Lanjut ke konten

Artum Artha dan Berita Proklamasi Kemerdekaan

Juli 25, 2023

Oleh Wajidi

Kalimantan Selatan pada hari-hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 mencerminkan situasi dan kondisi yang tidak menentu karena simpang siurnya berita kemerdekaan yang sampai ke daerah ini, di samping tentara Jepang juga masih menunjukkan kekua­saannya. Meski surat kabar Borneo Simboen dan berita radio dikontrol Jepang, berita kekalahan tentara Jepang dan peristiwa Proklamasi kemer­dekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai juga  beritanya ke daerah ini. Diantaranya diterima oleh H.M. Arsyad, Zafry Zamzam, Hamli Carang, dan Artum Artha di Kandangan, setelah itu secara sembunyi-sembunyi berita itu disiarkan dari mulut ke mulut.

Artum Artha menerima berita itu dari Tuan Shumano (Letnan Kolonel Angkatan Laut Jepang). Direktur Kasen Unkokai Kabushiki Kaisha di Kandangan, tempat ia bekerja. Di maskapai ini, Artum mendapat gaji sebulan Rp. 25.00 ditambah tunjangan bermacam-macam barang termasuk rokok kretek dan sigaret gunung Fuji.

Artum Artha, nama aslinya M. Chusrien. Sejak kecil dipanggil dengan nama “Artum”. Mempunyai beberapa nama pena atau nama samaran seperti Artum Artha, M. Ch. Artum (Muhammad Chayrin Artum), Bujang Jauh, Emhart, HR Bandara,  dan Murya Artha yang ia gunakan saat sebagai penyair, wartawan, atau nama samaran pada saat perjuangan melawan Belanda dahulu di Kalimantan Selatan. Foto koleksi: Wajidi

Artum Artha menceritakan pengalamannya saat menerima kabar itu langsung dari Tuan Shumano:

“Sabtu 18 Agustus 1945 atau 2605 menurut tahun Jepang, tuan Shumano selaku  Direktur  Kasen Unkokai Kabushiki Kaisha mengundang semua karyawan untuk melaksanakan acara  perpisahan. Acara perpisahan  dilaksanakan di  rumah tuan Shumano, milik Guru Ahmad Jumri di Karang Jawa-Kandangan tanggal 18 ke 19 Agustus 1945, pukul 19.00 – 20.00 waktu Tokyo. Tuan Shumano  bermaksud memberikan bingkisan sebagai tanda mata kepada semua karyawan.”Sabtu 18 Agustus 1945 atau 2605 menurut tahun Jepang, tuan Shumano selaku  Direktur  Kasen Unkokai Kabushiki Kaisha mengundang semua karyawan untuk melaksanakan acara  perpisahan. Acara perpisahan  dilaksanakan di  rumah tuan Shumano, milik Guru Ahmad Jumri di Karang Jawa-Kandangan tanggal 18 ke 19 Agustus 1945, pukul 19.00 – 20.00 waktu Tokyo. Tuan Shumano  bermaksud memberikan bingkisan sebagai tanda mata kepada semua karyawan.

Pertemuan malam itu sepi dan dingin. Shumano berbicara dan suara­nya agak terputus-putus. Ia mengatakan  kepada para karyawan bahwa kita akan berpisah, dan nanti diberitahukan lagi. Gaji sudah dibayar semua. Malam ini pertemuan kita yang baik, dan saya akan memberikan sedikit ha­diah untuk kenangan. Kita makan bersama. Nah, sama-sama, nah. Kita sama-sama bernyanyi gembira. Lagu Sakura Hana dan lagu Bengawan Solo. Sebagai penutup diperdengarkan lagu yang terdapat dalam cerita “Amat Heiho” karangan Lamberi Bustani yang cukup populer kala itu.

 Selesai acara perpisahan, dan semua karyawan beranjak pulang, kembali tuan Shumano meminta Artum agar tinggal sebentar “ada yang akan dibicarakan”, ujar tuan Shumano. Akhirnya terjadilah pertemuan empat mata itu. Lebih lanjut Artum mengisahkan pembicaraan dengan tuan Shumano, di malam itu.

“Waktu itu semua karyawan sudah pulang dalam suasana sinar rembulan, diiringi gerimis hujan yang mulai turun. Sepeda tua kusandarkan di tangga. Aku kembali masuk rumah dengan perasaan ragu dan hati, jan­tung berdenyut, terasa takut. Bingkisan digantungkan di setang sepeda. Aku berada dalam kamar tuan Shumano. Luasnya lebih kurang 3 x 4 meter. Mulanya terang benderang  karena cahaya lampu stormking. Cepat dipa­damkan oleh Shumano. Lampu lilin dinyalakan. Kedap-kedip. Hatiku tambah gemetar. Rasa terancam oleh senjata samurai, senjata Jepang yang ditakuti oleh setiap orang termasuk ditakuti oleh bangsa Jepang sendiri, “ kenang Artum.

“Tuan Artum, ucapnya mula-mula. Sekarang saya panggil tuan Artum, karena Indonesia Merdeka. Tuan Soekarno–Hatta bikin Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Berita Domei dari Jakarta bahwa di Jakarta amat riuh tapi juga amat menakutkan. Sebab bangsa Indonesia bersiap meng­hadapi segala kemungkinan kekeruhan suasana politik pemerintahan antara Indonesia dan Jepang. Tuan Artum tidak boleh omong kepada orang-orang, siapa saja, kalau bocor rahasia ini, Kempeitai akan potong lehernya. Maka Tuan Artum, pulanglah dengan sabar. Saya kasih surat agar dalam per­jalanan selamat. Saya hanya ucapkan selamat berpisah dan terima kasih, gozaimasu Artum sang,” begitu brifing yang disampaikan tuan Shumano se­laku  Direktur  Kasen Unkokai Kabushiki Kaisha  kepada Artum Artha dalam pertemuan empat mata”.

Dari kiri ke kanan: Artum Artha, Hadhariyah M, dan A. Basuni di Yogyakarta 1950. Foto: Koleksi Wajidi

“Kuperhatikan pesan-pesan Shumano, ketika kami berdua sama-sama berdiri di tangga: “Besok kantor  buka saja. Tapi bendera Dai Nippon yang ada di dinding harus buka. Bendera tidak lagi dinaikkan seperti biasa. Saikkeirei  ke Tokyo, juga tidak. Hari Senin esok kasih bingkisan kepada se­mua pegawai. Masing-masing satu potong kain. Untuk pegawai perempuan, kasih dia dua potong. Kain laki dan kain perempuan. Sisa rokok yang ada dalam gudang, diatur saja. Saya tetap dalam rumah ini. Selamat malam – Kun banwa…” Artum pulang dengan sepeda tua pinjaman, milik paman Sarman. Di sepanjang jalan,  pikirnya, barangkali ada juga orang-orang yang mendapat berita Domei atau barangkali ada radio gelap yang menangkap berita Proklamasi Soekarno-Hatta, namun ia tak berani bicara kepada siapa pun.

Sumber bacaan:

Wajidi. 2008. Artum Artha Sastrawan, Wartawan, dan Budayawan Kalimantan Selatan. Yogyakarta: Debut Press.

Wajidi. 2023. Nasionalisme 3 Zaman, Jalan Panjang Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan 1900-1950. Yogyakarta: Istana Agency.

No comments yet

Tinggalkan komentar