Banua Halat (2)
Ruang Induk Masjid Banua Halat

Prosesi Ba-ayun Maulid
Ba-ayun Maulid merupakan tradisi yang dilaksanakan dengan mengundang seluruh warga kampung dan bahkan luar kampung. Upacara ini dilaksanakan di masjid. Oleh karena itu, pada ruangan masjid digantungi ayunan yang membentang pada tiang-tiang masjid.
Dahulu sekali, upacara Ba-ayun Maulid hanya diikuti secara terbatas oleh bayi atau anak-anak warga bubuhan tutus (warga asli) yang lahir di Banua Halat saja, namun kini bisa diikuti oleh siapa saja yang berminat. Anak-anak, orang dewasa, kakek, nenek boleh menjadi peserta Ba-ayun Maulid.

Orang-orang tua yang ikut upacara Ba-ayun Maulid didorong oleh beberapa motivasi seperti untuk memenuhi  hajat atau nazar karena terbebas dari jeratan hukum, ingin atau telah sembuh dari penyakit, sukses meraih reputasi tertentu, dan lain sebagainya.

Ba-ayun Maulid di Banua Halat
Prosesi Ma-ayun Anak Dalam Upacara Ba-ayun Maulid

Ayunan yang digunakan peserta berupa:  tapih bahalai tiga lembar, tali tiga meter, kakamban tiga lembar, dan biasanya sudah disediakan panitia, lengkap dengan berbagai hiasan anyaman janur dan kue tradisional.
Orang tua yang anaknya  ikut diayun harus menyerahkan piduduk berupa sasanggan berisi beras kurang lebih 3 ½ liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur dan nasi ketan, benang, jarum dan sebongkah garam serta uang perak.

Piduduk
Piduduk

Upacara Ba-ayun Maulid  dimulai pukul 10.00 pagi ditandai dengan pembacaan beberapa syair seperti syair Barzanji, syair Syarafal Anam dan syair Diba’i. Saat kalimat  asyrakal dalam syair Barzanji dibacakan, serempak anak-anak diayun secara perlahan dengan menarik selendang yang diikat pada ayunan tersebut. Maksud diayun pada saat itu adalah untuk mengambil berkah atas keluhuran akhlak dan kemuliaan Rasulullah SAW yang kelahirannya diperingati saat itu.

Tapung Tawar
Tapung Tawar dan Doa Tuan Guru

Semua anak yang diayun  didoakan bersama  dipimpin oleh pemuka agama (tuan guru). Mereka berdoa agar anak-anaknya kelak menjadi umat yang bertakwa, taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Interaksi Islam dan Budaya
Ba-ayun Maulid merupakan upacara yang mencerminkan sebuah proses kesinambungan masyarakat dengan masa lalunya ketika belum ber-Islam. Tujuan, perlengkapan, dan pelaksanaannya memang  tidak persis sama dengan tradisi sebelumnya  karena telah diisi dengan  nilai-nilai Islam, meski diakui pula sebagian anasir lama masih dipertahankan.

Anak Berayun
Ma-ayun Anak

Selain sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran Rasulullah SAW, maka Ba-ayun Maulid juga berfungsi untuk menghubungkan silaturahim keluarga besar juriat Banua Halat  yang tersebar di berbagai daerah atau diyakini berada di “dunia lain“.
Upacara Ba-ayun Maulid sebenarnya berasal tradisi ma-ayun anak yang dilaksanakan pada acara bapalas bidan, yakni sebuah tradisi dalam budaya pra-Islam. Ketika Islam datang ke daerah ini,  bapalas bidan dan ma-ayun anak tidak dilarang, hanya saja  mantra  diganti  dengan  cara dan doa-doa Islam, serta dilaksanakan di masjid bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang akhirnya dikenal dengan nama Ba-ayun Maulid.

Orang tua berayun
Orang tua dalam Ayunan

Adanya interaksi antara Islam dan budaya  dalam tradisi Ba-ayun Maulid dapat dipahami bahwa ketika Islam masuk dan berkembang di Banua Halat tidak lantas berbagai tradisi dan/atau kepercayaan lama hilang begitu saja. Para pendakwah dengan sangat arif menyampaikan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sehingga tradisi lama  tetap dipertahankan dan justru Islam memengaruhi kepercayaan masyarakat setempat. Pada upacara Ba-ayun Maulid  sisa-sisa kepercayaan lama itu masih ada, namun telah  berakulturasi dengan Islam.

Sebagai destinasi wisata Kalsel, tradisi Ba-ayun Maulid sangatlah menarik, unik dan eksotik. Keberadaannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia harus terus dijaga dan dikembangkan sebagai event wisata tahunan andalan Kalsel.

QUO VADIS KAMPUNG WISATA KUIN?

Juli 29, 2015

Oleh Wajidi

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia pada tahun 2010 telah menetapkan kampung Kuin di Kota Banjarmasin sebagai salah satu dari 200 desa/kampung wisata di Indonesia. Pengembangannya dilakukan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) Pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan melalui usaha kepariwisataan, serta menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya kepariwisataan itu sendiri. Sebelumnya, melalui PNPM Mandiri telah dilakukan pengembangan kampung Alalak Selatan, khususnya pada lokasi yang berdekatan dengan gerbang pintu masuk kawasan wisata Pasar Terapung.

Konsep kampung wisata budaya dipandang sangat cocok dikembangkan di Kuin sebab kawasan Kuin dapat dikategorikan sebagai permukiman komunitas Banjar lama, yang berkembang hingga saat ini. Yang dimaksud Kampung Wisata Kuin di sini dapat diartikan sebagai suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku di kampung Kuin. Sedangkan pengertian kampung wisata budaya adalah menjadikan desa atau kampung dengan segenap potensi seni budaya masyarakatnya sebagai sasaran wisata.DSC02220

Sebagai kampung wisata budaya, maka di Kuin dapat ditemukan beberapa peninggalan arkeologis yang terkait dengan berbagai peristiwa sejarah, baik artefaktual, monumental maupun toponimi. Diantaranya sisa-sisa bangunan arsitektural di kompleks Makam Sultan Suriansyah, makam tokoh-tokoh sejarah masa awal Kerajaan Banjar dan Masjid Sultan Suriansyah, yang didukung oleh permukiman tradisional yang berada di pinggiran sungai, aktivitas pasar terapung. Vegetasi, infrastruktur, dan kehidupan masyarakatnya juga masih menggambarkan budaya dan adat istiadat Banjar.

Kota seribu sungai merupakan landmark kota Banjarmasin, dan dari kondisi fisik maupun sosial masyarakatnya yang akrab dengan budaya sungai itulah melekat identitas diri kota Banjarmasin yakni pasar terapung (floating market). Dibanding kera Bekantan yang menjadi ikon Banjarmasin, pasar terapung dan transportasi sungai lebih mengglobal. Ingat sosok Acil Pasar Terapung di RCTI Oke? Pasar terapung merupakan rohnya kota Banjarmasin. Jika disebut Banjarmasin, maka orang luar provinsi ataupun mancanegara akan langsung mengaitkannya dengan Pasar Terapung. Persoalannya kini adalah pariwisata kota Banjarmasin seolah kehilangan roh seiring dengan meredupnya aktivitas pasar terapung di muara Kuin.

 

Kendala

Menelusuri kota Banjarmasin dengan transportasi darat bukanlah pilihan yang tepat. Jelas terasa hambar jika dibanding menggunakan transportasi sungai seperti jukung atau klotok. Melalui transportasi sungai, gambaran eksotika budaya masyarakat Banjarmasin sangat jelas terlihat dan dirasa, karena bermula dari sungai itulah aktivitas budaya dan banyak peristiwa sejarah bermula.

Oleh karena itulah, pengembangan pariwisata kota Banjarmasin tidak boleh dilepaskan dari pengembangan wisata budaya sungai, dan pengembangannya dapat dilakukan di Kampung Wisata Kuin. Banyak manfaat yang dapat diperoleh seperti kontribusinya bagi peningkatan pendapatan masyarakat setempat melalui kegiatan ekonomi berbasis budaya, penanda ikon daerah, dan kebanggaan identitas dari komunitas budaya Banjar dalam tataran lokal, nasional dan bahkan global, maupun sebagai suatu entitas pelestarian budaya Banjar, yang keberadaannya memiliki ciri khas, unik dan berbeda dengan budaya di lain tempat.

Mencermati kondisi Kampung Wisata Kuin kini, terkesan daya tarik wisatanya terhalang oleh beberapa kendala seperti kondisi sungai Kuin yang sudah sangat tercemar dengan sampah, infrastruktur jalan darat menuju kampung Kuin relatif sempit, areal permukiman antara kompleks Makam Sultan Suriansyah dan Masjid Sultan Suriansyah dikelilingi oleh lingkungan perumahan yang tidak teratur, padat, dan terkesan kumuh dan terlihat banyak sampah. Kurangnya kawasan RTH (Ruang terbuka Hijau) khususnya di bantaran sungai dan perkampungan, belum tersedianya secara layak fasilitas pendukung kebersihan lokasi lingkungan seperti tempat sampah dan toilet, minimnya peraturan yang mengatur bagi wisatawan di kampung Kuin, serta masih lemahnya promosi dan informasi bagi wisatawan.

Terkait dengan daya tarik wisata, maka pengembangan Kampung Wisata Kuin belum terintegrasi dengan objek wisata lainnya. Di lokasi kompleks Makam maupun Masjid Sultan Suriansyah belum ada petunjuk memadai mengenai objek wisata lainnya selain pulau kembang dan pasar terapung, tidak ada informasi tentang sentra kerajinan kerajinan, produk seni budaya, camilan khas Banjar atau souvenir. Selain dermaga, juga belum tersedia tempat memadai untuk pagelaran atraksi wisata. Kecuali di kompleks masjid, maka gerai untuk penjualan souvenir juga sangat minim.DSC02262

Di objek wisata ini juga tidak ada pemandu wisata yang secara proaktif menjemput pengunjung. Di sekitar kompleks juga tidak tersedia homestay yang dapat digunakan oleh para pengunjung. Begitupula dengan kuliner tradisional Banjar di sekitar objek wisata itu, juga sangat kurang, terkecuali soto Rina yang ada di Kuin Selatan yang cukup ramai dikunjungi pembeli.

Kompleks makam dan masjid sudah mempunyai papan nama yang terlihat cukup jelas jika dilihat dari sungai, namun jika kedua lokasi dimasuki dari arah jalan darat dari Jalan Pangeran maka tidak terlihat ada gerbang nama yang memberikan informasi bahwa pengunjung memasuki “Kampung Wisata Kuin”.

 

Dilematis

Kecenderungan pariwisata dunia sekarang menganut pada slogan “back to nature” yaitu suatu gerakan untuk kembali pada sesuatu yang alami, yang ditandai dengan kembali ke alam (eco-tourism), dan melihat bagaimana kehidupan yang dirasa merupakan budaya asli atau komunitas yang masih bersahaja. Sesuatu yang alami ini, baik kondisi alam, permukiman tradisional maupun adat istiadat yang masih dipertahankan oleh sebuah komunitas akan menjadi suatu hal yang menarik atau eksotis.

Begitupula halnya dengan kehidupan sosial budaya di sepanjang sungai dan kampung Kuin mempunyai daya tarik wisata. Akan tetapi, ada persoalan yang cukup dilematis yakni ketika pemerintah mengembangkan Kampung Wisata Kuin justru kehidupan masyarakat di Banjarmasin dengan budaya sungainya sudah semakin jauh memudar. Sungai sudah semakin ditinggalkan dan tercemar. Masyarakat lebih sering mengunjungi objek wisata di Kuin dengan transportasi darat. Aktivitas pedagang dengan jukung di Pasar Terapung Kuin pun dapat dihitung dengan jari. Padahal budaya sungai dengan transportasi sungainya itulah yang menjadi esensi pengembangan Kampung Wisata Kuin.DSC02182

Persoalannya memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Akumulasi persoalan seolah benang kusut menjadi penyebabnya, seperti pergeseran transportasi sungai ke darat, munculnya warung-warung di darat di sekitar pasar terapung Kuin, transportasi darat yang lebih efisien dan efektif, mahalnya bahan baku pembuatan jukung, dan meredupnya pabrik kayu lapis, serta perilaku masyarakat yang tidak menjaga kebersihan sungai dan lingkungan objek wisata. Kesemuanya berperan mempengaruhi keberadaan Kampung Wisata Kuin.

Beragam sampah yang memenuhi sungai merupakan persoalan yang sangat krusial. Ada perasaan malu seketika muncul saat klotok yang membawa wisatawan memasuki Sungai Kuin dari Sungai Martapura karena sungai dipenuhi sampah buangan yang mengambang hasil aktivitas perdagangan di Pasar Lama. Begitupula halnya perjalanan di darat, mendekati dermaga Pasar Terapung Kuin di kampung kiri kanan jalan dipenuhi sampah plastik. Padahal, dalam konsep ekowisata, kebersahajaan kehidupan masyarakat akan lebih menarik jika didukung budaya bersih. Objek wisata budaya boleh saja apa adanya, asli dan bersahaja namun harus bersih, dan itu akan lebih eksotis dibanding objek wisata dengan fasilitas modern namun tidak terawat, kotor atau dipenuhi sampah.

Mencermati perjalanan selama lima tahun sesudah penetapan Kuin sebagai sebagai kampung wisata, jelas tergambar bahwa pengembangan Kampung Wisata Kuin terasa lambat dan terkesan tidak mempunyai desain dan tujuan yang jelas. Berbagai kendala menghadang, rencana dan program pun sudah disusun dan dilaksanakan namun belum optimal untuk menjadikannya sebagai kampung wisata budaya yang dibanggakan. Mengutip frasa latin: Quo Vadis, kiranya tepat jika kita mempertanyakan, mau dibawa kemana pengembangan Kampung Wisata Kuin?

MENULIS: TERBITKAN ATAU MINGGIRLAH!

April 6, 2015

Oleh Wajidi

Di banyak negara, dosen yang tidak menulis buku dianggap tidak pantas untuk mengajar. Karena itu, di sana ada ungkapan yang terkenal: Publish or Perish! Artinya Terbitkan atau Minggirlah! Judul artikel ini mengambil ungkapan tersebut untuk menegaskan betapa di negara maju buku menjadi tolok ukur utama kepatutan seorang dosen untuk mengajar.

Lalu bagaimana dengan kondisi di Kalsel. Mohon maaf, ungkapan itu bukan untuk menyudutkan para akademisi kita. Hanya untuk mengintrodusir diri kita bersama betapa seharusnya kita lebih banyak menghasilkan buku. Kalau ada yang beranggapan bahwa itu di luar negeri, dan di Indonesia apalagi di Kalsel tidak seperti itu. Kalau hal itu dijadikan alasan, berarti kita telah mengebiri semangat kemajuan. Ketika negara-negara maju menghasilkan banyak publikasi berupa buku dan jurnal ilmiah, kita masih berkutat dengan budaya lisan dan enggan menulis buku.

Seorang peneliti, akademisi, apalagi seorang ilmuwan akan sangat disayangkan jika ilmunya hanya di simpan di otak, atau hanya pandai berbicara dan enggan menuliskannya. Padahal, dalam wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yakni Surah al-‘Alaq, ada perintah kepada manusia agar “membaca (iqra)” dan “menulis (kalam)”. Artinya, manusia harus banyak membaca, dan membaca adalah langkah awal menjadi penulis. Dengan membaca, akan banyak ilmu yang diperoleh. Ilmu yang hanya disampaikan secara lisan tanpa ditulis akan mudah dilupakan. Sajak Kalil Gibran: “Lupakan segala yang telah kita katakan. Omongan hanyalah debu di udara”.

Lain halnya jika ilmunya itu dituangkan ke dalam sebuah buku, maka banyak orang lain yang akan mengambil manfaatnya. Ikatlah ilmu dengan menuliskannya, demikian perkataan bijak Ali bin Abi Thalib, dan terbitkanlah menjadi buku. Datu Kelampayan (Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari) di abad ke-18 telah memberikan contoh yang baik bagaimana mengikat ilmu dengan menulisnya menjadi buku, sehingga nama dan pemikiran beliau abadi dan menjadi ladang amal jariyah yang terus mengalir.

Lalu bagaimana dengan penulis namun ia bukan akademisi, peneliti, atau ilmuwan. Hakikatnya sama saja! Ada ungkapan lainnya, “buku adalah mahkota bagi penulis”. Apa pun profesi yang disandangnya, jika ia menulis dan menerbitkannya menjadi buku, maka bukunya itu mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding tulisannya yang terbit di surat kabar, majalah, webblog.

Buku dapat dimiliki oleh masyarakat dari berbagai kalangan, lebih abadi karena dapat dijadikan bacaan dan rujukan di sepanjang masa. Buku yang berbobot memiliki berbagai kelebihan dibanding jurnal ilmiah yang penggunanya relatif terbatas apalagi jika dibanding dengan artikel yang terbit di surat kabar yang apabila selesai nantinya dikilo. Oleh karena itu, buku menempati tempat teratas atau dianalogikan sebagai mahkota bagi penulis.

Terlebih lagi, bagi seorang peneliti, karya tulis berupa buku adalah “pembeda” antar peneliti. Ungkapan: “All scientists are the same until one of them writes a book” (Semua ilmuwan atau peneliti itu sama sampai salah satu di antaranya menulis buku). Artinya, jika seorang peneliti telah menghasilkan banyak buku maka kedudukan, reputasi, dan keilmuannya pantas diakui sehingga membuatnya berbeda dari peneliti‐peneliti lain yang (mungkin) hanya mengandalkan jurnal ilmiah.

Alhamdulillah sebagai seorang penulis dengan jabatan fungsional peneliti madya saya telah memublikasikan tulisan di jurnal ilmiah, majalah, buletin, surat kabar, dan menghasilkan 17 buah buku atau bagian dari buku baik sebagai penulis tunggal maupun tim. Sebagai penulis, saya pernah memenangkan 7 kali lomba penulisan artikel di tingkat nasional dan lokal. Saya juga mempunyai weblog untuk memuat tulisan saya di dunia maya dengan nama: bubuhanbanjar.wordpress.com.

Benefit apa yang diperoleh dari menulis? Dibanding keuntungan finansial saya lebih merasakan kepuasan batin, bahwa tulisan-tulisan saya dibaca, dijadikan bahan rujukan, dan kadang-kadang dicari orang dan dijadikan narasumber hingga sekarang ini. Ada kepuasan ketika saya mengetahui buku saya itu ada tersimpan di The Library of Congress di Washington DC, di Ohio University Libraries, di Belanda, Jepang, Australia, dan tentu saja di beberapa perpustakaan dan pada perseorangan di Indonesia dan Kalsel tentunya. Insya Allah, selama buku-buku itu dimanfaatkan maka akan tetap menjadi ladang amal yang akan terus mengalir.

Ilmu Kepepet

Seorang keponakan yang berkeinginan menulis bertanya kepada saya, bagaimana awal mulanya sehingga kemudian saya menjadi penulis buku. Saya jawab, jujur saya tidak memiliki ilmu jurnalistik, dan tidak pernah sekalipun ikut kursus atau pelatihan menulis. Saya menulis karena selain berkat taufik, hidayah, dan inayah-Nya, juga lebih bermodalkan ketekunan menulis, dan belajar secara autodidak. Satu-satunya ilmu yang saya miliki saat pertama kali menulis adalah: “ilmu kepepet”. Dia gelak tertawa. Tapi ini betul!

Baca selengkapnya…

MENGGAGAS BANDARA ALTERNATIF MALUKA

November 8, 2014

Oleh Wajidi

Nama Maluka di Kurau Kabupaten Tanah Laut mengingatkan kita kepada jejak-jejak kolonial yang pernah bercokol di Kalimantan Selatan. Tidak kepalang tanggung, eksistensi bangsa kolonialis Inggris, Belanda, dan Jepang terekam jelas di kawasan bersejarah bernama Maluka.

Daerah Maluka pada mulanya adalah bagian dari wilayah Kerajaan Banjar, namun kemudian menjadi wilayah yang dikuasai Inggris, Belanda, dan Jepang, sebagaimana terlihat pada beberapa tinggalan bersejarah berupa bangunan, sebaran artefak, dan bekas lapangan terbang.

Penguasaan Inggris terjadi saat Maluka menjadi daerah konsesi yang dikelola oleh pengusaha Alexander Hare tahun 1809 atas nama EIC. Dan kemudian melalui perjanjian antara Pemerintah Inggris dan Kesultanan Banjarmasin tahun 1812, daerah konsesi Maluka diserahkan secara resmi kepada Alexander Hare, yang diangkat oleh Gubernur Jenderal Raffles. Penguasaan Hare atas Maluka berlangsung sampai akhir 1816 yakni saat Inggris meninggalkan Banjarmasin.

Daerah konsesi Maluka selama dibawah pengelolaan Alexander Hare dimanfaatkan sebagai tempat pertanian dan perkebunan, lokasi pembuatan perahu, pembuatan atau penempaan mata uang. Selain tenaga lokal, sebagian besar tenaga yang diperkerjakan di Maluka didatangkan dari Jawa. Sebagian mereka adalah orang hukuman, tenaga sukarela, namun tidak sedikit yang diambil paksa dari desa-desa di pantai utara pulau Jawa.

Setelah Inggris meninggalkan Banjarmasin, maka berakhirlah eksistensi Inggris di daerah konsesi Maluka. Meski telah ditinggalkan Inggris, Belanda tidak tertarik untuk mengembangkan bekas konsesi Maluka. Akhir abad ke-19 Maluka kemudian menjadi sebuah distrik dibawah Onderafdeling Tanah Laut.

Pada masa pendudukan Jepang di Kalimantan Selatan, daerah Maluka dijadikan pemerintah pendudukan Jepang sebagai lapangan terbang dalam rangka Perang Asia Timur Raya. Barisan Kinrohosi dan Romusha dikerahkan Jepang untuk membuat landasan pacu, dan bunker-bunker pertahanan.

Pada akhir pendudukan Jepang di Kalimantan Selatan, yakni pada bulan-bulan pertama 1945, lapangan terbang Maluka menjadi sasaran pemboman pesawat-pesawat Sekutu.

Meski lapangan terbang Maluka sudah lama ditinggalkan, namun beberapa tahun yang lalu di lokasi bekas lapangan terbang ini pernah dimanfaatkan sebagai tempat latihan pesawat tempur TNI Angkatan Udara bersama dengan beberapa negara Asean.

Adanya berbagai jejak ketiga bangsa kolonial (Inggris, Belanda, dan Jepang) di Maluka merupakan pertanda bahwa eksistensi Maluka berkaitan erat dengan sejarah kolonialisme dan imperialisme di Kalimantan Selatan. Sementara keberadaan eks lapangan terbang Maluka di masa penjajahan Jepang, dan aktivitas latihan tempur yang dilaksanakan TNI AU, juga memberikan makna bahwa desa Maluka pernah mempunyai posisi penting baik ditinjau dari segi perekonomian maupun pertahanan keamanan.

Boleh jadi posisi eks lapangan terbang Maluka di masa penjajahan Jepang sangat strategis, karena dikaitkan dengan kedekatannya dengan laut Jawa sehingga Jepang lebih memilih lapangan terbang Maluka dibanding lapangan terbang Ulin (kini Bandara Syamsuddin Noor) sebagai bagian strategi pertahanan. Yang menjadi persoalan adalah posisi strategi eks lapangan terbang Maluka mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bandar udara (bandara) bandara alternatif selain bandara Syamsuddin Noor?

 

Bandara Baru

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan 2005-2025 dan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) 2007-2026 disebutkan tentang adanya rencana pembangunan Bandar Udara Internasional khusus untuk penerbangan sipil di Maluka Baulin. Dalam dokumen RPJP tertulis bahwa Perencanaan pembangunan Bandar Udara Internasional khusus untuk penerbangan sipil pada daerah pegunungan dan pesisir di Maluka Baulin Kecamatan Kurau Kabupaten Tanah Laut sebagai Bandar Udara Alternatif pengganti Bandar Udara Syamsudin Noor Banjarmasin.

Untuk menjawab keinginan tersebut, maka pada tahun 2008 pernah dilakukan kajian pendahuluan yakni mengidentifikasi eks Bandara Maluka di Kabupaten Tanah Laut. Hasil kajian menunjukkan bahwa jarak Maluka dari pantai Laut Jawa ± 2,5 km, dan dari Maluka ke Sungai Kurau ± 10 km. Sedangkan jarak Maluka ke Pelaihari ± 65 km. Lokasi Maluka Baulin berjarak dari Bandara Syamsudin Noor (± 60 km), luas tanah 996 Ha, posisi 114039’09’’E 03041’44’’ S atau 17 NM From BDM – VOR Radial 2080 Elevasi 64 Feet.

Berdasarkan kondisi lahan maka landasan pacu eks lapangan terbang Maluka bisa dikembangkan dengan panjang 3.000 m lebih (terdiri dari lahan yang sekarang dikelola oleh TNI AU panjang 9.200 m) dan diluar TNI AU sepanjag 2.500 m adalah tanah kering.   Lahan untuk pengembangan Bandara Maluka merupakan daerah datar, berbukit dan rawa yang berhubungan dengan laut Jawa, terletak pada ketinggian < 2 m dari permukaan laut dengan jenis tanah dari lapisan organosol, aluvial, podsolik merah kuning, latosol regasol dan podsolik coklat.

Meski hanya berupa kajian awal, identifikasi terhadap eks Bandara Maluka dapat diketahui bahwa lokasi ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bandara internasional yang didukung kondisi alam dan ketersediaan lahan untuk landasan pacu lebih dari 3.000 m, di samping itu lokasi ini dekat laut yang sangat mendukung untuk kelancaran take-off dan landing pesawat.

Untuk mengetahui kelayakan eks lapangan terbang Maluka sebagai bandara internasional memang harus dilakukan kajian lanjutan yang lebih mendalam berupa kelayakan teknis, ekonomis, dan sosiologis.

Pengembangan eks lapangan terbang Maluka sebagai bandara internasional perlu dipikirkan bersama oleh pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah mengingat peningkatan pengguna angkutan udara melonjak sangat cepat di beberapa tahun terakhir. Berbagai bandara di tanah air penuh sesak dan melebihi kapasitas (overload) tidak terkecuali dengan bandara Syamsuddin Noor yang kini menerbangkankan 5.000-7.000 orang per hari. Padahal kapasitas terminal bandara hanya 1.500 orang. Overkapasitas berdampak kepada menurunnya pelayanan sehingga menjadikan bandara Syamsuddin Noor sebagai bandara besar dengan pelayanan terburuk di Tanah Air.

Akan tetapi, jika bandara lain berbenah diri melakukan pembangunan terminal, perbaikan apron, taxi way dan penambahan serta peningkatan landasan pacu, bahkan membangun bandara baru mengganti bandara lama. Pada saat yang sama, pengembangan bandara Syamsuddin Noor sebagai bandara internasional berjalan sangat lambat, rencana ground breaking pengembangan bandara selalu molor karena terbentur dengan alotnya pembebasan lahan milik masyarakat untuk perluasan areal bandara.

Kalaupun ke depan pengembangan bandara Syamsuddin Noor berhasil diwujudkan, kondisi lingkungan bandara tidak se ideal yang diharapkan. Diprediksi pada 20 tahun mendatang, bandara Syamsuddin Noor akan bernasib sama dengan bandara Polonia Medan, yakni lokasinya berada di tengah-tengah permukiman atau kota, terkepung oleh berbagai bangunan. Di tengah kepadatan lalu lintas udara, maka padatnya permukiman penduduk di sekitar bandara akan sangat berisiko terhadap keselamatan penerbangan jika seumpama terjadi kecelakaan.

Oleh karena itu, untuk jangka panjang atau jika pemerintah Pusat dan Daerah mempunyai pemikiran jauh ke depan, maka pembangunan bandara baru di eks lapangan terbang Maluka layak untuk di pertimbangkan, dengan berbagai pertimbangan.

Pertama, eks lapangan terbang Maluka dekat dengan pantai laut Jawa yakni hanya sekitar dari pantai Laut Jawa ± 2,5 km sehingga secara geografis ideal untuk mendukung keselamatan penerbangan sebagaimana bandara-bandara lain di tanah air yang juga berdekatan dengan laut.

Kedua, lahan untuk pengembangan bandara baru tersedia luas dan hanya sedikit pemukiman penduduk. Sehingga sangat memungkinkan untuk pembangunan terminal, apron, taxi way dan landasan pacu dengan kondisi lingkungan bandara yang ideal.

Ketiga, jarak eks lapangan terbang Maluka dengan ibukota provinsi Kalimantan Selatan ± 70 km, dengan kota Banjarbaru ± 60 km atau dengan kota Pelaihari ± 65 km merupakan jarak yang relative tidak jauh atau mudah ditempuh.

Keempat, pembangunan bandara baru di Maluka akan berdampak positif terhadap pengembangan kawasan permukiman penduduk, social, ekonomi dan budaya di daerah Maluka. Di sekitar Maluka akan bermunculan permukiman dan perkantoran, serta akan   geliat ekonomi baru. Sementara bagi bandara Syamsuddin Noor dan kota Banjarbaru nantinya akan terjadi pengurangan beban sosial, budaya, pencemaran lingkungan khususnya kebisingan polusi suara di kota Banjarbaru.

Kelima, secara bertahap eks lapangan terbang Maluka terlebih dahulu dijadikan bandara perintis, seperti halnya bandara Warukin di Kabupaten Tabalong atau bandara Gusti Syamsir Alam di Kabupaten Kotabaru. Setelah itu dapat dikembangkan sebagai bandara alternatif selain bandara Syamsuddin Noor.

Membangun bandara baru di Maluka Baulin memang membutuhkan political will yang kuat dari pemerintah Pusat dan Daerah. Saatnya pemerintah duduk bersama membicarakannya. Untuk jangka pendek, pengembangan bandara Syamsuddin Noor adalah pilihan logis. Akan tetapi, jika melihat trend lonjakan pengguna angkutan udara yang sangat cepat, sementara kondisi lingkungan bandara Syamsuddin Noor tidak kondusif maka tidak ada pilihan lain untuk membangun bandara baru. Dan, pilihan bandara baru itu ada di kawasan eks lapangan terbang Maluka. Bagaimana pendapat sampeyan?

KARAKTER ORANG BANJAR DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT PENDATANG

Oktober 18, 2013

Oleh Wajidi

Assalamualaikum.
Saya baru 6 bulan tinggal di Banjarbaru. Saya asli Sunda, saat awal saya berinteraksi dengan orang Banjar saya cukup terkaget-kaget dengan banyak hal. Cara berbicaranya yang cepat dan terkesan ramai, sikap yang blak-blakan apa adanya (mirip dengan orang Sumatera atau Madura) tapi tidak mudah sakit hati menurut saya dan malas (kurang aktif ) memang saya setuju. Hal ini dibuktikan etos kerja dan kedisiplinan yang sangat berbeda dengan Jakarta tempat dimana saya sebelumnya tinggal. Tapi kecintaan mereka terhadap keluarga, kejujuran dan sikap penolong cukup dominan. Masyarakat yang menarik dan unik. Sejujurnya saya betah dan menikmati tinggal di banua ini. Youlee Handayani.

Dalam blog: bubuhanbanjar.wordpress.com, saya memposting sebuah tulisan berjudul: Mengkritisi “Karakter” Orang Banjar, yang ternyata mendapat komentar dari banyak blogger atau pengunjung, terutama dari kalangan etnis lain yang pernah bergaul dengan etnis Banjar seperti dari Youlee Handayani di atas, selain penanggap dari orang Banjar sendiri.
Dalam kalimat pembuka, saya menulis bahwa kalau kita membicarakan budaya Banjar tidak mesti harus berorientasi kepada masa lalu dan mengabaikan manfaatnya untuk masa depan. Kita perlu mendiskusikan nilai-nilai budaya apa yang perlu digali, dikembangkan atau direkayasa sebagai pembentuk karakter (watak, akhlak, kepribadian) orang Banjar guna menopang kemajuan menuju kesejahteraan Kalimantan Selatan. Sebaliknya mungkin saja ada nilai-nilai budaya atau kebiasaan yang layak dihilangkan karena jika terus berkembang atau berurat berakar di masyarakat justru akan menghambat kemajuan.
Apa yang dimaksud dengan karakter? Istilah karakter menurut Tilaar (2008) adalah watak, sifat-sifat hakiki seseorang atau suatu kelompok atau bangsa. Konsep karakter menurut Singgih Tri Sulistiyono (2011) dapat merujuk kepada berbagai atribut-atribut moral yang menjadi penanda seorang individu atau kelompok sosial termasuk sebuah bangsa, misalnya disiplin, keberanian, integritas, ketabahan, kejujuran, kesetiaan. Jika orang berbicara tentang karakter bangsa tentunya mengacu kepada atribut-atribut moral tersebut, misalnya bangsa Jepang terkenal sebagai bangsa yang disiplin, pekerja keras, dan tabah. Jika sekarang banyak orang yang prihatin mengenai hilangnya karakter suatu bangsa, maka berarti nilai-nilai moral tentang kedisiplinan, kerja keras, integritas, keberanian, ketabahan, kejujuran, kesetiaan kepada bangsa dan negara mengalami kemerosotan. Sehingga yang muncul kemudian adalah atribut moral yang bersifat negatif seperti tidak disiplin, tidak memiliki integritas, malas, tidak loyal, dan sebagainya. Bagaimana dengan karakter orang Banjar? Baca selengkapnya…

PROKLAMASI 17 MEI DAN PERSETUJUAN LINGGARJATI

Mei 17, 2013

Oleh WAJIDI

Jenderal Besar A.H. Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 4 Periode Linggajati, menyatakan:  Persetujuan Linggajati  merupakan satu tamparan yang terhebat terhadap perjuangan kemerdekaan di Kalimantan. Dengan resmi Pemerintah Republik melepaskan pulau yang besar yang rakyatnya tidak sudi dipisahkan dari Republik Indonesia dan berkorban demikian berat untuk tujuan itu. Dengan itu pula Belanda dapat memulai ofensif militer dan politiknya yang lebih hebat untuk menekan dan menghancurkan para gerilyawan.

Persetujuan Linggarjati (dalam naskah perjanjian menggunakan nama “Persetujuan Linggajati) yang diratifikasi kedua negara 25 Maret 1947 memang menimbulkan reaksi pro dan kontra, bukan hanya di Indonesia juga di negeri Belanda. Dalam Persetujuan Linggarjati,  Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Menurut penafsiran pihak Pemerintah Indonesia, Persetujuan Linggarjati merupakan perjanjian internasional, sehingga pengakuan yang diberikan bukan pengakuan de facto akan tetapi pengakuan de jure. Dengan demikian, Pemerintah Republik Indonesia secara sadar dan resmi (baca: de jure) telah melepaskan pulau Kalimantan untuk menjadi wilayah jajahan Belanda.Gambar

Akibat politis dan yuridis dari Persetujuan Linggarjati adalah status Provinsi dan Gubernur Kalimantan yang dibentuk tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak lagi relevan atau tidak sah. Konsekuensinya terhadap militer adalah  semua satuan tentara Republik yang ada di luar Jawa dan Sumatera harus dibubarkan.

Selaras dengan Persetujuan Linggarjati, Ir. Pangeran Mohammad Noor berhenti menjadi Gubernur Kalimantan, sedangkan Markas Besar Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI)  Divisi IV Pertahanan Kalimantan di Tuban  dilikuidasi dan dirubah statusnya menjadi menjadi Mobiele Brigade ALRI bermarkas di Madiun. Dengan demikian, secara organisatoris maupun politis terputuslah hubungan kesatuan kelaskaran yang ada di Kalimantan dengan induknya di Jawa, dan  para pejuang gerilya di Kalimantan Selatan harus berjuang sendiri termasuk dalam pengadaan senjata.

 

Strategi van Mook

Persetujuan Linggarjati bukan sekedar pengakuan kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera, karena sesungguhnya persetujuan itu  merupakan taktik dan strategi Belanda untuk mengembalikan kedaulatannya di Hindia Belanda melalui gerakan federalisme yang digagas oleh Dr. H.J. van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Jakarta). Baca selengkapnya…

Kampung Tua Sungai Jingah-Surgi Mufti

Maret 10, 2013

Oleh Wajidi

Kampung Sungai Jingah-Surgi Mufti adalah kawasan perkampungan tua di tepi Sungai Martapura di Banjarmasin. Kampung ini hanya berjarak sekitar 2-3 km dari pusat kota, dan secara administratif merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Banjarmasin Utara.
Walaupun secara wilayah administrasi Kampung Sungai Jingah-Surgi Mufti terpisah pada dua kelurahan yang saling berbatasan yakni Kelurahan Sungai Jingah dan Kelurahan Sungai Surgi Mufti, dari segi budaya dan lingkungan kawasan kampung Sungai Jingah_surgi Mufti dipandang satu budaya. Kawasan permukiman ini bersifat linier/di tepi sungai Martapura tempo dahulu. sungai jingah
Dahulu yang disebut Sungai Jingah adalah kawasan perkampung yang cukup luas. Dari bekas lokasi masjid Jami dahulu (Kampung Teluk Masjid) sampai daerah kampung Kenanga yang menjadi lokasi Museum Wasaka sekarang. Hal itu tidak lain karena kampung-kampung yang ada seperti kampung Teluk Masjid, Teluk Kubur, Jalan Panglima Batur, Jalan Masjid, Jalan Sungai Jingah, Kubah Surgi Mufti, dan Kampung Kenanga secara administratif berada di bawah kelurahan Sungai Jingah.
Kini penyebutan wilayah Sungai Jingah mulai menyempit, yakni kawasan kampung di sepanjang jalan Sungai Jingah. Apalagi kawasan Jalan Sungai Jingah kini juga terbagi atas 2 kelurahan yaitu, kelurahan Sungai Jingah dan Kelurahan Surgi Mufti. Yang menjadi pembatas dua kelurahan itu adalah batas alam yakni sungai kecil (handil) bernama Sungai Jingah. Bagian Kampung Sungai Jingah dahulu yang kini menjadi bagian dari Kelurahan Surgi Mufti, yakni tempat objek wisata ziarah ”Kubah Surgi Mufti” berada, kini disebut sebagai Kampung Surgi Mufti, dan Kampung Sungai Jingah yang menjadi lokasi ”Warung Soto Yana Yani” menjadi bagian Kelurahan Sungai Jingah dan disebut sebagai Kampung Sungai Jingah. Baca selengkapnya…

HAUL DI KUBUR, BA’AYUN ANAK DI MASJID (Refleksi Ba’ayun Maulid di Kompleks Makam Sultan Suriansyah)

Januari 25, 2013

Oleh Wajidi

Kemarin, tanggal 24 Januari 2013 atau 12 Rabiul Awal 1434 H di Kompleks Makam Sultan Suriansyah, Kuin, Banjarmasin, kembali dilaksanakan tradisi haul dan ba’ayun anak (ba’ayun maulid). Tradisi haul adalah memohonkan atau mendoakan orang yang meninggal dunia agar arwahnya diterima dan diampuni dosa-dosanya oleh Allah Swt, sedang ba’ayun maulid adalah tradisi mengayun anak yang dilaksanakan bersamaan dengan upacara peringatan maulid atau kelahiran Nabi Muhammad SAW.100_3560
Mengacu kepada tradisi haul yang dilaksanakan di atas kompleks pekuburan beberapa ulama di Kalsel seperti antara lain haul Datu Kelampayan, Datu Anggah Amin, dan Guru Sekumpul, serta tradisi ba’ayun anak yang telah berlangsung ratusan tahun di Masjid Banua Halat, Kabupaten Tapin, serta filosofi yang dikehendaki melalui kedua tradisi tersebut maka seyogyanya tempat pelaksanaan tradisi haul dan ba’ayun anak dipisahkan. Upacara haul sebaiknya dilaksanakan di kompleks Makam Sultan Suriansyah sedangkan ba’ayun anak dilaksanakan di Masjid Sultan Suriansyah. Baca selengkapnya…

ORANG BANJAR DAN BUDAYA SUNGAI

November 12, 2012

Oleh WAJIDI

Kehidupan orang Banjar di Kalimantan Selatan lekat dengan budaya sungai, sebagaimana tergambar pada permukiman tradisional Banjar yang berada di pinggiran sungai dan aktivitas pasar terapung (floating market).

 Permukiman tradisional orang Banjar dapat ditemui di daerah yang dilewati oleh sungai besar maupun kecil, seperti di sepanjang Sungai Barito dengan anak cabangnya antara lain  Sungai Nagara, Sungai Paminggir, dan Sungai Martapura. Di sepanjang Sungai Nagara dengan anak sungainya, antara lain Sungai Tabalong Kiri, Sungai Tabalong Kanan, Sungai Balago, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, dan Sungai Tapin. Anak cabang Sungai Barito bermuara ke Laut Jawa, sedangkan sungai lainnya seperti Sungai Batu Licin, Sungai Tabanio, Sungai Asam-asam, Sungai Kintap, dan Sungai Bangkalaan adalah sungai-sungai yang bermuara ke Laut Jawa dan Selat Makassar.

Di antara sekian banyak sungai itu, maka daerah aliran sungai terpenting dalam sejarah Banjar adalah Sungai Tabalong dan Sungai Martapura. Baca selengkapnya…

MASJID ASSU’ADA, WARINGIN, AMUNTAI

Juli 20, 2012

Oleh WAJIDI

Di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, tepatnya di desa Waringin, Kecamatan Haur Gading, terdapat masjid tua bernama Masjid Assu’ada yang selama ini tidak banyak diketahui masyarakat Kalimantan Selatan, lantaran lokasinya yang agak terpencil, dan prasarana jalan yang relative sempit untuk menuju masjid tersebut.  Lokasi masjid ini sebenarnya tidak terlampau jauh dari kota Amuntai, mungkin hanya sekitar 7 km, namun kendaraan roda empat hanya bisa sampai ke desa Teluk Keramat Haur Gading, selebihnya untuk menuju masjid ini harus memakai kendaraan roda 2 atau berjalan kaki sejauh kira-kira 1.5 km menelusuri jalan sempit di pinggiran sungai.

Masjid  Assu’ada memang masjid tua. H. Barkati, kepala desa Waringin yang juga juru pelihara masjid, masjid ini dibangun pada tahun 1901. Informasi ini diperolehnya dari kakeknya bernama H. Muslim. Pada saat masjid itu dibangun H. Muslim kecil berumur sekitar 7-10 dan sudah berakal dan berani berjalan sendiri ke pasar Ahad. Menurut H. Muslim salah satu tukang pembangun masjid itu adalah H. Ahmad bin Abu yang tidak lain adalah datuk H. Barkati.

Menurut versi lain sebagaimana terdapat dalam laporan pendokumentasian Masjid Assu’ada yang dilaksanakan oleh Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Provinsi Kalsel tahun 1987, masjid ini diperkirakan dibangun pada tahun 1886. Perkiraan ini didasarkan kepada inskripsi dengan aksara arab melayu pada cungkup  makam salah seorang ulama   sekaligus pendiri masjid yakni  H. Abdul Gani di Kampung Teluk Keramat. Pada kubah tertulis: Almarhum Syeikh Haji Abdul Gani wafat 15-4-1336 H, 19-1-1916 M. Kalau yang bersangkutan meninggal dalam usia 70 tahun, aktif membangun masjid dalam usia 40 tahun maka diperkirakan masjid berdiri pada tahun 1886 M.

Baca selengkapnya…

BANJARBARU MENUJU IBUKOTA PROVINSI

Mei 7, 2012

Oleh Wajidi

Kota Banjarbaru adalah salah satu kota pemerintahan di Provinsi Kalimantan Selatan, dipimpin oleh seorang walikota. Usianya relatif muda yakni berdiri pada tanggal 20 April 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999. Akan tetapi tetapi perjuangannya untuk menjadi kota yang berdiri sendiri sangatlah panjang. Dari sebuah kampung kecil bernama Gunung Apam, berkembang menjadi sebuah kecamatan, kotamadya administratif, dan kini menjadi Kota setingkat Kabupaten. Kondisi kini kota Banjarbaru tidak terlepas dari peran perjuangan para pendahulu yang belum selesai, yakni keinginan untuk memindahkan ibukota Provinsi Kalimantan (Selatan) dari Banjarmasin ke Banjarbaru sejak tahun 1950-an silam.
Di tahun 2006, yakni ketika Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan berencana memindahkan pusat perkantoran dari Banjarmasin ke Banjarbaru yang diawali dengan kajian untuk menentukan alternatif lokasi di Banjarbaru, tanggapan pro dan kontra bermunculan. Beberapa diskusi digelar, media ramai memberitakan, dan pihak pemerintah provinsi pun sibuk menjelaskannya.
Banyak yang mengira bahwa yang akan dilakukan adalah memindahkan ibukota sehingga memunculkan usulan alternatif lokasi perpindahannya, akan tetapi tidak sedikit pula yang memahami bahwa yang dipindah bukanlah ibukota melainkan perkantorannya. Baca selengkapnya…