Lanjut ke konten

MENGKRITISI “KARAKTER ORANG BANJAR”

Mei 16, 2010

Oleh Wajidi

Saya beranggapan kalau kita membicarakan Budaya Banjar tidak mesti kita berorientasi kepada masa lalu dan mengabaikan manfaatnya untuk masa depan. Kita perlu mendiskusikan nilai-nilai budaya apa yang perlu digali, dikembangkan atau direkayasa untuk menopang kemajuan menuju kesejahteraan Kalimantan Selatan. Sebaliknya mungkin saja ada nilai-nilai budaya yang layak dihilangkan karena jika terus berkembang atau berurat berakar di masyarakat justru akan menghambat kemajuan.
Sebagian budayawan, sejarawan atau bahkan sosiolog berpendapat bahwa karakteristik orang Banjar digambarkan kepada dua hal:
(1) Memiliki sosok budaya demokratik-egaliter seperti budaya demokratik dalam kesamaan dan menanggalkan segala sifat hierarkis/paternalistik;
(2) Memiliki budaya dagang seperti sifat egaliter, mandiri, dan dinamis.
Persoalannya kini adalah haruskah kita masih menerima gambaran karakteristik masyarakat Banjar tersebut tanpa mengkritisinya bahwa seperti pada sosok budaya demokratik-egaliter dalam berbagai kasus terjadi di masyarakat justru mempunyai “sisi lemah” sebagai sebuah stigma negatif terhadap tabiat orang Banjar.
Mengapa demikian, karena karakteristik orang Banjar yang memandang manusia memiliki kesetaraan sehingga mereka memiliki sifat dinamis dan mandiri, justru terkesan susah diatur, susah diajak disiplin, bahkan “manimpakul” atau “mailung larut”. Hal itu tercermin dari berbagai kasus yang menyangkut tata krama dalam pergaulan, berpakaian, berlalu lintas, kebersihan lingkungan, dan lain sebagainya.
Beberapa tahun silam, seorang yang pernah menjabat Kapolda Kalsel pernah mengeluhkan bahwa lalu lintas kota Banjarmasin sangat semrawut dan masyarakatnya susah diajak disiplin berlalu lintas. Kalau di kota lain, ketika lampu kuning menyala pada traffik light pengguna jalan lantas berhenti, pengguna jalan di Banjarmasin justru menerobos.
Anehnya lagi, ketika lalu lintas bertambah padat timbul kebiasaan baru pada masyarakat kota yang bermukim di sepanjang jalan raya yakni malas mengubur bangkai atau membuang bangkai tikus ke jalan raya agar dilindas roda kendaraan dan kering diterpa sinar matahari.
Begitu pula halnya dengan budaya dagang? Benarkah masyarakat Banjar memiliki karakter budaya dagang dan kewirausahaan yang kuat? Seberapa banyak saudagar Banjar yang mampu bertahan sampai kini atau malah usaha perdagangannya semakin melemah atau malah bubar? Seberapa banyak pula para pengusaha Banjar yang bermunculan dan mampu berkiprah dalam perdagangan nasional, internasional, ataukah hanya pedagang kecil-kecilan yang lumrah terdapat di daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Saya mengajak sedikit menengok selintas sejarah perekonomian di Kalsel. Sejak zaman Belanda atau sesudah kemerdekaan banua kita mengenal sejumlah pengusaha/saudagar Banjar yang ternyata sejalan dengan perjalanan waktu banyak yang tidak lagi eksis.
Begitupula yang terjadi pada pedagang Banjar asal Alabio, Negara, dan Bakumpai dahulunya banyak berprofesi sebagai pedagang antar pulau, pulang pergi berlayar Banjarmasin- Surabaya, hampir tidak ada yang berkembang menjadi pedagang besar, seperti halnya NV Kalla, Grup Bakrie, atau pengusaha etnis Tionghoa, meskipun kita masih memiliki semacam saudagar Sulaiman HB, H.M Taher, H.M. Ramlan.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Memang diakui urang Banjar punya budaya dagang, namun di antara sesama pedagang kurang memiliki kemauan berkerjasama sehingga hanya sedikit yang menjadi pedagang/pengusaha besar. Yang terjadi malahan muncul persaingan yang tidak sehat. Sifat mandiri yang dimiliki orang Banjar, berimbas pada praktek bisnis kotor: “NANG JAYA KADA HANDAK BABAWAAN, “KALAU NYAMAN HANDAK NYAMAN SAURANGAN”, NANG BALUMAN JAYA KADA KAWA MALIHAT USAHA URANG MAJU HANDAK MARUNTUHAKAN”, “LAMUN HANDAK HANCUR LABIH BAIK HANCUR BARATAAN”. Nah, labaram
Karakter budaya dagang yang sangat memperhatikan “untung rugi” juga berimbas pada ritual keagamaan sehingga lebih memunculkan “kesalehan individual” dibanding “kesalehan sosial”. Banyak orang Banjar kaya raya yang naik haji atau umrah berkali-kali untuk meraih pahala yang dianggapnya mempunyai nilai yang lebih besar dibanding dengan menyantuni anak yatim piatu atau masyarakat fakir miskin.
Pangeran Antasari (Pencetus Perang Banjar 1859-1905) pernah berwasiat ”AGAR URANG BANJAR JANGAN SUKA BACAKUT PAPADAAN”. Boleh jadi wasiat itu lahir karena orang Banjar sejak dahulu kala memang suka bacakut, bahual, atau bakalahi sasama papadaan. Celakanya tabiat bacakut itu tidak hanya dilakukan orang jaba atau masyarakat kebanyakan, tapi juga dipertontonkan oleh pemimpin masyarakat. Dalam lintasan sejarah politik, kita mengenal sejumlah intrik politik dalam keluarga istana kerajaan. Dari zaman bahari sampai wayahini.
Di keluarga istana Kerajaan Negara Dipa terjadi pembunuhan oleh Empu Lembu (Lambung) Mangkurat terhadap dua orang keponakannya. Di Negara Daha terjadi perang antara Pangeran Temenggung dengan Raden Samudera yang berakhir dengan kemunculan Kerajaan Banjar Islam. Di istana Kerajaan Banjarmasin pernah terjadi perseteruan antara Pangeran Amir (pewaris sah tahta kerajaan) dengan Pangeran/Sultan Nata Alam, atau antara Pangeran Hidayatullah dengan Sultan Tamjidillah. Terakhir di awal abad ke-21, pernah terjadi intrik politik di lingkungan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yakni antara Gubernur H.M. Sjachriel Darham dengan Sekda H. Ismet Ahmad. Kebiasaan “bacakut papadaan” sudah saatnya dihilangkan karena justru akan menghambat kemajuan. Bagaimana menurut sampeyan?

23 Komentar leave one →
  1. elkisab permalink
    Mei 17, 2010 11:40 pm

    Salam, dalam blog ulun posting kembali tulisan lawasan tentang politik dan bacakut papadaan. terjadinya perubahan sikap dan budaya banjar yang mengalami degradasi tidak terlepas dari pengaruh global dan pertahanan budaya urang Banjar yang makin lemah. Filsafat kayuh jukung semakin pudar (depan belakang harus sehaluan, searah, setujuan, kayuh bersama mencapai tujuan, depan belakang boleh mengarahkan, seimbang). Semua itu, tentu bermuara kepada internalisasi pewarisan dan pendidikan budaya yang tidak berjalan, baik secara formal maupun nonformal. Sebab, nilai dan tata nilai budaya dianggap bukanlah faktor yang dianggap penting, ianya terkadang hanya signifikan dibicarakan dalam forum seminar, namun kemudian kehilangan jejak dalam realita. Semangat hidup ‘kuyang-kuyang, hantu-hantu = urang-urang, aku-aku’ adalah jarum yang telah menembus rasa dan pikiran banyak urang Banjar, dalam politik, ekonomi, sosial dan kehidupan bermasyarakat, dan bidang yang lainnya. Ke depan memang diperlukan revolusi budaya dan mengembalikan urang Banjar kepada budaya semula mereka tanpa tertinggal ‘lokal yang mengglobal dan universal yang berdasar’.

    sebuah analisis mendalam yang mencerahkan. terima kasih, kawan…

  2. syahieran permalink
    Mei 20, 2010 6:51 am

    Salah satu ciri dari dari masyarakat yang homogen, tentunya tidak hanya terjadi di daerah kita ini, tetapi juga di daerah lain bandingkan dengan kota yang masyarakatnya heterogen seperti Balikpapan dll.

  3. Bach permalink
    Juni 12, 2010 1:54 am

    Salam hormat,
    Budaya Urang Banjar mengalami pergeseran, jika dilihat dari perilaku yang datang dari pergesekan dengan perkembangan kota. Urang Banjar tidak begitu. Misalnya perilaku membuang bangkai binatang pengerat atau ayam. Perilaku ini biasa terjadi. Tidak hanya Urang Banjar. Menerbs lampu kuning, juga bukanperilaku asli masyarakat banjar yang dikatakan sulit diatur. Tidak benar, karena perilaku ini sekali lagi terjadi dimana-mana. Jadi tidak berbasis pada ciri khas urang banjar yang sulit di atur. O ma’e kada lah! (Ada cerita pelajaran bahasa Inggris: Serang anak yang minta sepeda motor ayahnya, yang diuji pemahaman anak ini. Jika lampu merah ? si anak jawab berhenti, Jika lampu hijau? Ya boleh jalan? Jika lampu kuning? Kita harus tekan gas dan jalan lebih cepat!!! (Mungkin lihat gaya abah nya!!) Dari cerita ini, maka sekali lagi bukan Urang banjar, nang kaya iitu…??
    Mungkin Urang Banjar:
    1. Suka yang detail.
    2. Suka ngbrol/ cerita (madihin; bamanda; bakisah dikalangan anak-anak ketika mereka sedang kumpul antar mereka)
    3. Suka ngeledek infrmal (dalam brolan, dibanding etnis lain, misalnya Jawa)
    4. Mudah jijik (slektif dalam memilih makanan di daerah berawa-rawa; misalnya saluang yang keluar faeces kuning, langsung dibuang. Pada hal ditempat lain cukup dicuci dan tetap dimasak)
    5. Berani tarung, karena status dan kehormatan (jika suami atau isteri berselisih dengan orang lain maka salah atau benar akan dibela.
    6. Kerjasama antar keluarga (baurak ahuei/ sekarang sudah pudar).

    Pergeseran memang banyak dilihat dimana-mana. Misalnya.. makanan.. Dari pasar teluk dalam sampai jembatan komkpleks PHB hanya ada 1 soto banjar atau sedikitlah ketimbang makanan khas. Digantikan makanan yang lain. Misalnya telah banyak yang suka lele.. he..he..
    terima kasih..

    dipikir2 pendapat pian tu ada jua bujurnya. namun yang jelas karakter dimaksud hanyalah berupa stereotipe orang Banjar yang bisa bujur atau bisa jua kada…

  4. Mamat permalink
    Agustus 27, 2010 7:32 pm

    Setelah setahun lebih saya tinggal di Samarinda, ada beberapa kesan yang saya dapat dari masyarakat Banjar di Samarinda. Karena banyaknya kejadian yang berulang-ulang, mau tak mau timbul stereotip dalam benak saya. Di Samarinda memang terdapat banyak juga etnis lain seperti Jawa dan Bugis, namun lebih baik saya sebut di sini stereotip karakter orang Samarinda (termasuk didalamnya orang Banjar, pendatang dari Jawa, dsb), a.l.:

    1. Secara informal, sifat kekeluargaan sangat menonjol dalam kehidupan bermasyarakat. Berteman dengan orang Samarinda sama menyenangkannya dengan orang di luar Samarinda. Dari segi keberagamaan, orang Samarinda adalah orang yang taat dalam beragama yang sifatnya konservatif.

    2. Orang Samarinda cenderung menghindari konflik saat melakukan kesalahan yang dilakukannya, yaitu dengan segera menghindar dari tatapan mata atau makian pihak yang menjadi korban kesalahan yg dilakukannya. Bukannya meminta maaf, mereka lebih suka kabur dan tidak mencoba menyelesaikan permasalahannya.

    3. Sifat individualis yang sangat kuat. Lihat saja saat mereka berdiri dalam antrian di depan loket, depan kasir rumah makan/toko, atau bahkan di depan lift. Logisnya dan secara etika yang benar, yang berposisi di depanlah yang paling berhak mendapat giliran pertama dalam antrian, tetapi orang2 ini sangat suka menyerobot giliran orang lain. Paling lucu mungkin kejadian2 di depan lift: seperti takut kehabisan tempat, orang2 Samarinda secara tergesa2 ingin segera masuk lift, padahal orang yang ingin keluar dari lift saja belum keluar. Alhasil yang mau keluar pun menjadi kesulitan. Sangat lucu jika kita lihat 🙂

    5. Dalam hal berlalulintas, orang Samarinda sangat tidak beretika: suka memotong jalan, mendahului dari kiri, angkot/taxi ngetem di badan jalan, pengendara sepeda motor dari jalan arah kiri masuk ke jalan utama tanpa melihat ke kanan, banyak anak kecil belum cukup umur untuk mengendarai sepeda motor suka kebut-kebutan, dan masih banyak lagi 🙂

    4. Sifat malas yang luar biasa. Malas dalam bekerja, malas berjalan kaki, malas mempelajari sesuatu yang baru, malas untuk mencapai target, malas dalam bercita-cita, menyebabkan mereka menjadi orang2 kalah di hampir semua bidang.

    Pesan saya, wahai teman2 di Samarinda, belajarlah dari masyarakat di luar daerah Anda. Belajar menghormati antrian, belajar beretika dan berlalulintas yang benar, belajar menundukkan ego, belajar mendahulukan orang lain, belajar giat dalam bekerja, hormati pejalan kaki, ubah pandangan bahwa orang lain ingin menjatuhkan Anda, camkan di hati dalam-dalam: itu karena rendahnya kualitas kerja, pikiran, kepribadian Anda sendiri. Hentikan kebiasaan menyalahkan orang lain, karena kualitas bekerja, pikiran dan kepribadiannya berada di atas Anda.

    Tanggapan di atas dapat dijadikan intropeksi diri bagi orang Banjar

    • didi permalink
      Februari 17, 2013 7:19 pm

      betul sekali………..saya sependapat,…dan satu lagi, konsumtif dan gengsinya super tinggi

    • Siti permalink
      Maret 21, 2013 3:21 am

      Wah ulun gin orang Samarinda, memang ada betulnya juga itu. Kadang kala perlu juga ya filsafat Kayuh Jukung digalakkan lagi, bukan untuk urang Banjar saja, tapi bubuhan Samarinda jua, agar baik jua attitude kita semua ini. Terima kasih share yang bermanfaat.

    • hady permalink
      Mei 24, 2013 7:03 am

      yang malas bukan orang asli samarinda itu orang pendatang

    • Mami permalink
      November 4, 2022 4:34 am

      Setuju. Bahkan parkir mobil saja bisa menyerobot😁

  5. bujur bujur bujur permalink
    Oktober 14, 2010 5:41 am

    setelah membaca tulisan diatas, banyak benarnya semoga dpt menjadikan intropeksi diri, bolehkan kah tulisannya ku copy untuk kupostingkan di FB (diskusi)

    boleh

  6. Oktober 16, 2010 11:59 pm

    Ulun ni kada suah datang ka Banua, jadi kada pati tahu kayapa ‘ budaya ‘ di situ. Sahibar handak mamadahkan kaum Banjar di Malaysia pada paringkat awal bahari bujur dianggap serung oleh orang / kaum lain.

    Napa nang tanyata orang Banjar wayah tu disambat orang pawanian banar. Aur handak manyuduk orang awan lading batati haja !. Soal manampiling orang hudah jadi kalakuan biasa… Jadinya orang Banjar hudah ‘ dicap ‘ ujar orang/ kaun lain sabagai ‘ ganas ‘.

    Bila kaadaan hudah baubah, banyak pacampuran bangsa pulang, orang Banjar di Malaysia wayahni kada lagi ‘ dicap ‘ kaya di atas. Orang Banjar wayahni sama haja awan orang/ kaum nang lainnya. Tagal….budaya Banjar hudah parak pupus akibat kaadaan kayaitu !

    Hal ini hudah ulun sambat di blog : http://banjarsungaiganal.blogspot.com/. Dimapatuai leh , hudah kahandakNYA . Jaman hudah baubah napa….

  7. November 26, 2010 5:56 am

    Salut.

    Bisa membicarakan karakteristik sendiri dan dengan terbuka menyatakan yang benar dan tidak, termasuk menerima kritik …bukankan itu juga karakteristik urang banua yang anda tunjukkan dengan posting dan diskusi ini?

    Salut!

  8. Hery Erdy permalink
    Oktober 27, 2011 9:49 pm

    Mantap ini saya senang membacanya, saya berdarah Banjar walaupun saya di lahirkan dan di besarkan dalam budaya jawa.. saya tidak faham benar karakteristik urang Banjar karena saya tidak banyak bergaul dengan urang banjar. tapi uraian disini dan komentar komentar yang ada menajdi bahan referensi penting tentang Banjar. terimakasih. by. Gusti A Nawawie – Malang- Ja-Tim

  9. November 5, 2011 1:16 am

    Assalamualaikum.
    saya baru 6 bulan tinggal di banjarbaru. saya asli sunda , saat awal saya berinteraksi dengan orang banjar saya cukup terkaget-kaget dengan banyak hal. Cara berbicaranya yang cepat dan terkesan ramai, sikap yang blak-blakan apa adanya ( mirip dengan org sumatera atau madura ) tapi tidak mudah sakit hati menurut saya dan malas( kurang aktif ) memang saya setuju. hal ini dibuktikan etos kerja dan kedisiplinan yang sangat berbeda dgn jakarta tempat dimana saya sebelumnya tinggal. tapi kecintaan mereka terhadap keluarga, kejujuran dan sikap penolong cukup dominan. masyarakat yang menarik dan unik. sejujurnya saya betah dan menikmati tinggal di banua ini.

    Walaikum salam….. 🙂

    • hady permalink
      Mei 24, 2013 7:12 am

      teteh, urang banjar itu apanya yang malas selama saya tinggal di banjar orang tua dan nenek saya selalu menerapkan disiplin yg tinggi seperti sholat 5 waktu dan mengaji

    • Sultan Hbb permalink
      Juni 11, 2017 8:15 pm

      Muhun teh, saya sepakat sekali dengan komentar ini. Saya kebalikan dari teteh, orang banjar yang tinggal di Bandung. Saya mengajukan jajak pendapat kepada barudak sunda tentang saya juga teman daerah saya. Kurang lebih seperti yang diutarakan teteh dominannya jawabannya demikian. Perlu ulun tambahkan jua, sifat tidak mau menerima kritikan masih melekat, bukannya introspeksi malah terkesan menantang. Contohnya dari balasan komen teteh ini, hehe.

  10. utami prastyo permalink
    Januari 1, 2012 1:53 pm

    menarik krna sy sudah tinggal 3 tahun di banjar, dan karakteristik yg disebutkan diatas memang yang sering saya temui di lingkungan sekitar saya, budaya tidak mau mengalahnya memang benar2 acapkali ditemui itu terjadi ketika berlalu lintas, menjalankan bisnis, mengantri, juga dalam kehidupan sehari2, tak jarang kadang membuat saya gemas sendiri hehehe, anak2 orang banjar juga sangat sangat konsumtif (mungkin krna terbiasa diberi uang banyak oleh orangtuanya) dan keras kepalanya itu loh, walah walah sering saya mendengar percakapan anak2 ini ketika temannya memberitahukan sesuatu jawabannya “Tau ae” padahal ketika saya perhatikan lagi ternyata belum paham. hmm tp anyway saya senang tinggal disini karena pada dasarnya orang banjar ramah terhadap pendatang dan tak membedakan antara pendatang atau penduduk asli

    ……tak membedakan antara pendatang atau penduduk asli. itulah sikap egaliter orang Banjar

  11. Maret 7, 2012 6:51 pm

    ngalih pang disambat….gampang larut hingga hilang, hingganya mun bakumpulan sasama bubuhan urang lain hingkat mangkoordinir, papadaan saurang kada kawa, cuba pang yang dari puhunnya disini mambari contoh yang kuat wan bubuhan saling batulungan dan manguatkan forum lembaga kabudayaan asli Banjar, jadi yang di parantauan kada hilang dari pangkal padahal banyak yang alim, ngalih maju basaing wan urang, promosi dlsb, kada da dukungan walau ada beberapa yg hibat mun tatap kada hingkat manulung yg lain, kasian…….makai bahasa hati tapi nyatanya artinya kada sampai dalam hingganya saolah sama haja. ( http://mahen-jambi.blogspot.com)

  12. September 27, 2012 10:45 am

    saya orang banjar yang merantau kuliah ke jogja dan bertemu dengan kalangan dari berbagai daerah. Dan saya setuju dengan yang anda maksud sebagai “kesalehan individual” . Banjar terkenal dengan warganya yang suka naik haji atau bahkan umrah. Bahkan ketika saya umrah, mudah sekali menemui dan mendengar bahasa banjar disana. Sedangkan tak bisa dipungkiri juga bahwa masih banyak warga miskin di banjarmasin yang membutuhkan bantuan dari masyarakat sekitar. Saya harap warga banjarmasin(termasuk saya) dapat menumbuhkan kesadaran lebih untuk berbagi kepada yang lain.

    Namun saya juga bangga karena di banjar begitu banyak mesjid atau langgar yang dapat ditemui disana sini. Sedangkan di jogja tempat saya sekarang mesjid masih agak kurang terlihat dibanding di banjar.

  13. choky permalink
    Mei 14, 2013 8:52 am

    Benar sekali yg dituliskan diatas budaya tak mau mengalah luar biasa dalam berkendaraan dijalan raya.. patuh dibanyu pank

  14. sony domarisko permalink
    Mei 4, 2014 12:23 pm

    orang banjar tu ngomongnya halus halus
    tak sangka lah kaau rupanya ditipu nya
    #korban penipuan org banjar

  15. Juli 23, 2014 8:15 am

    Salam kenal gan …

  16. Agustus 3, 2014 3:46 am

    mantap punya

  17. wirda permalink
    September 11, 2016 8:46 pm

    Takekeh2 Ulun membacanya…. Ujar Uma urang Banjar kali sudah bakumpul…harat banar! Bujur tu pang naik haji umrah Kawa bapuluh2 kali… Harat kalu ?!…baluman Amas Galang ditangan… Baju Hanyar…. Hehehehe… Kada manyambat pang lawan bubuhan Sorang…tapi cam tu pang…. #jangansariklah

Tinggalkan komentar