Lanjut ke konten

ORANG BANJAR MERATUS

Februari 28, 2010

“Orang Banjar Meratus” merupakan alternatif nama yang penulis wacanakan untuk menyebut orang Bukit atau yang sekarang populer disebut etnis Dayak Meratus. Alternatif nama tersebut bisa saja dipakai karena nama sebuah etnis bisa saja berubah dan diterima dengan baik oleh etnis yang bersangkutan. Seperti nama Dayak Meratus yang populer dalam beberapa tahun terakhir adalah sebutan lain dari etnis Bukit, terutama sejak meletusnya konflik antaretnis di Kalimantan Tengah, dimana etnis Bukit menunjukkan rasa solidaritasnya kepada etnis Dayak dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari Dayak dengan nama Dayak Meratus.

Penamaan “Banjar Meratus” sebagai alternatif nama lain dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa orang Bukit yang tinggal di pegunungan Meratus sebenarnya “lebih Banjar” dibanding Dayak? Hal itu dapat dilihat dari beberapa relasi antara keduanya (Bukit-Banjar).

Pertama, dalam hal asal muasal orang Banjar. Berbagai kajian para pakar seperti Noerid Haloei Radam dalam disertasinya “Religi Urang Bukit”, menunjukkan bahwa orang Dayak Meratus memiliki “hubungan genealogis” terutama dengan orang Banjar Hulu. Menurut Noerid Haloei Radam, sejumlah puak seperti Bukit, Ngaju atau Ma’anyan dari kalangan masyarakat peladang yang sebelumnya mendiami kawasan hilir DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito dan atau DAS Martapura telah melakukan kontak yang intensif dan aktif dengan dunia luar.

Merekalah pembawa perubahan dalam arti yang sebenarnya. Ketiga kelompok etnis tersebut (Bukit, Ngaju, dan Ma’anyan) merupakan orang Banjar Asli yang dinamakan dengan Banjar Arkais dengan segala aktivitas perkembangan berikutnya. Diantara ketiga puak itu, orang Banjar Arkais dari unsur Bukitlah yang lebih mendekati sebagai nenek moyang orang Banjar Hulu atau nenek moyang Dayak yang bermukim di pegunungan Meratus.

Masyarakat Banjar Arkais tersebut mampu beradaptasi dengan segala perubahan dari dunia luar, termasuk mengadopsi, mengolah dan mengembangkan informasi seperti bahasa yang kemudian memunculkan Bahasa Banjar Arkais yang kosa katanya lebih banyak berasal dari Bahasa Melayu Kuno. Bahasa Banjar Arkais itu berkembang selanjutnya menjadi Bahasa Banjar Modern akibat sentuhan yang intensif oleh Kebudayaan Melayu Islam melalui tulisan-tulisan Arab-Melayu.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Noerid Haloei Radam, menurut Alfani Daud (1997) orang Banjar modern itu terbentuk dari adanya pertemuan dan percampuran antar kelompok Ngaju, Ma’anyan, dan Bukit yang menghasilkan tiga kelompok subetnis, yaitu Banjar Kuala, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Pahuluan. Ketiga subetnis inilah yang sekarang disebut Etnis Banjar.

Kedua, relasi genealogis. Dalam foklore berupa mitos yang berkembang di kalangan etnis Dayak Meratus di daerah pegunungan Meratus Kabupaten Tapin disebutkan bahwa antara orang Meratus dan orang Banjar Hulu khususnya berasal dari satu rumpun induk yang sama yakni keturunan dua kakak beradik (bahasa Banjar: dua badangsanak) Intingan (Palui Anum) dan Dayuhan (Palui Tuha). Keduanya berasal dari desa Banua Halat. Versi dari Dayak Meratus di Loksado mereka bernama Bambang Basiwara dan Si Ayuh (Sandayuhan).

Menurut cerita orang-orang tua Banua Halat Kabupaten Tapin , dinamakan Banua Halat karena di masa awal perkembangan Islam di Kalimantan Selatan khususnya di daerah merupakan kampung yang membatasi tempat tinggal masyarakat yang memeluk agama Islam dengan masyarakat yang tetap bertahan dengan kepercayaan lamanya.

Ketika Islam masuk ke Banua Halat, Intingan tertarik dan menyatakan meninggalkan kepercayaan lamanya dengan memeluk agama Islam. Sedangkan saudaranya Dayuhan beserta keluarga dan pengikutnya yang tetap berkeinginan mempertahankan kepercayaan dan adat istiadat nenek moyangnya, berpindah ke daerah terpencil di pegunungan Meratus. Keturunan Dayuhan membangun desa-desa di Mancabung, Harakit, Balayawan, dan Danau Darah di pegunungan sekitar Tapin.

Desa Banua Halat menjadi daerah perbatasan antara kedua bersaudara tersebut, namun demikian Dayuhan dan keturunannya tetap menganggap Intingan dan anak cucunya sebagai saudara kandungnya dengan panggilan “Dangsanak” yang artinya “Saudara Kandung”.

Ketiga, kesamaan bahasa. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa bersandar pada mitos, mantera suci, dan berbagai bentuk peralatan upacara menunjukkan bahwa orang Dayak Meratus yang sekarang bermukim di pegunungan Meratus, nenek moyang mereka dahulunya berasal dari tepian sungai dan pesisir pantai.

Kesimpulan itu juga didukung oleh alat pelacak utama perkembangan suatu kaum yakni fakta-fakta kebahasaan. Bahasa Banjar mempunyai dua dialek bahasa yaitu Bahasa Banjar Kuala dan Bahasa Banjar Hulu.

Menurut Noerid Haloei Radam (1987) bahasa orang Dayak Meratus dan bahasa Banjar (Hulu) merupakan dua bahasa yang berasal dari satu rumpun yang sama yakni Bahasa Banjar Arkais. Atau dalam istilah lain bahasa yang digunakan orang Dayak Meratus dan orang Banjar Hulu hanyalah dua intonasi (aksen) dari satu bahasa yakni Bahasa Banjar Hulu.

Pernyataan Radam itu selaras dengan pendapat para ahli lainnya seperti Hammer (dalam Cense dan Uhlenback, 1958), Aspandi Adul (1975), dan Abdurrahman Ismail dkk., (1979), dan Alfani Daud (1997) yang pada intinya menyatakan hal sama. Kesimpulan para ahli itu tentu saja telah melemahkan pendapat Tjilik Riwut dalam bukunya “Kalimantan Membangun” yang memasukkan kelompok orang Bukit di pegunungan Meratus ke dalam kelompok Dayak Ngaju, dengan menyebut mereka sebagai “Dayak Bukit”. Padahal bahasa orang Bukit sangat berbeda jauh dengan bahasa orang Ngaju.

Hasil penelitian kebahasaan dewasa ini juga menjelaskan bahwa Bahasa Banjar Arkais adalah bahasa yang tertua di samping Bahasa Melayu Sambas, Melayu Brunei dan Bahasa Iban (Radam, 1996). Meski disadari pula bahwa Bahasa Banjar juga serumpun dengan Bahasa Melayu dan kedua-duanya termasuk ke dalam rumpun kebahasaan yang besar yakni Bahasa Austronesia.

Di segi kebahasaan terdapat fakta-fakta berupa istilah-istilah/nama peralatan upacara etnis Dayak Meratus yang merujuk pada kehidupan di muara sungai atau di daerah pesisir pantai, seperti: perahu malayang (perahu terapung-apung), tihang layar (tiang layar), dan balai bajalan (balai berpindah-pindah). Orang Dayak Meratus juga mempergunakan istilah yang berkonotasi dengan sungai dan laut untuk menyebut huma sebagai pulau (laut tempat berlayar, dan laut tempat memohon. Mereka menyebut kegiatan menanam padi sebagai kegiatan mengantarkan padi tulak balayar (pergi berlayar), dan kegiatan balian batandik (balian menari) dalam upacara ma’anyanggar Banua (upacara melindungi kampung dari marabahaya) disebut balian bakalaut (balian pergi ke laut).

Keempat, sistem Keyakinan. Alasan kultural yang menunjukkan bahwa orang Dayak Meratus bukanlah “orang gunung” sebagaimana yang banyak disangkakan orang selama ini adalah sistem keyakinan. Dalam hal ini, Noerid Haloei Radam mencatat bahwa di kalangan orang Dayak Meratus Bukit dikenal adanya tiga kelompok roh pemelihara kawasan pemukiman dan tempat tinggal, yaitu Siasia Banua, Bubuhan Aing, dan Kariau yang umumnya berkaitan dengan daerah perairan pantai yang sekarang dihuni oleh orang Banjar Hulu dan Banjar Kuala.

Hasil penelitian Noerid Haloei Radam menunjukkan bahwa hingga sekarang belum ditemukan folklore orang Dayak Meratus berupa mite, legenda, dan dongeng yang di dalamnya berisi petunjuk bahwa nenek moyang orang Dayak Meratus berasal dari daerah pegunungan tertentu. Justru sebaliknya, banyak sekali ditemukan folklore orang Meratus yang menurut hasil kajian/analisis Radam justru berisi petunjuk bahwa nenek moyang mereka berasal dari suatu dataran rendah di suatu muara sungai yang terletak di tepi laut.

Para tetuha orang Dayak Meratus memang mengatakan bahwa nenek moyang mereka dahulunya tinggal di kampung-kampung yang sekarang ini telah dihuni oleh orang Banjar. Kepindahan nenek moyang mereka ke gunung-gunung dilakukan dengan memudiki sungai-sungai guna menghindarkan diri dari konflik sosial, politik, ekonomi, dan agama dengan orang Banjar yang lebih unggul posisi tawarnya.

Kolektif bahwa orang Dayak Meratus pada mulanya tinggal di dataran rendah juga didukung oleh Alfani Daud (1997) yang menyatakan bahwa orang Dayak Meratus yang ada sekarang kemungkinan adalah sisa-sisa dari imigran Melayu gelombang pertama (proto melayu) yang terdesak ke pegunungan Meratus oleh kedatangan kelompok imigran yang datang belakangan (deutro melayu). Oleh karena mereka dahulunya migran Melayu yang datang lebih awal, maka bahasa mereka adalah bahasa Banjar kuno.

Selain itu, dalam hal sistem penguburan, apa yang dilakukan orang Dayak Meratus tidak berbeda dengan orang Banjar umumnya yang beragama Islam, yakni dikubur langsung ke dalam tanah. Yang membedakan keduanya, hanyalah doa-doa yang digunakan sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Sistem penguburan yang dilakukan Dayak Meratus justru sangat berbeda dengan sistem penguburan sekunder yang ada pada etnis Dayak pada umumnya, karena etnis Dayak Meratus, tidak mengenal “penguburan kedua” yakni upacara penghantaran roh dan wadah kubur seperti yang terdapat upacara Tiwah, sandong, dan marabia.

Jika sekarang ini, orang Dayak Meratus lebih memposisikan diri mereka sebagai bagian dari “Dayak”, maka dengan mengacu kepada “hubungan kekerabatan” yang dimiliki keduanya, posisi itu dapat digeser dengan menjadikan mereka sebagai bagian dari “Banjar” yang mempunyai kekhasan tersendiri, seperti religi, adat istiadat, dan bertempat tinggal dipegunungan Meratus. Posisi “Banjar Meratus” di sini merupakan sebuah subetnis dari etnis Banjar, di samping subetnis Banjar Kuala, subetnis Banjar Hulu (Pahuluan), dan subetnis Banjar Batang Banyu. Sebagai subetnis dari etnis Banjar, maka mereka dapat dipanggil dengan sebutan “orang atau bubuhan Banjar Meratus”, seperti halnya panggilan orang atau bubuhan Banjar Hulu, bubuhan Banjar Kuala, dan bubuhan Banjar Batang Banyu.

13 Komentar leave one →
  1. Siti Fatimah Ahmad permalink
    Maret 2, 2010 1:34 am

    Assalaamu’alaikum

    Suatu informasi yang cukup mantap bagi saya yang menjadi anggota bumi Malaysia yang menduduki Kepulauan Borneo dan menjadi jiran kepada penduduk di Kalimantan Tengah.

    Walau banyak bahasa yang sukar difahami maknanya ketika menyusuri setiap bait kalimah yang dihamparkan… saya tetap berusaha untuk mengetahui apa yang cuba saudara maklumi sebagai usaha membentang ilmu pengetahuan secara ilmiah berhubung sejarah sesuatu bangsa.

    terima kasih dan salam mesra selalu. Semoga terus berkarya dalam menumbangkan hikmah di maya pada ini.

    Sarikei, Sarawak Bumi Kenyalang, MALAYSIA.

    Wa’alaikum salam. Terima kasih atas kunjungan dan dorongan saudari untuk terus berkarya. Semoga tulisan-tulisan kita bermanfaat dan bernilai ibadah, kelak. Salam dari saya di Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.

  2. Maret 5, 2010 9:01 am

    Bagus blog pian nih cil ai gasan bahan bacaan bubuhan banjar. ini blog ulun nah. lain blog ilmiah pang cil ai. maklum ja…

    Sahibar handak manulis banarai. sabujurnya manulis tu kada handak dinilai atawa dipuji. Jadi tulis haja, di blog, surat kabar, majalah. Apalagi kada samua urang bisa atawa tabiasa, apalagi urang banjar khususnya di kampung nang katuju “mawarung” lamun bapandir paharatnyalah sudah, namun imbah manulisnya balum tantu kawa. bagusnya harat bapandir harat manulis. datu kalampayan yang telah mempelopori “budaya tulis” dengan karya-karya tulisnya di abad ke-18 silam, seharusnya menjadi panutan kita agar urang banjar pandai dan rajin menulis…

  3. publisher permalink
    Maret 10, 2010 7:07 am

    mampir…salam kenal

  4. April 15, 2010 11:56 pm

    Tidak cukup mudah memberikan label baru terhadap Masyarakat Meratus (Baca: Bukit) seperti yang diinginkan oleh Anda, karena selama ini baik orang Banjar Kuala maupun Banjar Hulu biasanya menyebut mereka sebagai orang Bukit yang disadari atau tidak kata “Bukit” tersebut telah memberikan citra sebagai masyarakat terkebelakang dibandingkan dengan tetangga mereka orang Banjar kebanyakan. Memang benar adanya konflik bernuansa SARA pada masa lalu telah menimbulkan jati diri baru yang membuat mereka bangga sebagai bagian dari Suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan ketimbang bagian dari Suku Banjar, Kecuali ada usaha intensif mereka dilibatkan dalam proses pembangunan daerah ini.

    Betul…memang tidak cukup mudah

  5. Mei 7, 2010 10:28 am

    umpat ba pander ai ulun amun pakacil ma manyampaikan bahwa ngaran buhan Bukit ba ganti lawan buhan Meratus ta sangkut paut lawan ka jadian Sampit tahun 2001, ulun pikir pian kada pas. kabalujuran ulun tahu kajadian ba ubahnya ngaran tu….
    amun ulun kesahkan panjang pakacil ai, awal kesah tu buhan tuha’an di gunung jua nang handak banar ma ubah galaran buhan bukit manjadi buhan Maratus, akhir tahun 1997 ulun lawan kawanan ba ulah wadah ba kumpulan nang kami ngarani Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, mudahan pakacil tahu…. ulun di amanahi manjadi pimpinannya. waktu kami ka Mangkiling, kabalujuran ulun tumatan tahun 1986 sudah ka tuju ba lalah ka gunung Halau-halau…waktu itu ulun di kawani uleh Makurban buahn Qiu..jadi sudah ba kawan lawas sampai tahun 1998 tu.
    ringkas kisah, sa tahunan kami turun naik ka mangkiling dan sekitarnya, ada ta takunan buhan tuha’an di Mangkiling, nah buhannya kada hakun di ki’au buhan Bukit. ujar tuha’an Musa, kaka Ibu Sumiati (dahulu sidin Kades)kaya apa supaya buhan banua kada lagi mangi’au kami urang Bukit. ulun ba takun kanapa buhan pian kada hakun lagi?, ujar sidin, rasa ta hina amun buhan banua mangi’au kami urang Bukit. lalu ulun padahkan lawan tuha’an tu, sa bujurnya itu panghargaan hagan buhan pian, karana buhan amarika aja suka lawan urang Bukit. lalu tuha’an ba kesah, ujar sidin dahulu tu buhan balanda amun sangit-sangit lawan buhan banua, inya manyambati “dasar urang bukit”, kami ni bujur ja kada sakulah, kada tapi pintar tapi jangan jua buhan kami jadi umpama hagan buhan banua kalau ba sasarik.

    supaya pakacil tahu, ulun lawan kakawanan parnah mambawa’i buhan tuha’an di gunung supaya amun ba panderan lawan papada an buhan sidin di gunung ma makai bahasa Bukit, ulun kesahkan di Kapuas, buhannya ta tarusan ma makai bahasa kapuas “bijaju/Ngaju” sampai wayah ini.
    sampatan dua tiga bulan, imbah itu buhannya kada lagi ma makai bahasa Bukit.
    Buhannya ba karas supaya sambatan urang bukit di ganti lawan Urang Maratus, nah… ada jua tukuh di banua hantakan nang rancak ka Mangkiling, ngaran sidin Anwar.. sidin ini jua umpat ma usulakan mangganti sambatan urang bukit tu.

    kami jua, ba tukar pikiran lawan buhan tuha’an di banua, kaya Alm Bapak Noerid HR, dan Bapak Abdurrahman SH, MH. buhan sidin ni kada jua manyual, manyuruhakan kada jua, ujar sidin, amun buhan tuha’an di gunung ba kahandak cuba pang kita ba panderan dulu..
    lalu ba tamuan babarapa urang tumatan gunung… ringkas kesah, ta jadi “Seminar” tentang Dayak Bukit jadi Dayak Maratus, kajadiannya di UNLAM tahun 1998 akhir, waktu itu Bapak Noerid HR ga garingan, kada lawasn imbah itu sidin maninggal. sa ingat ulun sidin ni nang karap ba pader masalah urang bukit – Maratus dimana aja kalau ada dibari ka sampatan.
    Tahun 1999 bulan Maret, ada saruan tumatan buhan Jakarta gasan kami ma umpati Kongres Masyarakat Adat Nusantara (wayah ini manjadi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN, waktu itu ulun mambawa tuha’an Galimun, Musa, Bapak Midu Basmi dan Ibu Sumiati, buhan ba ampat inilah nang ma wakili buhan gunung. buhannya manganalakan Dayak Maratus di hadapan urang banyak…….
    sawatan ba ulah kar/peta diwadah buhan mangkiling, datar ajab, batukambar, qiu dan juhu..

    Amun pakacil masih ingat, buhan tuha’an di gunung sawatan ribut sual kodeco….

    Tahun 2000, ulun ba pindah ka Buntok…., tapi ulun sawatan mambawai buhan a’anuman kaya Zonson Maseri, Siwan, Uji dll ba gabung lawan LPMA, waktu itu motto kami, “Bahaup Pacang Banahap” ini ulun saurang nang ma ulahnya dan di ka tujui lawan kawanan.

    tahun lalu ulun mandapat kesah bahwa buhan Zonson lawan Siwan sudah jadi SH, ini berarti LPMA bujur-bujur tawujud, walaupun ka dari buhan LPMA nang mambari i duit gasan buhannya sakulah, paling kada mambuka pamikiran gasan buhannya.

    Ta tinggal kesah, tahun 2002 ada urang Amarika datang ka Banjarmasin, inya sangit lawan LPMA, nah ulun ta singgung, sakalinya urang ini lawas ba diam dan balajar di Juhu, inya panaliti masalah antropologi ujar. ngarannya Anna LZ, sangitnya urang ini marga baganti urang bukit manjadi urang maratus, karana dalam buku nang inya tulis tu mamadahkan tentang urang bukit. waktu itu, ulun ba takun, apa nang sidin bari lawan buhan Juhu, sakalinya urang ini ma lajari pambakal juhu bahasa inggris, inya balajar bahasa bukit… tapi pas bukunya dijual, pinanya kada igul-igul lagi lawan buhan maratus, pas tahun inya sarik. ujar ulun kada adil jua sidin ni…..

    ulun ba ampih ja ba kesah, kaina lagi…

    salam

    Achmad Harbandi

  6. Mei 7, 2010 10:46 am

    Manyambung sadikit kesah tadahulu…
    Buhan LPMA dahulu sampatan ba ta takunan kesa sejaraha buhan Maratus, nah kesahnya tu ditulisakan uleh Edwar Mosadiq (Awai), al kesah jar tuha’an di gunung ada dua urang badangsanak, ngaranya dayuhan dan intingan….Nah Kesah ini diulah manjadi Buletin “Balian”….di tulis mamakai cara nang bungas,.. amun pakacil sawatan mancari buletin tu bagus banar. Kesahnya ba sambung, mulai dari awal kajadian Dayuhan dan Intingan, sampai kadatangan buhan Lambung Mangkurat….., si Awai ni urangnya bisa an ba ulah tulisan… ulun ka pikiran handak mambuku akan kumpulan kesah-kesah tu… ma ingat tuha’an di gunung mulai ba kurang urangnya…..

    Lamun masih ada Buletin Balian-nya nang baisi kisah Dayuhan-Intingan, habari ha lah…kaina ulun tukari…syukur lagi lamun dibari-i ….

  7. syahranie permalink
    Mei 12, 2010 1:30 am

    Kalau Sdr.Ahmad Harbandi cermati tulisan pada tanggapan kami dalam artikel ini jelas yang saya maksud adalah penegasan jati diri masyarakat bukit bukan perubahan identitas diri dari yang semula menggunakan istilah orang bukit menjadi dayak Meratus, karena menurut saya tanggapan sdr tsb lebih menitikberatkan kepada istilah identitas diri yang menurut saya kedua istilah tersebut berbeda arti yaitu Jati diri adalah sesuatu Sesuatu yang menggambarkan secara esensial tentang seseorang atau komunitas seperti karakter, sifat, watak, kepribadian dan moralnya sedangkan identitas diri adalah Suatu atribut yang dilekatkan pada seseorang atau komunitsitas dan dapat dikenali secara lahiriah, jelas dan pasti. Orang Inggeris dan Orang Amerika (USA) mempunyai identitas yang sama yaitu sama2 menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapannya tetapi jati diri bangsanya berbeda. Persoalan masyarakat Meratus berkeinginan untuk tidak disebut sebagai orang bukit dan lebih senang disebut dayak meratus adalah persoalan identitas seperti halnya keinginan sdr. Wajidi dalam tulisan ini yang mewacanakan identitas barunya dengan istilah “Orang Banjar Meratus” yang jelas di tahun 70an saya hanya mengenal istilah Orang Bukit untuk masyarakat Meratus dan Orang Biaju untuk orang dayak yang berada disekitar S.Barito (belakangan disebut Ngaju). Kira2 Demikian, mungkin ada teman2 yang lain bisa mengoreksi tanggapan ini apabila ada kurang tepat. terima kasih.

    wacana dan informasi yang mencerahkan

  8. Maret 24, 2011 1:37 pm

    tunggu aja bentar lagi akan saya uploadkan photo2 pantai mangkiling thn 2011 dan perkembangannya.

  9. galuh ratna permalink
    Januari 20, 2012 7:01 pm

    katuju banar membaca menganai orang/suku banjar,,,juga sangat bagi bermemfaat bagi anak cucu kita ,,,,taruskan haja berkarya ,,,,

  10. Syaharuddin permalink
    Januari 30, 2013 1:26 am

    Hal plg ptg dlm mengkji identitas banjar saat ini adlh bhwa org banjar itu dicirikan dg karakter terbuka, kompetitif n kompromis (anis,2013)..dlm bdg agams, budaya, ekonomi n politik…bagian ini yg ptg d eksploirasi lbh dlm drpd membincang soal irg banjar sec geneologi stsu identitas.

    Kalau dicermati, tulisan di atas bukan tentang urang Banjar melainkan tentang “urang Dayak Meratus” namun karena adanya berbagai kesamaan dengan urang Banjar Hulu—oleh karena itu saya menyebutnya “Orang Bukit ‘lebih Banjar” Dibanding Dayak?” (lihat: https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2009/03/11/orang-bukit-%E2%80%9Clebih-banjar%E2%80%9D-dibanding-dayak/) maka saya wacanakan untuk menyebutnya dengan nama “urang Banjar Meratus”. Secara khusus tentang urang Banjar dapat dilihat dari tulisan saya yang diposting tanggal 6 Mei 2011, berjudul: “LEBIH SEPERTI SALAD BOWL (Lagi, Urang Banjar dalam Sejarah), lihat https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2011/05/06/lebih-seperti-salad-bowl-lagi-urang-banjar-dalam-sejarah/. Atau lihat pula https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2010/12/01/asal-usul-etnis-banjar/. Tulisan tentang karakter orang Banjar sebagaimana sdr maksud juga sudah saya posting dalam blog ini tanggal 16 Mei 2010 dengan judul: mengkritisi “karakter” orang Banjar. Lihat https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2010/05/16/mengkritisi-%E2%80%9Ckarakter-orang-banjar%E2%80%9D/

  11. Syaharuddin permalink
    Januari 30, 2013 1:38 am

    Utk mengetahui perkembangan nasionalisme Urang Banjar pd periode 1912-1942 mgkn Anda dpt mmbc buku hasl tesis saya di ilmu sejarah UGM dg judul: Orang Banjar Menjadi Indonesia:Dinamika Organisasi Islam di Borneo Selatan, 1912-1942.dpt diperoleh d tk buku Riyad Banjarbaru, staf prodi p.sejarah fkip unlam, staf prodi IPS SPs Unlam Banjarmasin.

  12. Januari 30, 2013 1:42 am

    Mohon info kawan2 yg tahu zuriat Ir. PM Noor….utk rencana riset disertasi..trmksh.

  13. Abdullah permalink
    Juli 22, 2019 9:44 pm

    Mohon infonya, apakah pian ada beisi dokumen berupa jurnal terkait bahasa Dayak Meratus ini?, terima kasih.

Tinggalkan komentar