Lanjut ke konten

Dinamika Pembelajaran Al-Qur’an di Kalsel (Bagian 4)

Januari 22, 2024

Pembelajaran Al-Qur’an di Pesantren

Oleh Wajidi

Selain rumah dan masjid, pembelajaran Al-Qur’an di Kalimantan Selatan juga dilaksanakan melalui pengajian dan pesantren. Kedua lembaga itu  merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang dinilai indigenous, asli dan berakar kuat dalam masyarakat (Dhofier, 2015: 41). Sebelum tahun 1960-an, pesantren disebut Pondok, yang barangkali diambil dari bahasa Arab, funduq, yang artinya hotel atau asrama (Dhoefier, 2015: 377). Perkataan pesantren bersinonim dengan pondok, karena berasal dari kata santri yang dengan awalan pe dan akhiran an  menjadi pesantren. Baik pondok,  pesantren,  atau frase pondok pesantren mempunyai arti tempat tinggal para santri (Mas’ud, 2004: 1).

Martin Van Bruinessen (2015: 85) menyebut tradisi pengajaran Agama Islam di pesantren  di Indonesia sebagai tradisi agung (great tradition). Alasan pokok pendiriannya adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab klasik yang disebut kitab kuning.

Secara kelembagaan, pesantren di Kalimantan Selatan tumbuh di desa Dalam Pagar ketika Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari membuka hutan yang diberi batas rintisan semacam pagar sehingga kelak dikenal dengan nama Dalam Pagar. Kampung Dalam Pagar untuk pertama kali dikenal pusat pendidikan Islam yang mirip sebagai pesantren pada masa sekarang walaupun pada masa itu belum mengenal adanya istilah Pesantren. Dalam Pagar sangat dikenal sebagai tempat  belajar para santri  dari berbagai pelosok Kalimantan Selatan sehingga ini banyak menghasilkan ulama-ulama Islam yang berdakwah ke berbagai penjuru Kalimantan bahkan luar Kalimantan.

Melalui pesantren tuan guru mengajarkan ilmu-ilmu tauhid, fiqih dan tasawwuf, beserta amaliyah lainnya. Selain itu juga  mempelajari bahasa Arab, Al-Qur’an  dan Hadits. Kitab yang digunakan pada umumnya adalah kitab berbahasa Arab dan dibawakan oleh tuan guru yang pernah belajar di Mekkah. Kitab itu dikenal sebagai Kitab Kuning. Dalam perkembangannya digunakan pula kitab beraksara Arab berbahasa Banjar atau Melayu, sehingga disebut kitab berbahasa Arab Melayu, sebagaimana kitab-kitab yang ditulis Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. 

Pengajian yang umum berlangsung adalah dengan cara guru  membacakan dan menguraikan isi kitab, sedangkan murid-muridnya memegang kitab yang sama dan diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang belum dimengerti. Ada pula yang disebut “mengaji duduk” seperti yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari kepada anak cucunya, agar sampai kelak mewarisi kealiman bapaknya. Di samping itu, adapula pengajian maahad karena dilaksanakan pada hari ahad (minggu), atau manyanayan, manyalasa, maarba, mangamis, manjumahat, dan manyabtu sesuai dengan nama hari pelaksanaan pengajian,  yang mana murid hanya mendengarkan saja dan tidak menggunakan kitab, sedangkan guru menguraikan isi kitab yang dibacanya (Nawawi, 1992: 14).

Di Pesantren Salafiyah, kemampuan membaca Al-Qur’an sangatlah penting disamping bahasa Arab, karena di sini mereka diajarkan kitab-kitab Kuning. Kalaupun di awal para santri belum terlalu fasih makhrojal huruf atau tajwidnya, mereka diajari sampai mengusainya. Kitab yang dipakai untuk belajar tajwid umpamanya Kitab Hidayatus Shibyan yaitu salah satu kitab tajwid dasar yang diajarkan untuk para santri. Seterusnya mereka membaca kitab dengan aksara arab Melayu (huruf Jawi) dan kemudian kitab kuning yaitu kitab agama berbahasa Arab, tidak berharakat atau tanda baca. Pesantren Salafiyah boleh dikata lebih berorientasi kepada muthalaah kitab-kitab terutama kitab-kitab kuning, walau pada masa sekarang di sebagian Pondok Salafiyah maupun Pondok Pesantren Modern telah ada pembelajaran tahfidz Qur’an sebagai program ekstrakulikuler.

No comments yet

Tinggalkan komentar