Lanjut ke konten

JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah)

Mei 10, 2022

Oleh Wajidi

Barangkali banyak yang tidak mengetahui bahwa negara dan bangsa Indonesia lahir  adanya faktor sejarah. Begitupula halnya dengan Timor Timur, juga lepas dari pangkuan NKRI karena faktor sejarah.

Indonesia lahir karena historical accident.  Ribuan  pulau yang  terbentang dari barat ke timur sepanjang lebih dari 5000 km (setara jarak Moskow ke London)  dan didiami oleh 360 suku bangsa yang menggunakan lebih dari 300 dialek bahasa, dapat bersatu karena merasa memiliki  kesamaan “nasib” dan  “sejarah”, yakni dijajah dan menderita oleh penjajah yang sama, terutama oleh penjajahan Belanda.

Wadah persatuan, wilayah tempat bangsa Indonesia berada adalah wilayah Hindia Belanda sebagai hasil politik kolonial yang dipaksakan kepada daerah atau kepulauan nusantara yang dikuasainya. Pemaksaan itu, di satu sisi  telah menimbulkan penderitaan, tetapi akibat dari itu telah menimbulkan kesadaran senasib dan sepenanggungan sebagai sebuah bangsa.

Indonesia adalah sebuah persatuan politik, bukan persatuan yang didasarkan faktor keturunan atau kesamaan etnis atau primordialisme sebagaimana dilansir oleh Karl Haushofer  dalam Teori Persatuan Darah-dan-Tanah (Blut-und-Boden Theorie). Itulah mengapa etnis Papua yang berasal dari rumpun Melanesoid dapat bersatu dengan etnis lainnya di Indonesia.

Sebaliknya yang terjadi di Timor Timur, meski secara etnisitas mempunyai persamaan dengan penduduk Timor Barat (Provinsi Nusa Tenggara Timur), dorongan untuk melepaskan diri dari NKRI lebih mengakar karena mempunyai nasib dan sejarah di bawah penjajahan Portugis.

Perebutan  Pulau Sipadan dan Ligitan juga banyak diwarnai oleh data sejarah. Kedua belah pihak, baik Indonesia maupun Malaysia mengklaim berdasarkan peta-peta lama dan perjanjian yang pernah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dan Inggeris. Meski akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan kedua pulau itu jatuh ke tangan Malaysia, karena kehadiran Malaysia yang terus menerus di pulau tersebut. Begitupula halnya dengan klaim historis Tiongkok atas ZEEI di Laut Natuna Utara dengan alasan nelayan Tiongkok telah lama beraktivitas di perairan Natuna.

Sejarah pernah pula menjadi senjata bagi kelompok separatis  Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka beranggapan secara de facto Aceh tidak pernah dikuasai Belanda, dan  Belanda tidak berhak memasukkan Kerajaan Aceh merdeka sebagai daerah yang dikuasainya dalam Perjanjian dengan pihak Inggeris, dan apalagi diwarisi Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.

 Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1966 pernah menyatakan agar bangsa ini “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Atau biasa disingkat dengan JAS MERAH. Pesan singkat penuh makna dari sang founding father republik ini sekarang seolah tanpa makna. Sejarah pembentukan republik ini hanya dimaknai oleh yang tua renta, pejuang perintis dan veteran perang kemerdekaan yang kini sedikit tersisa.

 Di sebagian kalangan anak muda, sejarah tak ubahnya urutan tanggal dan peristiwa, menghormat bendera, atau  untuk sekadar diperingati sebagai momen seremonial. Sedangkan makna hakiki dari peristiwanya itu sendiri jarang diungkap atau bahkan sama sekali tak disentuh.

Hal yang seperti itu barangkali terjadi di berbagai lapisan masyarakat Kalsel. Banyak diantaranya yang lebih mengetahui sejarah nasional dibanding sejarah lokal. Bahkan ada menghubungkan  peristiwa  Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan 17 Mei 1949  dengan Stadion Olahraga 17 Mei di Banjarmasin. Lebih ironi lagi, ketika masyarakat lebih mengetahui siapa Jenderal Ahmad Yani atau Pangeran Diponegoro dibanding Brigjend H. Hassan Basry, Pangeran Antasari, Ir. P.M. Noor, DR. K.H. Idham Chalid (Pahlawan Nasional dari Kalsel).

Berbagai faktor menjadi alasan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap sejarah lokal, diantaranya lantaran kurangnya  bahan bacaan sejarah daerah Kalimantan Selatan yang terdapat di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Padahal banyak sebenarnya tokoh dan peristiwa lokal yang sebetulnya sangat berperan dan bermakna namun tidak mendapatkan porsi yang selayaknya  dalam sejarah nasional karena dipandang tidak sejalan, atau kalau tidak ingin dikatakan  bertentangan dengan kepentingan atau sudut pandang penguasa (baca: Orde Baru).

Sementara itu ada tokoh dan peristiwa dari  daerah lain  yang terlihat dominan dalam buku sejarah dan bahkan menjadi nama-nama  jalan di daerah ini. Sebut saja Jalan Ahmad Yani yang membentang dari Banjarmasin sampai Kabupaten Banjar. Beliau memang dikenal penentang komunis dan menjadi korban G 30 S/PKI. Akan tetapi, jangan dilupakan Brigjen H. Hassan Basry adalah tokoh lokal penentang komunis, bahkan dapat dikatakan seorang pionir karena selaku Penguasa Perang Daerah Kalsel ia telah melarang kegiatan PKI dan ormasnya di Kalsel pada tahun 1960 yang kemudian diikuti Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan.

 Bagi yang tidak mau mengambil pelajaran dari  sejarah, maka sejarah hanyalah masa lalu an sich,  bukan untuk masa depan.  Bagi mereka sejarah tidak perlu dipelajari, karena sejarah dianggap menjemukan.  Akibatnya, tanah dan air Indonesia, sebagai warisan sejarah para pendahulu tidak dikelola dengan baik. Sumber daya alam dieksploitasi habis-habisan tanpa peduli bahwa sumber daya alam itu amanah untuk anak cucu kelak.

Itulah mengapa seorang Kapten Purnawirawan M. Amin Effendi, seorang tokoh pejuang pertempuran  9 November 1945 di Banjarmasin, sebelum tutup usia berpesan agar rakyat Kalsel pintar-pintar mengelola sumber daya alam. Pesan itu barangkali lahir karena keprihatinan beliau melihat terkurasnya sumber daya alam seperti hutan dan batu bara, namun tidak memberikan kemakmuran yang berarti bagi rakyat Kalsel. Sejarah memang tidak memberikan materi, akan tetapi muatannya adalah guru bagi kehidupan, dan seyogyanya  pemahaman terhadap sejarah akan mendorong peningkatan  rasa tanggung jawab generasi penerus terhadap masa depan bangsa dan negara. Bagaimana menurut sampeyan?

No comments yet

Tinggalkan komentar