Lanjut ke konten

MALUKA, KINROHOSI, DAN ROMUSHA

Januari 5, 2010

Oleh Wajidi

Maluka (sekarang Maluka Baulin) adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kurau Kabupaten Tanah Laut. Desa ini berada di daerah aliran sungai Maluka (Sungai Kurau) yang berada tidak jauh dari daerah aliran Sungai Bahau. Jarak Maluka dari pantai Laut Jawa ± 2,5 km, dan dari Maluka ke Sungai Kurau ± 10 km. Sedangkan jarak Maluka ke Pelaihari ± 65 km.
Berdasarkan Data Profil Desa tahun 2003, desa Maluka mempunyai luas 427,50 ha. Secara administratif, desa Maluka Baulin berbatasan sebelah timur dengan Desa Bengkulu, sebelah barat Desa Bawah Layung (Sungai Bahau), sebelah selatan dengan Desa Raden, dan sebelah utara dengan Desa Tambak Karya dan Tambak Srikandi.
Eksistensi Maluka tidak terlepas dari sejarah penjajahan (kolonialisme dan imperialisme) Belanda, Inggris, dan Jepang di Kalimantan Selatan. Dalam sumber-sumber kolonial, Maluka biasanya ditulis dengan sebutan Molucco, Moluko, Molukko, Maloekoe, atau Maloeka. Tinggalan utama yang terdapat di Maluka adalah berupa lokasi bekas bandar udara (Bandara) peninggalan tentara Jepang.
Eks Bandara Maluka kini dikembangkan oleh TNI Angkatan Udara menjadi lapangan tembak dari udara ke darat Air Weapon Range (AWR) dengan nama “AWR Dwi Harmono.” Lokasi AWR ini berjarak sekitar 60 Km dari Lanud Syamsudin Noor dengan luas tanah 996 Ha. Posisi 114º 39’ 09” E, 03º 41’ 44” S / 17 NM from BDM–VOR Radial 208º elevasi 64 feet.

Keberadaan tentara pendudukan Jepang di Maluka berkaitan dengan ”Perang Asia Timur Raya” atau ”Perang Pasifik”, antara pihak Jepang sebagai sekutu Jerman di Asia dengan pihak sekutu pimpinan Amerika Serikat (ABDA) dan Inggris (ABCD).
Meletusnya Perang Pasifik yang dipicu oleh serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat Pearl Harbour di Hawaii pada 7 Desember 1941, mengakibatkan Belanda sebagai sekutu Amerika Serikat terlibat dalam perang untuk mempertahankan jajahannya (Hindia Belanda) dari serbuan tentara Jepang.
Gerakan invasi tentara Jepang ke Hindia Belanda tidak langsung merebut pulau Jawa dengan Jakarta sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Hindia Belanda, tetapi mereka lebih dahulu merebut pulau Kalimantan untuk mendapatkan sumber-sumber minyak tanah yang terdapat di Tarakan, Tanjung dan pabriknya di Balikpapan. Kesatuan-kesatuan yang diturunkan atau diterjunkan ke Kalimantan adalah Rikugun atau Angkatan Darat dan Kaigun atau Angkatan Laut yang diberangkatkan dari Davao Philipina Selatan.
Penguasaan medan di Kalimantan Selatan telah dilakukan oleh para mata-mata Jepang yang sejak puluhan tahun berada di daerah ini sebagai dokter gigi, tukang potret, pengusaha perkebunan karet, pengusaha toko, nelayan dan lain-lain, yang semuanya melakukan tugas mata-mata atau spionase bagi negerinya, sehingga sangat membantu dan mempermudah operasi militernya ke daerah ini.
Daerah Tanah Laut tidak terlepas dari kegiatan mata-mata Jepang itu, mereka itu berprofesi sebagai pengusaha. Pengusaha Jepang itu bernama Yamada yang memiliki perkebunan karet di Maluka, Pelaihari. Keberadaan perkebunan karet di Maluka itu melengkapi perkebunan Hayup di Tanjung, Tanah Intan dan Danau Salak di Martapura yang dikelola pengusaha Eropa.
Adanya perkebunan karet milik pengusaha Yamada di Maluka itu selaras dengan informasi seorang pekerja karet pada masa penjajahan Jepang bernama Timun (95) yang mengatakan bahwa di Maluka dahulu merupakan wilayah kebun karet, sayur tetapi tidak tanahnya tidak cocok untuk kopi. Sampai sekarang keberadaan perkebunan karet yang hanya ± 500 meter dari pusat desa Maluka.
Pada April 1940, orang-orang Jepang yang tinggal di Kalimantan Selatan telah dipanggil pulang ke tanah airnya. Diantara mereka terdiri dari pengusaha perkebunan Danau Salak dan Pelaihari, pimpinan pabrik perkaretan Nomura, pengusaha Toserba N. Abe dan Takara Yoko, dokter Kojin Kan, dokter gigi Shogenji, tukang cukur dan tukang potret (photografer) Hashimoto, dan lain-lain. Usaha-usaha yang mereka tinggalkan dipercayakan kepada karyawan-karyawan bumiputera.
Sesudah Negeri Belanda diduduki Jerman tanggal 10 Mei 1940, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan negara dalam keadaan perang. Di Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan dan militer, mulai terlihat kesibukan-kesibukan menghadapi perang. Guna menghadapi invasi Jepang, Belanda sibuk melakukan mobilisasi guna memenuhi tambahan tenaga militer. Mobilisasi ini terjadi di tiap-tiap kota seluruh Hulu Sungai dan sebagai pusatnya di Banjarmasin. Mereka mengadakan latihan perang-perangan sehingga Belanda betul-betul sudah siap menghadapi kedatangan Jepang.
Belanda juga memperbaiki Lapangan Terbang Ulin yang telah dibangun pada tahun 1936. Lapangan ini diperbaiki dan dipersenjatai dengan senapan mesin Lewis 3 buah, sebagai alat penangkis serangan udara. Selain itu terdapat pula Lapangan Terbang Dayu dekat Buntok, Kanres dekat Ampah dan Lapangan Terbang Kotawaringin.
Balatentara Jepang ini tiba di daerah Kalimantan Selatan melalui dua jalan, yakni bala tentara yang berjalan kaki dari utara, dan yang tiba dengan kapal laut mendarat di Jorong. Pasukan yang berjalan kaki adalah pasukan Angkatan Darat (Rikugun) yang berasal dari Balikpapan terus berjalan dan ada yang bersepeda menembus route Muara Uya, Tanjung, Amuntai, Barabai, Kandangan dan seterusnya mereka sampai di Banjarmasin pada tanggal 13 Februari 1942. Sedangkan pasukan yang melalui jalan laut dan mendarat di Jorong adalah yang berasal dari kesatuan Angkatan Laut (Kaigun) yang tiba Pelaihari tanggal 13 Februari 1942 dan terus ke Banjarmasin.
Penerobosan ke Kalimantan Selatan oleh balatentara Jepang lewat darat dan laut yang sangat cepat menuju ke Banjarmasin, menciutkan nyali dan menghapus harapan pemerintah Hindia Belanda. Belanda hanya mampu melakukan aksi pembumihangusan terhadap objek-objek vital di Banjarmasin seperti jembatan, pembangkit listrik, tangki BBM (bensin dan avtuur), pabrik karet, dan lain sebagainya.
Baru saja terdengar bahwa kota Amuntai telah jatuh ke tangan pasukan Jepang, maka KNIL dan pemerintah sipil Belanda yang dipimpin oleh Gubernur B.J. Haga beserta keluarga dan sejumlah orang Belanda lainnya malah melarikan diri menuju Purukcahu, dan membiarkan seluruh wilayah Kalimantan Selatan jatuh ke tangan Jepang tanpa mendapat perlawanan apa-apa.
Begitupula halnya yang terjadi di Pelaihari. tentara Jepang memasuki kota itu, tidak ada perlawanan sedikitpun dari pihak Belanda, karena sebelum Jepang tiba di Pelaihari, pegawai sipil dan militer Belanda telah meninggalkan kota itu.
Surat kabar Kalimantan Raya No. 12 tanggal 19 Maret 1942 memberitakan bahwa pada hari Senin, 9 Februari 1942 semua badan-badan pegawai Belanda sudah tidak ada lagi di kota Pelaihari. Hari itu yang semestinya hari pasar, berubah menjadi sunyi senyap. Siang itu diantara penduduk telah ada mengambil barang-barang di toko milik Tionghoa yang telah ditinggal pemiliknya. Kekosongan pemerintahan di Pelaihari, mendorong seorang ulama besar dan berpengaruh di Pelaihari tuan guru H. Ahmad Nawawi untuk mempelopori membentuk komite untuk mengamankan Pelaihari sesaat sebelum masuknya tentara Jepang ke kota itu. Komite yang dibentuk itu selain bertujuan mengamankan Pelaihari, juga untuk menyambut tentara Jepang, menyediakan keperluan tentara, seperti makanan, dan lain sebagainya.
Pada pagi Jumat, 13 Februari 1942, tuan guru H. Ahmad Nawawi, mendapat surat dari kepala angkatan tentara Jepang yang sudah berada di Jorong. Dalam surat itu, tentara Jepang menyatakan hendak memasuki Pelaihari dengan membawa keamanan serta melepaskan anak Indonesia dari perbudakan Belanda. Surat itu kemudian disampaikan kepada komite, dan oleh komite segala sesuatu dipersiapkan untuk menyambut kedatangan tentara Jepang. Utusan komite yang terdiri dari tuan guru H. Ahmad Nawawi, A. Sairani, H. Bakeri, H. Soleman, dan Gusti Achmad berangkat ke Jorong dan akhirnya bertemu dengan tentara Jepang yang dipimpin Kapten W. Okamoto didampingi juru bahasa K. Izokawa. Pada hari itu juga (13 Februari 1942) tentara Jepang bersama-sama utusan komite memasuki Pelaihari. Mereka disambut oleh komite dan masyarakat Pelaihari. Kemudian musik yang mengalunkan lagu kebangsaan Jepang diperdengarkan, dimana disambut dengan kehormatan oleh publik dan kegembiraan oleh seluruh tentara. Kemudian A. Sairani tampil ke muka menyampaikan pidatonya guna menyambut tentara Jepang.Kemudian timbul sorakan Dai Nippon dan Asia buat Asia. Demikian sekelumit tumbangnya Pemerintahan Belanda di Pelaihari.
Untuk menghadapi sekutu, Jepang melakukan mobilisasi atau gerakan pengerahan massa untuk pekerjaan-pekerjaan yang ditentukan Jepang. Mereka disanjung sebagai prajurit pekerja. Prajurit pekerja itu terdiri dari dua macam, yakni Kinrohosi sebagai “pekerja sukarela/gotong royong/kerja bakti” yang anggotanya direkrut dari penduduk Kalimantan Selatan, dan Romusha yakni “pekerja paksa” yang anggotanya didatangkan dari Jawa.
Pengerahan massa untuk kerja bakti ini (Kinrohosi) merupakan kewajiban bagi setiap pemuda di tiap desa. Setiap desa diwajibkan oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk mengumpulkan pemuda guna dipekerjakan pada pekerjaan yang sudah ditentukan Jepang. Biasanya para pemuda ini dikerahkan untuk waktu satu bulan, sesuai dengan pekerjaan yang akan dikerjakan.
Dalam pemberitaan Borneo Simboen No. 363 tanggal 4 Pebruari 2604, Jepang menyebut tenaga kerja paksa sebagai ”prajurit pekerja” mereka umumnya didatangkan dari Jawa. Borneo Simboen No. 363 tanggal 4 Pebruari 2604 memberitakan bahwa Jepang telah mendatangkan di kota Banjarmasin sebanyak 200 orang prajurit pekerja dari tanah Jawa dan Madura. Mereka akan diperkerjakan di beberapa buah maskapai. Sebelumnya, Jepang sudah mendatangkan sejumlah besar prajurit pekerja bagian tukang, montir motor dan sopir. Dalam beberapa bulan saja jumlah prajurit pekerja yang telah tiba di Banjarmasin mencapai 7000 orang.
Meski disebut pekerja sukarela, perlakuan yang diterima Kinrohosi lebih sering tidak ada bedanya dengan kerja paksa (Romusha), seperti dengan cara perintah yang tidak bisa dibantah, pukulan bagi yang malas atau sakit. Makanan yang disuguhkan Jepang adalah nasi yang penuh dengan antah atau padi dan apabila ketahuan makan memilih-milih antah tersebut, akan dipukul oleh Jepang. Barak-barak tempat tinggal sangat darurat, lantainya dari batang galam yang disusun, tanpa tikar dan tanpa kelambu dan tanpa obat-obatan. Yang penting bagi Jepang harus bekerja dengan tidak mempedulikan kondisi kesehatan tenaga yang bekerja, demikian juga kemampuan mereka.
Borneo Simboen No. 602 Tahoen Ke-Tiga, Kinjobi (Djoem’at) 10 Djoe-Itji-Gatsoe 2604 memberitakan bahwa tenaga Romusha pernah dipekerjakan dalam membuat jalan di Pelaihari Boenken. Pekerjaan Romusha di Pelaihari yang terjadi pada tahun 2604 (1942) itu boleh jadi salah satunya adalah membangun lapangan terbang Maluka. Pada masa pendudukan Jepang, barisan Kinrohosi dan Romusha dipekerjakan paksa untuk memperbaiki lapangan terbang Ulin, lapangan terbang Maluka, lapangan terbang Kanres daerah Dayu Ampah, membuat lubang-lubang perlindungan di sekitar landasan udara tersebut, membuat bendungan irigasi, menggali sungai untuk persawahan, membuat bangunan “barak” atau “bangsal” pekerja darurat yang terdiri dari lantai batang galam, tanpa tikar tanpa kelambu, tanpa obat-obatan, sedang menu ransumnya nasi campur “antah” bersama ikan asin yang ulatan. Siapa yang mecoba menolak ransum begini, maka orang akan dipukul/dicambuk oleh Jepang tanpa ampun.
Lapangan terbang merupakan sarana pertahanan Jepang untuk menghadapi serangan Sekutu. Dengan adanya lapngan terbang di Ulin, Maluka, dan Kanres, pihak Jepang berharap dapat dijadikan landasan pacu bagi pesawat-pesawat tempurnya. Untuk itu dibangun juga bunker-bunker pertahanan di sekitar lapangan itu.
Angkatan udara Jepang yang ditempatkan di Kalimantan Selatan terbilang kecil jumlahnya. Oleh karena itu, dalam rangka mengirim pesawat terbang ke medan perang yang waktu itu sudah semakin berkecamuk, maka pemerintah pendudukan Jepang melalui Borneo Simboensja dengan dibantu Borneo Minseiboe telah menggerakkan pengumpulan dana masyarakat untuk membentuk pesawat ”Borneo Selatan”. Borneo Simboen No. 346, 338, dan 340 antara lain memberitakan bahwa pengumpulan dana dilakukan masyarakat melalui pertunjukan derma, malam kesenian yang dikunjungi banyak orang, dan cara-cara lainnya. Sampai Januari 1943 (2603) uang sumbangan yang dikumpulakn mencapai f.350.000. Pada bulan Januari 1944 (2604), dengan perantaraan Kaikjo Djimoesjo telah diserahkan uang sumbangan kaum muslimin di Banjarmasin sebesar f.1281.50 kemudian menyusul lagi sebanyak f.10,6. Pada kesempatan lain muslimin dari seluruh daerah Kadi Banjarmasin juga telah menyumbang f.109, Kadi Marabahan f.268.87, daerah Kadi Martapura f.633.23 dan daerah Kadi Rantau f.176.03.
Drs. H. Sjarifuddin, mantan Kepala Museum Lambung Mangkurat menceritakan bahwa seorang kerabatnya (paman) merupakan salah seorang anggota Kinrohosi yang diperkerjakan secara paksa oleh Jepang untuk membangun lapangan terbang Maluka. Selama berada di Maluka, ia dipaksa membikin landasan pacu dan bunker-bunker pertahanan. Ketika pesawat tempur Sekutu membombardir lapangan Maluka dengan bom, mereka dipaksa Jepang untuk langsung memperbaiki bunker-bunker pertahan. Selama bekerja di Maluka, banyak diantara mereka yang mati karena disiksa, kurang makan, penyakit, dan terkena bom yang dijatuhkan Sekutu.
Setelah Balikpapan jatuh di permulaan bulan Februari 1945, dimulailah serangan Sekutu secara besar-besaran atas wilayah Kalimantan Selatan. Yang menjadi sasaran adalah lapangan terbang Ulin, kapal-kapal sungai, galangan kapal Koonan Kaiyoon, antena radio, pabrik Hoktong, dan lain-lain. Menjelang permulaan Agustus 1945, serangan itu semakin kuat oleh pesawat pembom B 17, B 25, B 26, P 38 dan P 51.
Serangan pesawat Sekutu tidak hanya ditujukan kepada lapangan terbang Ulin, namun juga Maluka. Adanya serangan pesawat tempur Sekutu terhadap lapangan terbang Maluka disaksikan langsung oleh M. Suriansyah Ideham (kini anggota Lembaga Budaya Banjar) salah seorang dari para siswa Hutsu Tjo Gakko (pengganti MULO) Banjarmasin yang dikerahkan untuk membantu Jepang di daerah Bajuin Pelaihari pada akhir kejatuhan Jepang sekitar awal tahun 1945. Dari Bajuin, terlihat pesawat-pesawat tempur Sekutu membombardir lapangan terbang Maluka, sehingga kemudian terlihat asap besar menggumpal membumbung ke angkasa.
Kondisi Maluka pada masa pendudukan Jepang telah menyisakan kenangan pedih bagi pekerja paksa, Kinrohosi dan Romusha, karena banyak diantara mereka tidak bisa kembali ke kampung halaman. Kisah pilu itu seakan melengkapi kondisi perekonomian masyarakat Kurau, tempat daerah Maluka berada. Kalimantan Raya No. 221 Tahun Ke.1, Senin 30 Nopember 2602 memberitakan bahwa pada tahun 1940-an kondisi kesejahteraan masyarakat Kurau dalam keadaan terpuruk. Meski padi banyak diusahakan di Kampung Kurau, namun hasilnya tidak seberapa, sedangkan kampung-kampung lain banyak yang tidak memiliki sawah, sehingga tidak mengherankan jika Pelaihari kekurangan beras dan harus mengharap bantuan dari daerah lain. Bahkan pada tahun-tahun sebelumnya, Pelaihari juga hampir pernah ditimpa bahaya kelaparan.

4 Komentar leave one →
  1. Januari 22, 2010 4:46 am

    Salam..aku mampir mas..

    Aku sih kangen juga sama kamu tp yach..
    kamu bisa tau ajakn kerja aku gmana..
    maafin aku ya..take care..

    kalo gitu sama dong kita… he he he

  2. September 15, 2010 12:33 pm

    ruuwimalumalukaai@yahoo.co.id

  3. September 15, 2010 12:39 pm

    ruuwimalumalukaai@yahoo.co.id.
    Pnuh sejarahx jw skalix kampung ku ni. . . . . .bangga ku .tp pantes angker pnk. . . .

  4. djiweng benu permalink
    Februari 12, 2011 11:38 am

    sperti sudah ku duga, ternyata kampungku ini penuh dgn sejarah perjuangan, di maluka inilah masa kecil ibuku sebagai penderes getah/karet 1940 an., kini usia beliau 82 tahun dan masih di pelaihari,

    Berarti ingatan di masa kecil saat tentara Jepang ada di Maluka, masih terbayang di ingatan beliau?

Tinggalkan komentar